Cerpen Gunawan Maryanto (Suara Merdeka, 29 Januari 2012)
SAAT menyaksikan sebuah pertunjukan ludruk mahasiswa di kampus sebelah kampung, Mito berkata kepada kami bahwa ia bisa lebih lucu dari mereka. Aku punya banyak parikan jenaka dalam kepalaku, tambahnya. Wajahnya begitu bersinar malam itu. Tampaknya pertunjukan ludruk itu telah menyalakan lampu yang tertanam di dalam tengkorak kepalanya. Menyalakan kembali tepatnya. Karena beberapa tahun sebelumnya aku juga pernah melihat wajahnya semenyala malam itu. Waktu itu kami bersama-sama menonton pertunjukan ketoprak di Auditorium RRI. Lakonnya aku ingat betul: Rampok [1]. Dalam perjalanan pulang Mito tak henti memuji-muji pertunjukan itu. Kelompok ketoprak di kampung kami harus mementaskan lakon itu, begitulah ujung dari seluruh puja-pujinya pada pertunjukan tersebut.
Keesokan malamnya saat kami bertemu di pos ronda ia mengulang kembali keinginannya itu. Dengan berapi-api ia menceritakan kembali lakon Rampok itu. Lakon itu pas sekali dengan situasi kampung kita sekarang, tegasnya. Aku diam. Sebagai kanak-kanak aku tak layak angkat bicara. Tapi sebenarnya aku mengiyakannya. Perseteruan Raden Sudrajat dan Raden Legowo di Lumajang dalam lakon tersebut memang mirip dengan perseteruan Suwandi dan Suwondo di kampung kami. Sama-sama kakak beradik. Sama-sama tengah memperebutkan kursi kekuasaan. Sama-sama penuh kekotoran. Orang-orang segardu mengangguk-angguk mendengarkan cerita Mito. Tapi tepat jam 11 malam satu per satu mereka meninggalkannya. Keliling kampung mengambil beras jimpitan, demikian pamit mereka. Aku juga mengikuti jejak mereka. Bukan untuk mengambil jimpitan. Jam 11 adalah waktunya aku tidur. Maka tinggal Mito di gardu. Aku di sini saja, katanya, menunggu gardu sambil bikin orek-orekan tentang Rampok. Besok sudah bisa difotokopi.
Kurang lebih seminggu Mito kerasukan Rampok. Di mana setiap ada kesempatan ia selalu mengutarakan keinginannya agar ketoprak Sekar Dalu kampung kami memainkan lakon itu. Dan ia minta jatah peran sebagai pelawak. Semua orang manggut-manggut setiap kali Mito memulai mimpinya. Tapi aku tahu tak seorang pun benar-benar mendengarkannya. Aku juga tahu bahwa Sudi membakar orek-orekan lakon yang sudah disusun Mito semalam suntuk itu dengan dalih akan memfotokopinya. Dan pelan-pelan nyala lampu di wajah Mito pun padam. Cerita Rampok dan keinginannya untuk mementaskan lakon itu sudah hilang dari mulutnya. Kami telah merampok mimpi itu dari kepala Mito.
Aku tak mengenal Mito dengan baik sebenarnya. Usia kami jauh berbeda. Ia sepantaran dengan ayahku. Aku hanya berkawan akrab dengan anaknya, Antok. Mito merupakan anak ke-3 dari Mbah Dukun, seorang dukun bayi di pojok kampung. Aku tak tahu apa pekerjaannya. Antok hanya bilang bahwa ayahnya pandai menangkap ular. Tapi ketika aku menanyakan hal itu kepada ayahku ia malah tertawa. Ular apa? kata ayah di sela tawanya. Aku menarik kesimpulan bahwa Mito tak punya pekerjaan. Setidaknya tak punya pekerjaan tetap. Buktinya Antok dan ke-4 adiknya semuanya putus sekolah.
Mito memiliki wajah yang selalu mengingatkanku pada pelawak favoritku: Idur [2]. Pelawak dengan nama asli Daryadi itu sudah meninggal di pertengahan tahun 1990-an. Sumpah. Wajah keduanya benar-benar mirip. Dan tampaknya Mito pun menyadari betul kemiripan wajahnya. Tak berbilang ia mengusulkan dirinya menjadi pelawak dalam ketoprak kampung kami. Mirip wajahnya bukan berarti mirip otaknya. Begitulah kata orang-orang. Tentu saja tak langsung ke Mito. Dan Mito pun harus berpuas diri menjadi prajurit bala dupak dalam setiap pertunjukan. Ia tak pernah berhasil membuktikan dirinya. Orang-orang kampung seperti selalu menutup jalan bagi Mito. Tapi menurutku ia memang tak bisa melucu sama sekali. Guyonan-guyonannya garing. Tapi ia bilang bahwa seorang pelawak tak harus lucu dalam keseharian. Ia akan lucu pada saatnya: ketika berada di atas panggung.
***
KEMBALI ke pertunjukan ludruk di awal cerita. Pertunjukan itu, sebagaimana mungkin pertunjukan-pertunjukan yang lain, kembali membakar Mito. Dan tampaknya, kali ini dan mungkin kali ini saja, Tuhan berpihak padanya. Kesempatan manggung itu akhirnya datang.
Kelompok ketoprak Sekar Dalu sudah lama tak terdengar kabarnya. Mungkin mati. Tapi kata Bapak kelompok ketopraknya itu hanya tidur. Nanti akan bangun lagi kalau ada cukup duit. Biasanya Sekar Dalu manggung satu tahun sekali dalam perayaan tujuhbelasan di kampung kami. Tapi sudah beberapa tahun terakhir pan gung tujuhbelasan hanya diisi oleh gerak dan lagu kanak-kanak, karaoke dangdut dan pengumuman sejumlah lomba. Itu pun tak berlangsung lama. Panggung tujuhbelasan kemudian tak pernah ada lagi. Persis seperti panggung wayang kulit di tiap bulan Sapar yang sudah lebih dulu menghilang. Alasannya sama. Tak ada uang.
Waktu itu aku tak tahu benar berapa jumlah kebutuhan dana yang diperlukan untuk sebuah panggung perayaan. Tentunya besar sekali. Tapi para pemuda tak pernah berhenti berusaha. Menjelang bulan Agustus mereka selalu berkeliling dari rumah ke rumah untuk memungut iuran perayaan. Hasilnya: uang tak pernah terkumpul dengan cukup. Ayahku, setahuku, hanya mau menyisihkan seribu rupiah saja tiap kali para pemuda itu datang. Jika semua kepala keluarga di kampung seperti ayah, maka hanya akan terkumpul tak lebih dari dua ratus ribu saja. Tentu uang tersebut tak cukup di tengah harga kebutuhan yang terus merayap naik di tahun 1990-an. Duit sebesar itu hanya cukup untuk membuat malam tirakatan pada tanggal 16 Agustus. Demikian berlangsung beberapa tahun. Dan pada sebuah bulan Agustus, bersamaan dengan pertunjukan ludruk yang ditonton Mito, para pemuda itu sudah lelah berusaha. Diputuskan tak ada lagi perayaan tujuhbelasan di kampung kami. Jika ada RT-RT yang ingin membuat perayaan sendiri di wilayahnya silakan saja. Silakan diurus sendiri-sendiri.
Begitulah sejak tahun itu, 1993, hingga sekarang saat cerita ini dituliskan, perayaan tujuhbelasan di kampung kami hanya berlangsung di tingkat RT. Tak pernah lagi ada panggung besar di bon suwung maupun di perempatan jalan. Menyedihkan memang. Tapi justru dengan cara demikian perayaan-perayaan dapat terus diberlangsungkan—meski kecil dan sederhana.
Awalnya memang terasa aneh. Biasanya kami kumpul bersama-sama di puncak perayaan, tapi kini malah harus terpisah-pisah dalam perayaan-perayaan kecil dan sederhana di halaman ketua RT masing-masing. Tapi malah dalam situasi ini masing-masing RT dituntut untuk kreatif. Bakat-bakat terpendam mulai bermunculan. Seperti di RT-ku, misalnya. Ada seseorang bernama Emut yang mengisi malam perayaan dengan mendalang semalam suntuk menggunakan wayang kertas dan iringan gamelan dari kaset. Atau Neng Atik, biduan campursari yang selama ini lewat dari pantauan di RT sebelah. Mungkin bakat-bakat itu tak akan bermunculan jika saja perayaan masih memakai pola yang lama. Disatukan dalam perayaan besar satu kampung sekali gus. Jelas mereka sudah gugur duluan, kalah saing dengan pengisi-pengisi tetap setiap tahunnya.
Berkah situasi ini juga diterima oleh Mito. Ia akan tampil mengisi acara lawak di RT-nya. Pak Un, RT-nya yang terkenal baik hati, tak kuasa menolak sumbangan acara dari Mito. Berita ini cepat menyebar. Aku sendiri benar-benar penasaran. Apakah Mito bisa membuktikan seluruh ucapannya selama ini. Bahwa ia adalah seorang pelawak yang jagoan. Banyak orang mungkin juga memendam perasaan yang sama denganku. Selama ini Mito berkilah bahwa ia tak pernah mendapat kesempatan. Dan kini Mito akan mendapatkannya. Kesempatan yang bertahuntahun ditunggunya.
***
TIGA hari menjelang perayaan tujuhbelasan di RT-nya Mito hilang. Seisi kampung geger. Geger bisa jadi berlebihan. Tapi intinya adalah banyak orang mencari Mito. Tak sungguh-sungguh mencari sebenarnya. Hanya bertanya-tanya saja. Beberapa malah mentertawakannya. Mito pasti grogi berat sehingga memilih minggat, kata sebagian. Sebagian lagi ada yang percaya bahwa Mito sedang mencari ilham untuk lawakan-lawakannya nanti. Mungkin ia sedang berziarah ke makam para pelawak kondang. Aku bertanya ke Antok. Ternyata ia pun tak tahu. Bapak minggat begitu saja dan nggak ninggal uang sepeser pun, katanya. Matanya berkaca-kaca saat menjawab, membuatku menyesal karena telah bertanya.
Siang menjelang perayaan tujuhbelasan di RT-nya, Mito tak juga menampakkan wajah Idur-nya. Para niyaga yang sudah jauh hari diminta mengiringinya mulai gelisah. Genjik si penabuh kendang tertawa dengan kecut. Ketidakmunculan Mito adalah bukti bahwa ia sama sekali tak bisa melawak, demikian simpulnya, sambil memasukkan sebatang kendang yang belum selesai dijemur. Mbak Atun, calon pasangannya main, bingung setengah mati. Ia merasa perlu sedikit latihan dengan Mito karena belum pernah manggung bersamanya. Lha kok sampai sekarang belum muncul, keluhnya. Ia tentu saja tidak ingin mendapat malu hanya karena pasangannya bermain dengan buruk.
Pak Un tampak tenang saat beberapa orang bertanya mengenai hilangnya Mito. Gak apa-apa. Masih banyak acara lain kok nanti malam, jawabnya sambil tersenyum-senyum. Lagi pula sebelum pergi Mito sudah pamit denganku. Katanya ia butuh waktu untuk mempersiapkan diri. Ia pasti datang. Biasa kan seniman seperti itu. Pak Un tergelak menutup percakapan.
Menjelang Maghrib Mito tiba-tiba muncul. Ia sudah memakai kostum ala Dagelan Mataram: jarik, surjan, dan iket. Semua orang lega. Tapi juga cemas. Bagaimana jika nanti Mito sama sekali tidak bisa melawak di atas panggung. Tetap saja itu adalah peristiwa yang menyedihkan bagi siapa pun. Nggendong kulkas orang bilang. Alias dingin. Tak ada sambutan. Dan itu adalah petaka bagi penampil. Bagaimana pun Mito sudah menjadi bagian yang tak terpisahkan dari kampung kami. Tak ada yang ingin ia mendapat malu di atas panggung. Penolakan-penolakan yang selama ini berlangsung terhadapnya tak pernah dilandasi oleh niat jahat.
Dengan cepat Mito menggandeng Mbak Atun dan para penabuh. Mereka segera berkumpul di ruang tamu Pak Un untuk merancang dagelan mereka malam itu. Kabar dengan cepat menyebar. Mereka akan membawakan cerita Pak Dengkek . [3]
Kami pun berbondong-bondong menuju halaman kediaman Pak Un, di mana sebuah panggung telah didirikan. Dan tak berapa lama acara pun dimulai dengan berbagai kesenian sajian dari warga. Ada baca puisi, tarian anak-anak dan organ tunggal. Dan Lawak Mito Cs akan menjadi puncak acara perayaan.
Suasana benar-benar menegangkan. Setidaknya bagiku. Acara-acara tengah yang berlangsung sama sekali tak menarik perhatianku. Pikiranku terus-menerus tertambat pada wajah Mito. Saking penasarannya aku sempat mengintip ke dalam rumah Pak Un. Aku lihat Mito dengan kumis ala Hitler. Sumpah. Benar-benar mirip dengan Daryadi. Diam-diam aku berdoa semoga Mito juga selucu Daryadi. Bukan hanya kumisnya saja yang membuat tertawa tapi juga banyolan-banyolannya.
Dan saat yang ditunggu pun telah tiba. Gamelan sudah ditabuh. Kendangan ciblon Genjik terdengar mirip suara air yang tengah ditepuk-tepuk dengan nakal. Kendangan yang sudah lama tak terdengar di kampung kami. Suara Yu Painah yang melengking juga telah kembali. Semua gara-gara Mito. Sungguh kami terdiam waktu itu. Bukan hanya larut dalam buaian siter Pak Jumeyo. Bukan hanya cemas menunggu Mito naik pentas. Lebih dari itu, Mito telah mengembalikan apa yang hilang dari kampung kami. Sepertinya tak penting lagi apakah Mito bisa melawak atau tidak. Aku tak peduli lagi. Ia menjadi pahlawan kami malam hari itu. (*)
.
.
Jogjakarta, 2012
.
Catatan:
[1] Die Rauber karya Friedrich Schiller (1781). Disadur oleh WS Rendra dengan judul Perampok (1977). Diadaptasi kembali oleh ketoprak RRI Nusantara II Yogyakarta dengan judul Rampok dan dipanggungkan pada tahun 1990. Pertunjukan inilah yang disaksikan oleh Mito.
[2] Idur adalah nama panggung dari Daryadi. Salah seorang pelawak kondang di Jogja pada tahun 1990-an. Semasa hidupnya Daryadi banyak berpasangan dengan Yati Pesek dan Marwoto Kawer.
[3] Pak Dengkek adalah salah satu lakon yang terkenal dari pelawak Basiyo. Lawakan Basiyo menjadi terkenal di daerah Yogyakarta dan Jawa Tengah melalui siaran radio, televisi (TVRI), dan berbagai rekaman. Lawakannya sering disebut sebagai Dagelan Mataram, sesuai dengan nama acaranya di RRI Yogyakarta. Pak Dengkek memiliki plot yang serupa benar dengan Le Medecin malgre lui (The Doctor in Spite of Himself, 1666) karya MoliËre (1622 1673). Naskah ini diterjemahkan oleh Asrul Sani ke dalam bahasa Indonesia dengan judul Dokter Gadungan (Dunia Pustaka Jaya, 1979). Juga pernah disadur menjadi Tabib Tetiron oleh Suyatna Anirun (STB, 1976).
.
.
dawam
Lumayan,bahasanya enak,walau pada akhir cerita kita tidak membaca kemampuan Mito dalam melawak.