Clara Ng

Kemukus

0
(0)

Cerpen Clara Ng (Koran Tempo, 22 Januari 2012)

ADA mata besar di setiap kegelapan ini. Kegelapan yang seakan tak berujung. Setiap mata itu membuka, maka kegelapan semakin sirna.
Jam sebelas malam di jarak 25,3 tahun cahaya. Koordinat 57 lintang selatan konstelasi Taurus. Tiansun berdiri menopang dagu ke arah bintang El Nath yang sangat besar. Tangannya menggerak-gerakkan sapu, mengumpulkan debu-debu yang bertebaran di sekitarnya. Debu ini sangat halus, sisa-sisa yang tak terambil oleh mesin. Pekerjaannya sebagai tukang sapu debu mikro memberinya kemapanan di usianya yang kedua ratus tiga puluh enam tahun.
Tiansun menggaruk kepala.Tidak ada suara yang mengganggu pendengaran. Jarang ada yang melewati dirinya. Kalau pun ada, tiada yang berhenti untuk memanggilnya. Padahal Tiansun mengharapkan setidaknya ada satu satelit yang menggunakan jalur ini. Setidaknya, dia bisa menghentikan satelit itu dan memesan kopi.
Kopi! Dia merindukan secangkir kopi yang sering diminumnya bersama Cen di kedai kopi pinggir Jalan Aetos Dios. Tiansun suka warna merah strip yang menyala di langit-langitnya. Pemiliknya seorang lelaki ras Ursae Marjoris yang matanya sering copot kalau terlalu banyak tertawa. Sarin memiliki tiga belas bola mata di lubang matanya yang hanya ada satu. Bayangkan jika tiga belas bola mata itu terjatuh. Permainan yang menyenangkan bersama Cen, berlomba-lomba memenangkan jumlah bola mata yang berhasil ditemukan.
Mengingat Cen lagi, hati Tiansun kembali menghangat, seperti hangat secangkir kopi yang baru saja dibuat oleh Sarin. Tiansun masih ingat pelukan Cen di malam hujan kemukus. Langit tenggelam di tengah sinar dari ekor ribuan meteor yang berlarian di langit, dari ujung utara menuju ujung selatan. Kelebatannya bersilang-silang, tampak cerah pada mulanya, lalu semakin berdenyar sampai mati dalam kegelapan. Memandangi meteor seperti ini membuat Tiansun mengingat betapa Cen sering mengenang masa kecilnya. Dia bercerita kepada Tiansun tentang rumahnya, di planet biru yang diberi nama Bumi. Di sana, tidak ada hujan kemukus seindah ini, yang ada hanya hujan kunang-kunang.
Apa itu kunang-kunang, tanya Tiansun. Cen mengatakan bahwa kunang-kunang adalah serangga yang dapat mengeluarkan cahaya seperti bintang. Mereka terlihat jelas di malam hari. Tiansun tertawa ketika mendengar Cen bercerita tentang makhluk yang seumur hidup belum pernah dilihatnya. Dia mengetatkan pelukan dan mencium bibir Cen yang berwarna merah jambu. Lucu sekali bibir Cen. Makhluk dari planet biru, seharusnya bibirnya berwarna biru juga. Tidak seperti dirinya, yang berasal dari planet berwarna perak, memiliki bibir berwarna perak menyala.
Langit masih gelap, tapi mata Tiansun sudah terbiasa dengan kegelapan ini. Dia memandang, tapi tidak persis sedang memperhatikan sesuatu. Apa yang bisa dilihat di sini? Seperti padang gurun yang sering diceritakan oleh Cen, demikianlah yang dilihat oleh Tiansun setiap hari. Horizon yang menghilang, ditelan ketiadaan batas. Ujung yang tak memiliki akhir, sebab akhir tidak dapat dimengerti.
Tiansun menggerakkan sapunya lebih cepat. Dalam waktu lima belas menit, dia harus sudah selesai menyapu debu angkasa. Sudah satu jam lewat sejak dia mulai bekerja lebih malam daripada malam ini. Dia butuh menyedot Koma, semacam buah yang dikeringkan lalu ditumbuk dan dijadikan minuman. Sudah empat puluh jam dia tidak menyedot Koma. Alasan lainnya dia harus bergegas, anaknya pasti sudah menunggunya.
 .
KALAU Cen tidak tidur selama empat puluh jam, dia pasti tidak bisa diganggu. Cen akan menutup mata dan tidak bisa diajak mengobrol selama berjam-jam. Ini tentang Cen yang paling membingungkan bagi Tiansun. Tiansun tidak perlu menutup mata karena matanya memang tidak memiliki kelopak. Dan mengapa Cen tidak bisa diajak berbicara jika sedang tidur? Sejak mengenal Cen, Tiansun selalu ingin pergi ke desa tempat Cen dilahirkan, bertemu dengan keluarganya. Dia mengkhayal untuk bersama-sama Cen sampai dia berusia ribuan hon.
Tapi hidupku mungkin hanya sampai tujuh puluh lima tahun, kata Cen. Tidak ada teman-teman dan keluargaku yang hidup seratus tahun.
Tujuh puluh lima tahun itu berapa hon, tanya Tiansun.
Cen tampak berpikir, menghitung. Sekitar seribu hon, katanya.
Tiansun bingung. Keluargaku ada yang masih hidup di usia sepuluh ribu hon. Dia menghitung sekali lagi. Artinya tujuh ratus lima puluh tahun.
Aku tidak bisa hidup selama itu, Sayang, bisik Cen sedih.
Tiansun memandang Cen dengan penuh ekspresi. Jika aku hanya bisa bersamamu selama satu hon, aku akan menyayangimu selama satu hon.
Cen memeluk Tiansun, seperti tidak ingin melepaskan lagi selama-lamanya. Di langit, hujan kemukus memulai episodenya. Malam tidak pernah sepenuhnya gelap seperti sekarang. Gara-gara Cen sering merindukan desa, Tiansun mengajaknya tinggal di daerah sana, di mana hujan kemukus mempunyai curah yang tertinggi. Cen akan menjerit-jerit senang jika meteor-meteor mengawali lomba larinya.
Bintang jatuh! Bintang jatuh, serunya girang.
Bintang itu tidak jatuh, Sayang, kata Tiansun, membelai pipi Cen yang halus. Tidak ada yang pernah jatuh dari langit.
Aku tahu, kata Cen manis. Tapi begitulah yang disebut oleh orang-orang di desaku.
Tiansun mencium Cen di bawah kubah hujan lintang kemukus. Langit membara oleh sinar terang ekor meteor. Ada sepasang kekasih yang sedang mabuk kepayang. Mereka hanya sebutir noktah di lautan semesta mahaluas ini. Namun Tiansun menganggap bahwa mereka adalah konstelasi bintang, yang saling berhubungan membentuk figur di angkasa.
Kamu romantis, kata Cen sambil tertawa. Tidak ada yang seromantis dirimu di desaku.
Dan kamu lucu, balas Tiansun.
Sejak saat itu, Tiansun selalu menyebut meteor dengan istilah bintang jatuh. Cen selalu membuat Tiansun beradaptasi dengan istilah dan penghitungan anehnya. Tiansun juga memakai satuan ukur waktu dengan satuan waktu yang digunakan Cen. Tahun. Bulan. Hari. Jam. Tidak peduli dengan hukum waktu dan tempat yang berbeda di planetnya.
Tiansun merogoh kantungnya dan mengeluarkan benda berbentuk bundar dengan penghubung yang terbuat dari kulit. Jam tangan dari Cen. Ini penanda waktu yang selalu digunakan Cen dulu. Di daerah tempat Cen dilahirkan, dulu berpuluh-puluh tahun lalu, sebentar lagi Cen pasti akan menyusui bayinya.
 .
TIANSUN membersihkan perlengkapan pekerjaannya, lalu bergegas. Bintang kate merah samar-samar terlihat dari jarak kejauhan, seperti mata yang memandangnya dengan tajam. Tidak ada lagi yang dilupakannya, sebab semua begitu jelas di pikiran Tiansun. Bahkan gurat samar di ujung mata Cen yang melengkung, masih bertahan di kepalanya.
Usia alam raya sudah renta, Sayang, tapi hanya usia saja. Kehidupannya sendiri tidak pernah renta. Apalah arti kematian, jika kehidupan melanjutkan yang sudah mati? Jangan menangis, Sayang, jangan basah matamu.
Mata yang basah, itu yang membuat Cen selalu tampak cantik. Sebab Tiansun tidak bisa membasahkan matanya. Mata Tiansun terdiri dari ratusan bintik-bintik kecil. Dari bintik itu, dia bisa mengeja citraan sejelas mata Cen yang hanya sepasang.
Di desaku, seseorang sedang menungguku.
Siapa?
Kami menyebutnya suami. Artinya, yang bisa membuahi.
Kamu mau pulang?
Cen menggeleng. Aku mau mati bersamamu.
Magnitudes tiba. Benda berbentuk putih bulat yang dikelilingi kaca mendesing tanpa suara di sebelah Tiansun. Tiansun lenyap dan muncul lagi di dalam kokpit. Diletakkan sapu di kotak penyimpanan barang. Sepotong plat cair terjatuh, tersenggol tangannya. Tiansun memungutnya. Plat cair itu bergerak di tangan Tiansun dan berubah menjadi peta langit.
Ini gambar Cen sebelum kematiannya. Dia mengirimkan plat cair kepada Tiansun agar Tiansun selalu mengingat dirinya. Peta di tangan Tiansun adalah peta gugusan Bima Sakti. Tiansun membaca tulisan kecil di plat cair itu: Ke mana pun matamu memandang, pandanglah gugusan Bima Sakti.
Tiansun meletakkan plat cair di kotak perlengkapan, di sebelah sapu. Dia bergerak ke arah meja kecil dan mengambil benda berbentuk lingkaran yang berwarna gelap, segelap langit di luar. Dikocoknya benda itu, lalu diletakkan di hidungnya. Sambil berbaring miring, Tiansun menyedot Koma pelan-pelan. Begitu bening rasa Koma, begitu menyegarkan tubuhnya. Tidak ada gerakan sekecil pun dari mimik Tiansun. Telinganya yang kecil seperti daun tertelungkup, menutup. Gerakan menyedot Komanya semakin stabil, seakan-akan Tiansun menyerahkan dirinya dalam penjara ketidaksadaran.
Magnitudes melayang cepat, mengayun bagai ayunan di taman. Ketidaksadaran Tiansun bersama keheningan tidak bisa dipisahkan sebagai dua entitas. Tubuh Tiansun hangat oleh cairan Koma. Pikirannya menciptakan bayangan Cen dan cerita-ceritanya tentang mimpi. Manusia bermimpi saat tidur, kata Cen. Aku selalu bermimpi tentangmu, biarpun tubuhku berada di sini.
Jam di kantungnya terus berdetik.
 .
TERDENGAR suara klik yang halus dan suara getar yang samar-samar. Tiansun membuka matanya. Magnitudes sudah mencapai tempat yang diinginkan. Layar di depan matanya menunjukkan garis gelombang, menandakan Magnitudes menyampaikan pesan dalam bahasa mesin. Tiansun mengerti yang dimaksud. Dia melepaskan peralatan yang mengikat tubuhnya di kursi, lalu dalam hitungan singkat, dia menghilang. Tahu-tahu Tiansun sudah berada di luar Magnitudes.
Persis di sampingnya, ada tanda yang terbuat dari besi. Jalan Aetos Dios. Sinar temaram berasal dari kafe yang terletak di sudut. Tiansun bergerak ke arah kafe itu dengan pelan-pelan. Di planet ini, benda-benda berwarna kuning bening selalu berjatuhan dari langit, mengelilingi kepala Tiansun, berputar-putar dan jatuh ke kakinya. Debu dari angkasa. Penduduknya menyebut benda ini al anz. Kata Cen, Al anz seperti salju, tapi di Bumi, salju berwarna putih, bukan kuning bening.
Kafe sudah tutup, tapi dari jendela, Tiansun bisa melihat bayangan Sarin yang bergerak ke sana kemari. Pintu terbuka cepat. Senyum Sarin hangat, membuat Tiansun langsung melupakan rasa lelahnya.
Hujan di luar? tanya Sarin.
Tiansun menggeleng. Sebentar lagi.
Dari lantai dua terdengar suara kaki berlari-lari turun dari tangga. Sebentuk kepala dengan sepasang mata dan bibir berwarna perak muncul dari belakang kafe. Langkahnya tergesa-gesa. Tangannya memegang tas dan perlengkapan lain. Tiansun memandang makhluk mungil di depannya dengan imaji yang segera membentuk bayangan lain.
Mari pulang sebelum hujan, Zosma, kata Tiansun. Ucapkan selamat jalan kepada Paman Sarin.
Tepat di luar, hujan lintang kemukus mulai menampakkan penampilannya. Langit berpendar-pendar dengan jutaan ekor meteor. Tiansun menarik Zosma lebih cepat. Mereka berdua menghilang dan masuk ke dalam kokpit Magnitudes. Magnitudes melayang ke kiri dan kanan, lama-lama semakin stabil, menembus benderang hujan cahaya meteor dan keheningan. Zosma menempelkan tubuhnya di sisi Tiansun, mencari-cari puting. Bibirnya berdecap-decap, menyusu dengan rakus. Hujan kemukus semakin menderas di luar. (*)
 .
.

Baca juga  Sumie Largo

Clara Ng menulis cerita anak, cerita pendek dan novel. Buku-bukunya, antara lain, Malaikat Jatuh dan Cerita-cerita Lainnya (kumpulan cerita pendek, 2008) dan Jampi-jampi Varaiya (novel, 2009).

.

.

Loading

Average rating 0 / 5. Vote count: 0

No votes so far! Be the first to rate this post.

1 Comment

  1. woww.. sukaa ceritanyaa,, benar-benar imaginasi yang magis.. sungguh indah!

Leave a Reply

error: Content is protected !!