Cerpen Muna Masyari (Suara Merdeka, 22 Januari 2012)
Apakah perempuan memang ditakdirkan sebagai penunggu?
PAGI belum bermata. Namun kesunyian di rumah sederhana yang halamannya bertudung tenda biru itu sudah menguap ke udara. Para ibu riuh, sibuk mempersiapkan jejamuan untuk acara pangantan, jam delapan nanti. Bajik, nagasare, lemper, nangginang, sudah siap saji dalam piring mana suka.
Di serambi, dua dekorasi terbuat dari janur kuning, mengapit sepasang kursi. Latar temboknya berhias samper leres [1] yang dikerut membentuk kipas dan kupu-kupu terbang.
Di dalam, di sebuah kamar pengantin berukuran kecil, harum melati dan kembang sedap malam menyeruak. Ranjang kayu bertirai kelambu dengan warna merah muda, membujur di pojok ruangan. Pada anak kelambu yang menggelombang serupa poni di dahi perawan, tersemat kembang-kembang mawar sebagai pemanis.
Di samping ranjang, berdiri lemari tua yang sudah diperbarui catnya. Cokelat mengilap. Cermin berbentuk bulat telur di bagian pintu, siap memantulkan wajah-wajah di depannya dengan penuh kejujuran.
Di lantai yang baru dipelester tiga hari yang lalu, di bawah petromaks, tiga perempuan bersimpuh di atas tikar pandan. Dua perempuan berhadap-hadapan dalam diam. Dialah Sum dan Buk Ris, perempuan tukang rias pengantin yang diundang dari kampung sebelah.
Di dekat keduanya, Salma duduk menunduk menekuni kembang-kembang melati dan sedap malam yang dirangkai pada sepintal benang. Bagian pangkal dan ujung rangkaian bunga itu diberi mawar rekah hingga tampak indah.
Damar kembang [2] terus menyala, berjajar dengan bedak kembang [3] di dekat mereka. Busana keraton Jawa beserta aksesorinya belum dikeluarkan dari kardus. Pintu dan jendela dibiarkan tertutup supaya angin tidak leluasa menerobos masuk.
Sum yang hanya mengenakan sarung dilipat di dada, tak ubahnya patung yang sedang dipahat. Pasrah. Dagunya sedikit mendongak, membiarkan alisnya dikerik hingga berbentuk sabit, oleh Buk Ris. Senyum membasah di bibir perempuan berkulit sawo matang itu. Ini hari yang ia tunggu-tunggu. Menjadi ratu setengah hari, dipajang di serambi, mengundang iri bagi perawan yang belum pernah mengalami.
Setelah pengerikan alis selesai, Buk Ris mulai me-maras dengan hati-hati. Potongan rambut parasan diletakkan dalam mangkuk damar kembang.
Kokok ayam dan cericit burung mulai bersahutan ketika pintu tiba-tiba dibuka dari luar. Rahmi, sepupu Sum, masuk dengan rupa tegang, berseiring angin menyusup lembut. Api damar kembang tertiup. Meredup. Lidahnya meliuk sebentar dengan nyala kewalahan, untuk kemudian mati.
“Damar kembang-nya mati,” desis Salma, menatap cemas.
Semua mata tertuju pada damar kembang yang sudah tidak menyala, tanpa meninggalkan asap.
Wajah Sum langsung pias. Matanya terpaku pada ujung sumbu. Sementara Buk Ris tertegun. Sudah sekian kali ia menjadi perias pengantin, matinya damar kembang memang sering menjadi firasat kurang baik.
Rahmi tercekat, merasa bersalah.
“Maaf, pasti karena pintu kubuka.”
“Tidak apa-apa, cepat nyalakan lagi.” Buk Ris mencoba mencairkan suasana yang sempat beku.
Salma segera memantik korek kayu, namun tak juga menyala. Dua batang ia buang, dan mencobanya dengan yang baru. Masih belum menyala juga. Baru setelah batang kelima, ujung korek kayu memercik api. Damar kembang menyala kembali. Semua menarik napas.
“Ada apa, Mi?” Sum menanyakan kadatangan Rahmi yang terlihat membawa kekhawatiran.
“Tadi aku melihat Ka’ Dulamin mondar-mandir di pertigaan jalan menuju rumah. Sepertinya, ia sedang menunggu seseorang,” ujar Rahmi dengan nada cemas.
“Apa? Ka’ Dulamin?” wajah Sum mengapas. Keterkejutan jelas tercermin dari ceruk matanya yang sedikit melebar. Menatap Rahmi, setengah tak percaya.
Salma ikut terkejut.
“Iya. Kata Ebu, dia datang tadi malam,” wajah Rahmi menampakkan ketakutan.
Sum terdiam, berusaha meredam golak di dada. Kabar kepulangan Dulamin sungguh menebar aroma petaka. Lelaki berwatak keras itu adalah mantan tunangan Sum yang ditunangkan sejak mereka sama-sama masih kecil. Menginjak remaja, Dulamin ikut anom-nya merantau ke Kalimantan, berjualan kacamata dan jam tangan. Tujuh tahun lamanya ia tak pernah pulang. Sum berusaha sabar menunggu hingga usianya beranjak kepala dua. Namun desas-desus yang terdengar dari sesama perantau, katanya Dulamin sudah menikah di bawah tangan dengan seorang janda asal Solo.
Hati Sum sakit. Ia merasa dipermainkan dengan penantian panjang yang selama ini dijalani. Ia pun meminta pada rama agar pertunangannya digagalkan. Namun pihak keluarga Dulamin menolak. Mereka membantah keras soal kabar pernikahan anaknya. Selanjutnya, pertunangan mereka menggantung seperti layang-layang menyangkut di ranting pohon.
Sum resah dikejar usia yang terus bertambah. Sementara Dulamin sendiri tidak pulang juga. Cap perawan tua mulai tercium dari mulut-mulut tetangga. Rasanya wajar kalau akhirnya Sum menyambut perhatian Harun yang disampaikan melalui Rahmi. Harun, lelaki berusia 35 tahun yang telat menikah karena sibuk memikul tanggung jawab terhadap adik-adiknya yang masih kecil-kecil. Menggantikan peran sang rama yang lebih dulu meninggal. Kebetulan rumah Harun berdekatan dengan rumah Rahmi.
Kehadiran Harun membuat Sum kembali menuntut kegagalan pertunangannya pada rama. Semula rama menolak dengan alasan tidak enak pada keluarga Dulamin. Dua keluarga itu sudah lama berkarib.
“Sampai kapan aku harus menunggu, Ma? Sampai rambutku beruban? Apa takdir perempuan memang hanya jadi penunggu? Menunggu dipinang. Menunggu dinikahi. Bahkan, tidak jarang menunggu perkataan talak dari bibir suaminya sendiri. Apa takdir perempuan memang seperti itu?” tanya Sum, waktu itu.
Mulut rama terkunci.
“Selama ini aku sudah berusaha memenuhi hak Rama dan Ebu [4] atas hidupku. Tapi kalau seperti ini, berilah aku hak untuk memilih!”
Rama masih diam.
“Aku malu menjadi omongan orang. Menunggu seorang lelaki pulang dari pulau seberang, tanpa pernah ada kepastian. Sementara di sini, orang-orang hanya bisa mencibir, menganggapku perempuan yang hanya bisa dibodohi.”
Berkat bujukan Ebu, Rama akhirnya kembali mendatangi keluarga Dulamin, dan menegaskan bahwa mereka terpaksa menggagalkan rencana besanan. Dua keluarga itu pun berpunggungan.
Sekarang, Dulamin pulang tepat menjelang hari pernikahan Sum dengan Harun. Sum merasa, ini benar-benar alamat petaka. Dulamin pernah mengancam, kalau sampai Sum gagal menjadi isterinya, ia tidak akan pernah membiarkan Sum menjadi isteri siapa pun. Ya, siapa pun!
Sum ngeri mengingat ancaman itu. Ia cemas dengan keselamatan Harun.
“Ini bagaimana? Riasannya masih lama, sementara jam delapan harus selesai.” Buk Ris kembali memecah kebisuan untuk mengurangi ketegangan.
“Tidak usah dilanjutkan, Buk! Tidak akan ada pernikahan hari ini,” ujar Sum lemah. Bayangan buruk begitu kuat mencengkeram hatinya.
“Lanjutkan saja, Sum. Kita berdoa semoga semua lancar-lancar saja. Ini bukan salahmu, kan? Siapa tahu kepulangan Dulamin tidak ada sangkut-pautnya dengan pernikahan ini.” Salma mencoba menenangkan. Rangkaian kembang di tangannya tinggal sedikit lagi.
Buk Ris setuju. “Kamu harus yakin, semoga pernikahanmu baik-baik saja. Kalau pun nanti ada kendala, mungkin memang sudah takdir-Nya.”
Sum membisu. Tatapannya suram. Kebahagiaan yang ia nyalakan telah padam, seiring matinya damar kembang. Keyakinan menjadi ratu setengah hari terhengkang, seiring terdengarnya kabar kepulangan Dulamin.
***
SUDAH hampir jam sembilan. Belum ada suara tetabuh rebana menyambut kedatangan pengantin pria. Sum duduk resah di tepi ranjang sambil memilin sisi kelambu. Salma yang menunggui dari tadi ikut gelisah. Berulang kali ia menguak pintu, memperhatikan keadaan di luar. Hanya para undangan yang duduk gelisah di serambi, menunggu dengan muka bosan. Pun, karena pengantin prianya tak kunjung datang, terpaksa Buk Ris langsung pindah ke kampung sebelah untuk merias pengantin di sana.
“Bagaimana ini? Aku khawatir terjadi sesuatu,” tatap Sum dengan cemas.
“Yang sabar, mungkin lagi di jalan.”
Salma sedang membetulkan lipatan sampir Sum yang kurang rapi, ketika terdengar ribut-ribut di luar. Suara-suara yang mendengungkan ketidakberesan. Jantung Sum berdegup tiga kali lebih kencang.
“Ada apa di luar?”
Ketika Sum hendak bangkit, Salma menahan pundaknya. “Biar aku yang melihat.”
Baru saja Salma beranjak, pintu tiba-tiba terbuka. Sum dan Salma terpana melihat siapa yang datang dan menghampiri mereka.
Sum berdiri dengan mulut ternganga, begitu melihat bercak darah pada kemeja putih yang dikenakan lelaki di depannya. Padahal ia tidak menemukan luka di sekujur tubuh lelaki itu.
Lama mereka saling tatap. Baru kali ini Sum temu-pandang dengan calon suaminya dalam jarak yang begitu dekat. Selama ini, hanya melalui Rahmi mereka berkomunikasi. Tidak pernah saling bicara. Tidak pernah beradu empat mata.
“Aku harus ke kantor polisi.”
Mata Sum berkilat-kilat. Sudah bisa mengeja tanpa harus ada kata lebih lanjut.
“Maaf.” Ucapan yang begitu kering.
Sum menelan ludah. Pahit.
“Tunggulah, kalau kau bisa menunggu.”
Sum masih terpaku. Membiarkan lelaki itu membalikkan tubuh. Berjalan pelan meninggalkan kamarnya.
“Tunggu!”
Lelaki itu menoleh sebelum mencapai pintu.
Sum mengambil damar kembang di lantai yang menyala dengan susah payah. Diserahkan padanya.
“Bawalah ini. Jangan sampai apinya mati. Selama masih menyala, berarti pintu kamar ini masih terbuka.”
Lelaki itu menatap damar di tangannya. Lama. Beralih menatap Sum. Tepat di matanya. Kemudian menggesek-gesekkan jempol di kening Sum dengan gerakan vertikal. Mata Sum memejam. Menyembunyikan perih di sebalik kelopak matanya.
Sejak itu, Sum membiarkan pintu kamarnya tetap terbuka. Tidak mengubah apa pun yang ada dalam kamar pengantinnya. Ia menunggu. (*)
.
.
Catatan:
[1] samper leres: sampir bermotif garis-garis miring.
[2] damar kembang: lampu barwadah mangkuk, bersumbu pintalan kapas, dan berbahan bakar minyak kelapa. Damar kembang merupakan pelengkap ritual dalam proses merias pengantin atau selamatan tujuh bulan usia kehamilan di Madura. Mati dan menyalanya damar kambang diyakini sebagai firasat.
[3] bedak kembang: bedak tabur serta kembang tujuh rupa yang disatukan dalam satu wadah.
[4] rama dan ebu: panggilan untuk ayah dan ibu di Madura.
.
Muna Masyari, perempuan yang lahir di Pamekasan, Madura, Jawa Timur. Karya-karyanya dimuat di beberapa media massa. E-mail: [email protected].
.
.
Ilyaz Tanbeg
Wah….. Menarik. Aku suka cerpen yang gaya berceritanya seperti ini. Mengalir dan mudah dipahami.
ita
menarik. saya menemukan beberapa kosakata baru, seperti kata ‘mengapas’ sebagai ungkapan wajah pucat.
Edi Winarno
Suka. Ya, saya suka.
dawam
Enak namun endingnya sedikit “membingungkan”.
Emil Amir
Diksinya memikat dengan olahan alur yg menarik. Aku suka!
rendy ahmad
mengalir
Herlia An-Nisa Hermansyah
sukaaaaa…. suka banget..
fandrik
menarik buat Muna Masyari,..!
tetapi ending sepertinya saya Masih kurang sreg….
Ottang K.Baddy
Ya, Muna Masyari, memang cerpenya selalu bertutur datar, mudah dimengerti ssecara umum. hanya pada endingnya sedikit mengajak untuk berfikir. Selamat buat mBak Muna. Lam kenal..
menulisuntukbumi
Reblogged this on Catatan Kerikil.
Bang Uddin
oh begitu,
ijin nyimak dulu aja ya 😃