Cerpen Dian Mardhika (Jawa Pos, 5 Februari 2012)
DI KAMPUNG Salimbada matahari tak pernah terbit di pagi hari. Tapi, semua penduduk kampung itu tak pernah kehilangan waktu fajar subuh. Ayam-ayam jago tak pernah meleset saat mengumandangkan kedatangan pagi. Ketika menjelang siang, baru matahari tampak merayap di punggung bukit.
Sepasang bukit raksasa di arah timur kampung Salimbada itulah yang telah membuat matahari tak pernah terbit di pagi hari. Kedua bukit itu dipercaya sebagai jelmaan Ki Suralimbada dan Nini Sitinembada. Mereka adalah simbol pelindung kampung semenjak kampung itu berdiri. Bukit itu menyelamatkan penduduk dari terjangan ombak tsunami saat terjadi retakan di dasar laut Seasealabada. Bukit itu menyelamatkan penduduk dari penyakit kutukan yang menimpa semua penduduk kampung Salimbada.
Sebagian penduduk kampung Salimbada adalah nelayan karena mereka tinggal di sebuah pulau kecil. Kampung mereka dikelilingi lautan luas. Laut di sekeliling kampung Salimbada kaya akan segala jenis ikan dan kerang. Penduduk boleh menangkap dan memakan semua jenis ikan kecuali ikan sakralikambada. Ikan itu dipercaya sebagai jelmaan Sosompubada, anak Ki Suralimbada dari perkawinannya dengan penguasa laut Seasealabada.
Sebagian lagi adalah petani karena bukit-bukit di kampung Salimbada sangat subur makmur. Segala jenis tumbuhan yang hidup di bukit-bukit tak ada yang tak berguna. Sumber makanan, buah-buahan, dan obat-obatan tersedia di bukit-bukit kampung Salimbada. Semua jenis tumbuhan yang ada di bukit boleh dipanen dan dimakan asal tidak sampai dicabut akar-akarnya. Hal itu dikarenakan akar-akar tumbuhan tersebut telah menancap di tubuh bukit yang merupakan jelmaan Ki Suralimbada dan Nini Sembada. Begitulah aturan adat yang sudah ditaati di kampung Salimbada.
Dulu penduduk kampung Salimbada adalah manusia yang terasing lantaran mereka tidaklah sama dengan manusia kebanyakan. Tubuh mereka dipenuhi sisik seperti sisik ikan. Semakin terik matahari yang menyengat kulit mereka di pagi hari semakin tampak jelas sisik yang menyembul dari kulit mereka. Di saat bersisik seperti itulah mereka terlihat sangat aneh. Suara mereka berubah seperti dengungan lebah. Mata mereka berubah merah seperti mata induk serigala yang kehilangan anaknya. Tak ada orang yang mengerti bahasa mereka selain sesama penduduk kampung Salimbada.
Melihat keadaan itu, tokoh kampung Salimbada mengadakan sebuah upacara untuk memohon kesembuhan atas penyakit mereka yang dianggap sebagai kutukan itu. Tapi, keadaan itu tidak pernah berubah sedikit pun. Bahkan, semakin lama penyakit itu semakin mengucilkan mereka dari pergaulan di luar kampung Salimbada.
“Kita harus berbuat sesuatu untuk kampung kita,” kata Ki Suralimbada kepada istrinya.
“Apa yang bisa kita lakukan untuk kampung kita ini. Kita hanya petani biasa. Yang kita bisa hanya mencangkul tanah, menanam sayuran, buah-buahan, dan pepohonan. Apa mungkin kita bisa berbuat sesuatu untuk kampung kita?” sahut Nini Sitinembada.
“Sepanjang kita masih punya mimpi, kita pasti bisa berbuat sesuatu. Percayalah! Buktinya, biji-bijian yang kita tanam bias membuat perut orang-orang di kampung dan di luar kampung kita kenyang. Daun-daunan yang kita petik bisa membuat mereka terhindar dari segala macam penyakit.”
“Benar. Tetapi, tetap saja kita tidak bisa membuat diri kita sendiri terhindar dari penyakit yang menyerang kampung kita.”
“Entahlah. Mungkin kita terlalu sombong dengan kemakmuran kampung kita sehingga kita dikutuk seperti ini.”
“Lalu, apa yang harus kita lakukan?”
“Kita harus meminta petunjuk. Mudah-mudahan kita dapat petunjuk dari mimpi kita nanti.”
Lalu, kedua orang tua itu melakukan perjalanan spiritualnya. Mereka duduk mematung, tapi pikiran mereka mengembara. Tubuh mereka diam, tapi jiwa mereka terus bergerak menggali petunjuk dari mimpi yang mereka cari. Malam terus bergerak meninggalkan kedua orang tua yang sedang mengejar mimpinya itu. Hingga terdengar kokok ayam jago yang membangunkan keduanya.
“Berhasil! Aku mendapatkan petunjuk dari mimpiku,” teriak Ki Suralimbada.
“Ya, aku juga,” sahut istrinya kegirangan.
“Mimpiku mengatakan, aku harus tinggal di bukit dan merawat bukit-bukit itu seperti anakku sendiri,” ujar Ki Suralimbada.
“Sama. Aku juga punya mimpi yang sama. Aku merawat bukit di ujung timur kampung kita ini hingga bukit itu tumbuh menjadi besar hingga hilang semua kutukan di kampung kita ini,” papar Nini Sitinembada.
Lalu, mereka pun tinggal di bukit itu. Mereka merawat bukit itu seperti anaknya sendiri. Mereka menanam berbagai jenis pepohonan di bukit itu. Mulai pohon perdu hingga pohon kayu yang besar. Lambat laut, bukit di bagian timur kampung Salimbada itu terlihat semakin besar dan menghijau karena pohon-pohonnya tumbuh kian menjulang. Bukit itu terlihat tumbuh semakin tinggi. Tahun demi tahun berganti. Bukit itu terlihat tumbuh semakin besar. Tapi, Ki Suralimbada dan Nini Sitinembada tidak pernah lagi turun bukit dan masuk kampung lagi semenjak mereka memutuskan untuk merawat bukit itu.
Setelah saat itu, penyakit aneh yang diderita penduduk mulai menghilang. Karena sinar matahari pagi tertutup pepohonan bukit, matahari tak bersinar di pagi hari di kampung Salimbada. Penduduk kampung yang tinggal di bawah bukit sangat berterima kasih kepada Ki Suralimbada dan Nini Sitinembada. Mereka pun berbondong-bondong naik ke bukit itu untuk mengucapkan rasa terima kasih mereka kepada sepasang suami istri yang berhasil mengatasi penyakit karena mereka mengikuti petunjuk mimpi mereka. Tapi sayang, penduduk kampung tidak menemukan kedua orang yang mereka cari. Hanya bekas gubuk dan pepohonan yang kian menghijau di setiap penjuru bukit yang mereka temui.
“Di mana Ki Suralimbada dan Nini Sitisembada. Kalaupun mereka mati, di mana kita bisa menemukan kuburannya?”
“Wah, jangan-jangan mereka sudah menjelma menjadi bukit-bukit ini untuk menolong kita?”
“Ya, aku yakin mereka itu titisan wali, orang-orang suci yang dikirim untuk menolong kita.”
“Betul, dulu kedua bukit ini hanya gundukan tanah yang menjulang saja. Tapi, lihatlah sekarang, bukit ini tampak semakin hijau dan besar.”
Maka sejak saat itu penduduk kampung Salimbada mulai mempercayai bahwa sepasang bukit itu adalah jelmaan Ki Suralimbada dan Nini Sitinembada. Mereka pun merawat kedua bukit itu dengan penuh kesungguhan. Karena bukit itu telah membendung sinar matahari pagi yang telah membuat kulit mereka bersisik seperti ikan. Karena bukit itu pula, warga kampung tak pernah kekurangan air bersih di saat musim kemarau. Bukit itu telah menjadi sumber kemakmuran di kampung Salimbada.
Kampung Salimbada menjadi kampung yang makmur. Penyakit aneh yang mereka derita sudah hilang karena kedua bukit di kampung itu. Penduduk pun mulai berani keluar kampung guna menjual hasil laut dan hasil bumi kampung Salimbada yang melimpah. Setiap tahun di atas sebuah puncak bukit, di antara bukit Suralimbada dan bukit Sitinembada, penduduk kampung Salimbada mengadakan upacara syukuran yang dikenal dengan ritual Sasembadabada. Sasembadabada juga digunakan sebagai nama puncak bukit tempat mereka melakukan upacara syukuran. Bukit itu telah menjadi simbol kemakmuran dan tolak bala di kampung Salimbada.
Keadaan yang subur dan makmur itu membuat orang-orang di luar kampung Salimbada tertarik untuk tinggal di kampung itu. Satu per satu orang-orang di luar kampung Salimbada mulai berpindah ke kampung itu. Mereka berbaur hidup rukun dan damai. Kampung Salimbada menjadi kampung yang ramai. Satu dua generasi pun berganti. Semakin tahun, jumlah penduduk kampung Salimbada semakin banyak. Mereka butuh rumah, butuh makan.
Satu demi satu penduduk mulai mengambil pepohonan di bukit. Mereka mengolahnya menjadi rumah-rumah yang mewah dan indah. Tak hanya itu, mereka juga mulai menebang pohon-pohon yang besar untuk dijual ke luar kampung Salimbada. Karena terbiasa dengan kehidupan yang nyaman, mereka pun lupa akan kerja keras nenek moyangnya. Mereka sudah lupa dengan adat yang dipegang para leluhurnya karena mereka pikir aturan-aturan tentang kedua bukit yang dibuat pendahulunya itu sudah kuno dan ketinggalan zaman. Penduduk kampung Salimbada pun semakin kaya raya dari hasil penjualan pepohonan di atas bukit itu.
“Hai, lihatlah. Ada perempuan berkulit ikan,” teriak seorang pemuda kampung yang sedang duduk di warung.
“Hahaha… dia seperti putri duyung yang tersesat di kampung kita,” sahut pemuda yang lain. Tiba-tiba dari kejauhan datang pula seorang lelaki dengan tergopoh-gopoh.
“Celaka! Sial! Kampung kita terkena kutukan lagi. Banyak orang yang bersisik kulitnya. Lihat kulitku pun mulai tumbuh sisiknya,” teriak lelaki itu panik. Kedua pemuda yang berolok-olok tadi pun mulai ketakutan. Dilihatnya kulit mereka dengan seksama.
“Aduh, celaka aku. Aku terkena kutukan!”
“Kita sudah kena kutukan. Pasti nenek moyang kita marah. Kita harus segera minta ampun,” teriak lelaki itu. Semua penduduk kampung risau dengan keadaan itu. Mereka terus berteriak meminta ampun atas kesalahan yang mereka perbuat. Mereka telah merusak bukit. Mereka telah menebang pepohonan di atas bukit itu. Tak ada lagi yang membendung sinar matahari pagi di kampung Salimbada. Kejadian bertahun-tahun lampau terulang kembali.
Mendung tebal menyelimuti kampung saat penduduk sedang melakukan upacara Sasembadabada untuk menolak bala. Malam itu semua orang larut dalam penyesalannya. Penyesalan yang hanya mereka yang mengerti karena suara mereka sudah berubah menjadi seperti suara dengungan lebah. Suara itu berdengung kian keras sekeras suara guntur yang menggelegar di atas bukit.
Hujan tumpah ruah dari langit. Langit seperti murka kepada penduduk kampung Salimbada. Semua penduduk masuk ke rumah-rumah mereka yang mewah. Mereka masih terlarut dalam penyesalan yang mendalam saat rumah-rumah mereka dihantam air lumpur yang meluncur deras dari atas bukit. Sasembadabada runtuh. Kampung Salimbada rata dengan tanah. Tinggal sepasang bukit berkabut tipis saja yang tampak menjulang dari kejauhan. Kampung itu kini tinggal cerita saja. Walaupun kabarnya ada beberapa orang yang pernah melihat sepasang manusia bersisik ikan dengan suara yang mendengung masuk ke dalam hutan di atas bukit itu. (*)
.
.
Kotabaru, 25 Desember 2010
.
.
Leave a Reply