Cerpen Hasan Al Banna (Koran Tempo, 8 Januari 2012)
PERHATIKAN buaya berwarna abu-abu gersang itu lekat-lekat! Tampangnya beringas, bukan? Mulutnya menganga, memamerkan sengketa gigi yang meski bak gergaji usang, tapi menakutkan. Eh, lihat, bukankah kujur tubuhnya menyerupai huruf S raksasa? Ia banting kepala ke kanan, seolah ingin menerkam ekornya sendiri. Namun, sebaliknya, ekor buaya laksana cemeti berduri yang hendak melecut sisi kiri kepalanya.
Hampir saban pagi Palti bersua buaya itu. Kalau tak salah, sejak ia berumur sekira tiga tahun. Ya, tiap pagi Ibu Palti pergi menjerat udang liar di paloh, rawa laut, di seberang jalan tol. Biasanya, Ibunya menggelayutkan Palti di pundak, sambil menenteng tanggok, jaring bingkai rotan penjerat udang. Maka, dari hari ke hari, dalam gendongan Ibunya, mata tajam Palti tak pernah alpa menoleh ke buaya itu.
Siang-malam sulam-menyulam. Terik-hujan bikin buaya kian beringas. Nah, suatu kali, kala Palti sudah terlalu berat untuk ditopang pundak Ibunya, percakapan soal buaya kerap menyela langkah-langkah mereka. Percakapan yang itu ke itu juga, meski hari berkali menukar nama.
“Buaya itu jahat, ya, Bu?”
“Kalau diganggu.”
“Mau itu makan orang?”
“Maulah. Tapi kalau diganggu.”
“Enak ya jadi buaya,” gumam Palti. Bukit kekaguman menjulang di mulutnya.
“Kenapa?”
“Biar bisa makan orang yang ganggu kita,” jawab Palti serius. Sedang Ibunya hanya mengangguk dangkal. Mmh, isi kepala anak kecil memang sering tak terduga.
“Mau rupanya Palti jadi buaya?”
“Mau!” sergap Palti. Ibunya menggeser udara ke dada, melengkungkan bibir, tapi bukan tersenyum. Oya, pernah celoteh Palti sebabkan Ibunya kedodoran menata kata-kata.
“Ibu bilang buaya jahat kalau diganggu.”
“Ya.”
“Tapi, kenapa Ayah jahat pada Ibu? Kan Ibu tak pernah ganggu Ayah?”
“Ayahmu bukan buaya, Palti.”
“Tapi, sering Ibu bilang Ayah buaya?”
“Ah, kapan pula itu?” Ibunya pura-pura terperanjat.
“Sering,” jawab Palti polos.
Ibunya dipaksa melengos ke tengkuk waktu. Palti benar. Ibunya memang sering cekcok dengan Ayahnya. Perang murka! Ada saja hal yang menyulut pertengkaran. Coba, istri mana yang tahan menanggungkan tabiat suami yang berantakan: tak punya pekerjaan, pemabuk, gemar berjudi, dan pedas tangan, hah? Ibu Palti memilih meladeninya dengan amarah. Terlebih tiap kali mengetahui suaminya main betina, Ibu Palti hampir pasti memaki: buaya, kau!
Ah, belum saatnya Palti mengenyam maksud makian itu. Pun biarkan saja mulut waktu yang kelak membisiki Palti bahwa Ibunya adalah istri ketiga.
“Kau boleh jadi buaya, asal jangan macam Ayahmu.” Ibunya tak yakin Palti paham dengan kalimat cari aman itu.
“Mmh, Bu….”
“Heh, pegang tangan Ibu. Ayo kita nyebrang!” perintah ibunya menyembelih kalimat yang siap kibas dari mulut Palti.
.
SETELUNGKUP taman segitiga itu tak jauh dari mulut tol. Mengapa tak berpagar? Ah, tak penting memagari taman yang hanya ditumbuhi semak berpinak duri. Taman itu tak lebih dari sekadar pembagi badan jalan jadi pertigaan. Sebidang jalan aspal yang lebar, lurus, dan mulus menghubungkan hilir jalan tol ke pelabuhan. Lalu, sepengkol jalan yang diam-diam mengeram belasan undakan, membelokkan sisi kiri mulut tol menuju permukiman penduduk. Lantas, dari arah permukiman, tentu tersodor jalan menuju pelabuhan.
Apa alasan warga menyeru lengkung jalan antara mulut tol dengan permukiman itu dengan nama pengkolan buaya? Paling karena sepancang beton penjunjung tugu buaya yang tegak di jantung taman. Entahlah, padahal tak ada keterkaitan kota pelabuhan itu dengan buaya. Kalau mau dicocok-cocokkan, tugu buram itu sekadar pemandu pengunjung yang hendak berwisata ke penangkaran buaya di pinggiran kota seberang.
Bah, sebentar, mengapa anak-anak bertampang liar kerap berkerumun di pengkolan jalan itu? Anak-anak berkulit tandus, berambut sepat. Tak berbaju, tak beralas kaki. Hei, bukankah mereka semestinya sekolah? Sudahlah, tak usah dibahas. Kemiskinan selalu jadi alasan nyata untuk menanggalkan seragam sekolah? Tapi di sekitar mereka terhampar laut yang dermawan? Mmh, selain Tuhan, laut itu sudah ada yang punya. Yang empunya kemudian menyihir laut jadi kikir!
Ei, lihat, itu Palti? Mana Ibunya, pergi menjerat udang sendirian? Ah, tak lagi. Sejak berhektare paloh di sebalik tol ditimbun, tamatlah riwayat para penjerat udang, termasuk Ibu Palti. Kabarnya, akan dibangun pelabuhan peti kemas yang megah. Aksi protes sempat bergulir. Namun seberapa tengkarlah warga menentang proyek raksasa yang dijaga aparat dan centeng itu. Warga sempat digiuri ganti-rugi. Mereka dijamu di sebuah restoran seafood, diberi makan sampai kenyang. Lalu, mereka bubar dengan amplop di genggaman tangan. Ah, isinya tak lebih dari dua kali harga seporsi makanan fauna laut yang telah mereka lahap.
Maka kini, Ibu Palti, jauh sebelum gaduh subuh ditabuh, sudah harus bergegas memberai tong-tong sampah; mengaut sisa makanan berlendir. Lalu, di ambang langit yang mulai bermatahari, ia sudah harus menghadap Oppung Wisler, si pemilik ternak babi. Hasil kaisan cukup ditimbang dengan deheman berdahak Oppung Wisler, lantas seremas uang disurukkan ke tangan Ibu Palti. Tiap hari, macam itulah. Sesekali Palti menemani Ibunya. Selepas itu langsung ke pengkolan buaya, bergabung dengan kerumunan anak berperangai cadas.
Apa gerangan? Tengok, tangan Palti digelantungi kaleng buruk, tepatnya bekas kaleng cat ukuran tanggung yang diberi selengkung tali jinjingan.Yang lain, kebanyakan menjinjing ember antipecah; aus dan kehilangan bentuk. Mmh, tatapan mereka menghunjam mulut tol. Datanglah hai mobil tangki, desis mereka di sengit hati. Jangan takut, kami cuma para penampis, penguras sisa minyak!
Memang, tiap pagi puluhan mobil tangki melintasi pengkolan buaya, menuju depot Pertamina, tak jauh dari tempat itu. Para pengangkut BBM tersebut hendak mengisi muatan. Lantas, apa yang bisa dikuras dari mobil tangki yang kosong? Jangan salah, tangki minyak tak selalu tuntas memburaikan isi perutnya ke tangki SPBU.
Hei, hei. Anak-anak bernapas kasar itu berlari menyambut mobil tangki di jalan menikung. Kaki-kaki mereka bersilesat. Tangan-tangan mereka galah-menggalah, tepis-menepis. Apalagi kalau tak hendak menyambar sebundar tuas keran di sisi kiri lambung tangki. Napas-napas mereka riuh. Udara laut bersungut. Debu gebu-menggebu. Mobil tangki terus melaju, meski sopir tak akan berani menginjak habis pedal gas. Ya, kalau nekat, alamat siap menanggungkan lontaran lembing batu.
Eit, awas! Siapa yang tersungkur itu? Entah! Satu-dua dari mereka tampak kewalahan. Ada yang memilih berhenti berlari. Seseorang berjongkok, menyeringai. Mereka memang harus supersigap. Jika kuda-kuda lari tak seimbang, tubuh bakal limbung, lalu terpental ke aspal. Syukur-syukur, ban gandeng mobil tangki luput menyambut empasan tubuh. Kalau tak, bersiaplah menambah daftar penampis yang tergilas mobil tangki; selamat tapi seumur hidup berbadan sekarat atau sekalian tewas!
Ups, anak yang memutar lingkar tuas keran dan menampung minyak itu, siapa? Palti? Nah, nah, aspal yang bergelombang turut mengguncangkan mobil tangki, memudahkan mulut keran menyemburkan sisa minyak. Oalah, Palti cuma bisa jadi penonton kali ini. Ia cuma kebagian sengal napas yang tak mudah disenyapkan. Ia kalah cekatan dari Kiang!
Seperti itulah. Mata tajam para penampis boleh sama mahir menyayat kesempatan, tapi tetap, siapa kuat dia dapat. Tatkala mobil tangki nun di kejauhan, mereka sudah siap mengokang lari, lalu adu cepat menyambar tuas keran. Ya, para penampis beringas itu sudah pasti saling bersiasat. Bersihujam sikut, jegal-menjegal. Itu lumrah. Pasalnya, siapa yang berhasil menggenggam tuas lebih dulu, maka ia berhak menampung ampas minyak. Kalau sudah begitu, tak sesiapa pun boleh mengganggu. Segenap siasat cuma sebatas itu. Ah, seliar-liar mereka, rupanya tetap punya etika.
Maka, siapa pun yang beruntung, akan menuang hasil kurasan ke deretan jeriken usang yang dipurukkan di belukar taman. Langkah selanjutnya, penampis tinggal menyetor isi jeriken; ya minyak tanah, bensin atau solar, ke penadah. Muaranya, hasil minyak dikali dengan sepertiga harga resmi BBM dalam takaran per liter. Hah? Apa boleh buat, hidup bagi mereka jauh lebih bengal dari karang di lautan.
Bagaimana tidak? Memperoleh tiga-empat liter minyak saja saban pagi sudah harus disyukuri. Ei, tak jarang mereka, sembari mendamaikan dada yang sesak, cuma pulang membawa jeriken kosong.Ya, tak satu pun di antara mereka yang sanggup menerka takdir jeriken. Bayangkan, sejumlah penampis, sembilan sampai sepuluh orang, harus memperebutkan mobil tangki yang melintas, yang jumlahnya paling belasan unit. Itu mobil-mobil pengangkut BBM yang telat berangkat ke depot. Puluhan yang lain, sudah lebih dulu antre di depot kala selubung fajar masih belum singkap.
Mengapa para penampis tak turun sejak gulita? Jangan coba-coba kalau tak mau terjala kesulitan. Tak jauh dari pengkolan buaya itu, ada keliaran kedai tuak. Tiap malam menjelang subuh, ada saja dua-tiga lelaki tegap berpangkas tipis berjaga di situ.Ya, gelas tuak berdentang, puluhan mobil tangki dihadang. Mereka penguras ampas minyak juga? Tak. Cuma melambaikan tangan, menyulap mulut jadi semprit, lalu uang jasa keamanan bakal menjulur dari balik kaca. Hasilnya paten! Sebagian untuk pengganjar tuak, selebihnya untuk penawar saku.
.
PALTI memetik jari! Aman! Aparat sudah menyingsing dari tugas razia, lirihnya. Ya, sepekan lalu, pengkolan buaya ambil korban lagi! Kiang ditemukan layaknya daging cincang di kolong mobil tangki. Selang beberapa jam, Remon dan Biston diciduk pihak berwajib, diseret ke bilik interogasi. Sedang Palti beserta rekan lain, berhasil menilap jejak, lantas sejenak mengunci diri dari jalanan.
Namun, hidup adalah pertikaian teka-teki yang harus ditekuk. Nyali tak boleh ciut. Pun Palti. Tadi ceracau Ayahnya yang kerap pulang pagi, menggedor tidurnya. Jerembap tubuh Ayahnya di punggung pintu, disusul kacau dengkur berbaur tengik tuak, menggopohkan tubuh Palti menuju pengkolan.
Muram! Angin tak bertenanga. Uap garam mengambang.
Palti terus mengasah mata. Sesaat ditatapnya buaya di hulu kepala. Masih saja kau bertampang beringas, puji Palti dalam gigil. Entahlah. Gerimis sudah pergi, tapi taring dingin tetap menancap di leher udara pagi. Teman-temannya mana? Ah, makin sepi, makin berarti, pekik hatinya. Kaleng buruk sudah di tangan, jeriken sudah siaga. Tinggal menanti mobil tangki berbelok ke perangkap kiri.
Ssst, Palti hafal suara deru yang dilemparkan mulut tol. Ancang-ancang ia pasang.Tak salah lagi! Mobil tangki muncul, menikung pelan dan lebih malas dari biasanya. Maka, Palti tak butuh tenaga ekstra. Mobil tangki dipepetnya. Ia kerek tuas keran! Hoi, kontan minyak mengucur. Palti kewalahan menampung cucuran minyak. Kalengnya melimpahruah, bergelicak. Tubuh Palti mandi minyak. Ibu, Ibu, tengok, ini minyak tak mau berhenti. Ia terkesima. Di geriak minyak, ia saksikan wajah Ibunya riang tak kepalang, bak kanak-kanak; tawanya berderai-derai.
Kemari jerikenku, kemari, lonjak hati Palti. Namun, yang datang—setelah suara empasan pintu mobil tangki—adalah dua lelaki bertubuh tegap, berjaket gelap. Kaleng penampung meloncat dari tangan Palti, segegas kemudian disergap segandeng ban yang berderam. Lari, lari! Hatinya kasih titah. Tapi lengan lelaki yang satu sudah mencengkeram lehernya, satunya lagi mengepit (atau mematahkan?) kaki Palti. Ia berontak, menyalak. Tapi dua lelaki itu bukan imbangnya. Lalu, entah dari mana suara sirene buru-memburu di telinganya.
Dalam nanar, pandangan Palti tertumbuk gelinjang buaya di jantung taman. Palti mengundak-undakkan tubuhnya. Matanya kini dipenuhi liur api. Kepala ia entak, kaki ia sentak. Dua lelaki itu makin tak kasih ampun. Palti memiuh diri. Ia menyeringai, rahangnya gesek-menggesek. Lalu mulutnya terkuak, sebenar terkuak. Mmh, cuma Ibunya yang tahu mengapa ia sejak lama berhasrat jadi buaya.
Maka, dengan tubuh yang kian teruk, Palti terus melengkungkan lolongan: Ibu, Ibu, Palti ingin jadi buaya! (*)
.
.
Griya Sakinah-Medan, 2011
Hasan Al Banna tinggal di Medan, Sumatera Utara. Buku cerita pendeknya, Sampan Zulaiha (2011).
.
.
muhajir arrosyid
Cerpen yang bagus. Menggambarkan suasana yang tandus. Pasti risetnya cukup lama.