Boyke Abdillah Bakar

Kukang

0
(0)

Cerpen Boyke Abdillah Bakar (Republika, 12 Februari 2012)

SEMENJAK dulu, ayah adalah pribadi pemberang. Kalau marah, ia seperti hantu tanpa kepala. Mendengar suaranya saja membuat ciut nyali kami, belum lagi kalau sudah melepaskan senjata pamungkas, ikat pinggang kulitnya, berubah jadi cemeti. Sudah tertancap dalam benak untuk tidak berbuat apa pun yang membuatnya marah. Aku masih ingat, di depannya, kami menjadi anak-anak manis. Tiga anak perempuan dan dua anak laki-laki seumpama kelinci imut yang penurut.
Tahun lalu, ayah dicalonkan sebagai penghulu dalam rapat Ninik Mamak. Penghulu bertanggung jawab memelihara anggota kaum, suku, dan nagarinya. Menyelesaikan yang kusut serta menjernihkan yang keruh. Pergi tempat bertanya, pulang tempat berberita. Ibarat pohon besar di tengah padang. Akarnya tempat bersila, batangnya tempat bersandar, dahannya tempat bergantung, buahnya untuk dimakan, serta daunnya tempat berlindung. Kepada penghulu anak kemenakan menghadap bila tersandung masalah.
Bukan aku meremehkan ayah. Yang jadi masalah, dalam keluarga besarnya, terdapat beberapa saudara laki-laki sekaum atau sepasukuan yang lebih layak menduduki jabatan adat itu. Ada Pak Dang Gindo, sepupu ayah, seorang pengusaha travel di Jakarta. Juga ada Pak Etek Kamil, adik ayah yang berprofesi dosen di Padang. Atau, Pak Uncu Nasroen yang juga tak kalah hebat, punya perusahaan ekspedisi dengan puluhan armada truk di Pekanbaru. Dari cerita ibu, Pak Uncu Nasroen punya hasrat menduduki jabatan itu.
Tapi, ayah yang terpilih karena dipandang sebagai orang tua sekaligus pendidik yang sukses. Lagi pula, secara geografis lebih dekat dengan kaumnya. Walau kerja penghulu dibantu oleh Manti, Malin, dan Dubalang, kalau berada di tengah kaumnya lebih afdal karena kewajiban penghulu adalah menjaga anak kemenakan.
Tak lama diadakanlah hajatan besar. Kerabat di perantauan berdatangan. Hari itu adalah acara adat Batagak Penghulu untuk ayah. Kecil punya nama, dewasa punya gelar, maka nama ayah menjadi Zaini Rahman Datuk Paduko Sati. Di tengah upacara penobatan terlontar pemikiran di otakku. Masih pentingkah arti seorang penghulu zaman sekarang? Seberapa mangkus petuahnya atas infiltrasi budaya kontemporer ala Google? Jauh dalam otakku yang urban terselip pemikiran sinis, paling-paling penghulu hanya diminta menyelesaikan silang sengketa anak kemenakan berebut pusaka tinggi.
Tak akan kulupa roman muka ayah yang berpidato di depan Ninik Mamak, Bundo Kanduang, serta orang sekampung, tampak berwibawa dalam balutan pakaian kebesaran. Kesenian Randai dimainkan dan banyak makanan dihidangkan. Menu utamanya daging kerbau yang dimasak tak bersantan.
“Mengapa kau tak makan?” tanya kakakku paling tua, Uda Firman, saat acara makan-makan, waktu itu.
“Sudah setahun ini aku vegetarian,” jawabku sembari mencomot kue coklat kehitaman bernama pinyaram. Walaupun seorang internis tak urung membuatnya mengernyitkan kening.
“Atas dasar apa kau memutuskan jadi herbivor?”
“Tak penting untuk membahas hal lain pada saat ayah dinobatkan jadi penghulu.”
“Tak usahlah kau hanyut dalam suasana. Bagiku ini tak lebih dari acara hau-hau belaka.”
Kata-katanya itu membuat otot di kerongkonganku berhenti bekerja. Aku menoleh ke sekelilingan, khawatir didengar oleh yang lain.
“Kalau begitu, mengapa harus bersusah-susah sekeluarga datang dari Palembang?”
“Kau tahulah ayah kita bagaimana! Kaumnya mendukung masa anaknya tidak. Si Yana ketika aku hubungi sedang liburan musim panas di Washington, tapi ia bilang ke ayah sedang sibuk menyelesaikan studinya. Kau sendiri? Pulang karena perintah ayah atau memang penting menghadiri seremoni ini?”
“Aku kira kita sama. Faktor keterpaksaan.”
Kakakku pun tersenyum. Dari pembicaraannya baru aku tahu, tak satu pun dari kami yang senang beliau jadi Datuk Penghulu. Menurutku, kalau hanya untuk status, toh tidak jadi penghulu pun beliau sudah dihormati orang. Walau masih tangkas dan gesit dan gaya bicaranya meledak-ledak—suatu hal yang tak berubah dari dulu—usianya sudah 67. Seharusnya, usia begitu tak lagi mengurus yang lain, kecuali bermain dengan anak cucu. Kakakku yang lain, Uni Afni, pernah memberi usul kalau ayah dan ibu tinggal bergantian di rumah anak-anaknya. Tapi, ayah tidak setuju. Satu hal lagi, bukan bermaksud menjelek-jelekkan orang tua sendiri, ayah adalah pribadi berkepala batu. Walau sudah dewasa dan hidup mandiri, beliau tak pernah mendengar saran kami.

Baca juga  Lelaki Empat Jari

***

Aku menatap kendaraan dan orang-orang yang lalu-lalang lewat kaca tembus pandang di sebuah coffe shop. Adik bungsuku yang tengah berada di Jakarta, pada sela-sela urusan dinasnya yang ketat, kami bersua. Temu kangen, tapi ketika pembicaraan melebar sampai keadaan ayah, membuat aku tak bisa meyakini ucapannya.
“Uda tahu kukang, bukan? Hewan primata bermata bundar berperilaku pemalu, bergerak lamban? Seperti itulah ayah kini. Semenjak jadi penghulu, tabiat ayah jadi berubah. Bicaranya sudah pelan, tidak lagi keras, apalagi menghardik. Kalau berjalan pun tak lagi gegas. Persis kukang. Aku khawatir ada apa-apanya dengan dia.”
“Ada apa-apa bagaimana?”
“Sepertinya ayah diobati orang.”
Aku tersenyum geli. Tak kusangka ia yang orang kantoran, berpendidikan tinggi, berpikir jauh dari kelasnya.
“Jangan bilang aku kampungan.” Ia sepertinya tahu arti sorot mataku. “Tidak semua hal bisa ditakar dengan akal sehat, Da. Bagaimana mungkin ayah kita nan temperamental, tiba-tiba berubah 180 derajat semenjak jadi penghulu?”
“Bisa jadi karena hal lain, kan? Penghulu itu pemimpin kaum. Seorang pemimpin harus pandai menjaga citra. Mengapa kamu yakin ayah diobati orang?”
“Uda tahu siapa yang tak senang waktu ayah terpilih jadi penghulu?”
“Pak Uncu Nasroen?” jawabku asal-asalan. Matanya langsung berbinar terang, menyapu seluruh wajahku. Lalu, meluncurlah asumsi yang tak bisa kupercaya. Katanya, Pak Uncu Nasroen memang sudah lama berambisi jadi penghulu. Dengan jabatan itu akan memuluskan langkahnya membuka bisnis baru. Membuka pusat rekreasi semacam waterpark di kampung. Pak Uncu Nasroen melihat peluang bisnis di kampung kami nan sejuk dan asri sangat cocok untuk tempat rekreasi. Tapi, orang kampung melihat dari kacamata berbeda. Kalau memang ingin membangun nagari, mengapa harus membangun tempat mandi-mandi? Jelas akan berdampak pada kehidupan masyarakat yang masih kuat memegang adat yang bersemboyan ABS SBK itu (Adat Bersendi Syarak-Syarak Bersendi Kitabullah).
“Uda tahu, ternyata ayah menyetujui proyek Pak Uncu Nasroen! Dalam Kerapatan Adat Nagari, beliau justru membela proyek itu. Mereka yang menolak, mencurigai ayah telah kena pukang. Setiap aku pulang, bisik-bisik itu selalu saja mampir di telingaku. Aku curiga, apa yang dikatakan orang-orang mungkin ada benarnya.”
Sejenak aku terdiam. Mulai terpengaruh. Bukan karena ucapannya itu, melainkan ada rasa bersalah dalam diri. Terlalu sibuk dengan hidupku sendiri hingga tak punya banyak waktu menyapa orang tua yang mungkin saja kesepian ditinggal anak-anaknya.
“Terus, apa ayah pernah mengeluh tentang kondisinya sekarang ini?”
“Tidak! Dia selalu merasa baik-baik saja! Lucunya, ibu malah tenang-tenang saja. Katanya, semenjak jadi penghulu, ibu bisa tenang karena ayah tak suka lagi memburansang!”
Aku tergelak.
“Mengapa tertawa? Tampaknya Uda tidak khawatir ?”
“Bukan begitu. Aku mencoba melihat sisi baiknya. Kalau ayah sendiri tak pernah mengeluhkan kesehatannya, buat apa khawatir?”
Adikku mengernyitkan kening, menatapku tak paham.

Baca juga  Merindukan Nabi di Mushala Kami

***

Desas-desus mengenai ayah akhirnya sampai ke Palembang, bahkan ke Washington. Pasti Santi sudah memberi tahu mereka. Kami yang hidup di rantau tak begitu peduli sebenarnya dengan intrik yang terjadi di kampung. Sepanjang tak ada kabar buruk tentang kondisi ayah, buat apa peduli dengan omongan adik bungsu kami itu? Kalau ayah tidak lagi garang, itu berita baik. Berarti ayah mengemban jabatan itu dengan baik. Seorang penghulu memang tak boleh marah, menghardik, dan menghantam tanah. Marahnya seorang penghulu, ibarat harimau yang ada dalam perutnya, kambing jua yang dimuntahkan. Penghulu pun tak elok berjalan serampangan, tergesa-gesa, apalagi berlari. Tahu ranggas nan akan melenting, tunggul nan akan menyandung. Memutuskan suatu perkara pun harus adil. Tiba di mata tidak dipicingkan, tiba di perut tidak pula dikempiskan. Begitu mamang adat tentang penghulu. Jadi, kalau ayah ternyata membela Pak Uncu Nasroen, pasti bukan karena ‘diobati’, melainkan karena punya pemikiran lain yang belum bisa dipahami orang. Begitu kata Yana. Aku salut padanya. Walaupun ia lebih muda dariku, ia sangat mengerti duduk perkara ini. Maka itu, aku jadi tertawa sendiri mengingat omongan Santi yang mengatakan ayah seperti kukang saja layaknya. Konyol.

***

Hanya dua bulan berselang setelah kedatangan adikku di Jakarta, aku menerima telepon dari ibu. Kabar buruk yang membuatku harus pulang meninggalkan pekerjaan. Ayah sedang kritis akibat terjatuh di kamar mandi. Pagi ditelepon, sorenya aku sudah berada di rumah sakit umum daerah bersama Ibu, Uni Afni, dan Santi, menemani ayah yang belum sadarkan diri. Uda Firman menyusul keesokan hari. Walau sempat bernapas lega saat ayah tersadar, kecemasan di hati kami kembali hinggap.
“Kalian siapa?” tanya ayah menatap kami satu per satu. Bola matanya sayu. Suaranya teramat pelan seperti orang tak bergairah. Kami berkumpul mengelilingi ayah yang terbaring lemah di ranjang. Dua hari beliau tak sadarkan diri. Kata dokter, dari hasil CT-Scan, tak ada masalah dengan otaknya, tapi semenjak sadar, beliau jadi lupa ingatan. Tak mengenal kami lagi.
“Kalian ini siapa?” Ayah masih mengajukan pertanyaan yang terlihat konyol, tapi lumrah bagi orang yang diserang amnesia. Tentu saja itu membuat kami bingung.
“Ini kami, anak-anak ayah. Ini Uda Firman, ini Uni Afni, aku—Alif, dan ini Santi. Nah, ini ibu. Masak ayah lupa?” ujarku menunjuk yang hadir mengembalikan ingatannya yang kacau balau.
“Apa buktinya kalau kalian ini anak-anakku?” Kami terenyak, tak bisa jawab.
“Ayah istirahat saja dulu! Nanti kalau ingatan ayah sudah pulih, akan tahu sendiri. Sekarang ayah lagi di rumah sakit akibat jatuh dari kamar mandi dan tak sadarkan diri selama dua hari,” ujar Uni Afni mengelus bahu ayah. Ayah diam mencoba memejamkan mata. Mungkin berusaha keras untuk mengingat-ingat apa yang telah ia alami, tapi terlihat tak berhasil.
Zaini Rahman Datuk Paduko Sati, sosok yang sangat kami hormati sekaligus kami takuti, terlihat begitu lemah. Tak terlihat sama sekali tabiat pemberangnya. Suaranya yang biasa keras dan lantang, sekarang seperti tagline iklan mobil diesel, nyaris tak terdengar. Walaupun aku tidak suka punya ayah nan pemberang, melihat kondisinya seperti ini jelas membuatku begitu gundah. Pasti sesuatu telah terjadi. Tak mungkin sebuah benturan bisa membuatnya seperti ini. Aku jadi teringat apa yang dikatakan Santi tempo hari. Apa benar ini akibat ayah diobati orang? Ah, mengapa pula aku jadi terpengaruh begini?
Setelah Yana datang, kesedihan kami menjadi paripurna. Ayah berpulang dengan tenang pada Jumat pagi. Kami semua larut dalam kesedihan. Tidak pernah menyangka sama sekali ayah akan pergi secepat itu.

Baca juga  Mahligai Merah Jambu

***

Aku tak pernah tahu, tepatnya tak mau tahu, kalau ayah benar diobati orang. Yang aku sesalkan mengapa di antara kami tak ada yang berani menyanggah ketika beliau diangkat jadi penghulu. Bukankah kata Santi, ayah jadi berubah semenjak beliau diangkat jadi penghulu? Yang pasti tak lama setelah ayah tiada, kaumnya sepakat mengangkat Pak Uncu Nasroen jadi pengganti ayah. Dan tak lama, sebuah pusat rekreasi, waterpark pun dibangun di kampung kami. Sama sekali tak ada pertentangan dari pihak-pihak tertentu. Kalau benar ilmu pukang itu ada, apakah mereka yang menentang Pak Uncu Nasroen dulu telah kena pengaruh pula? Ah, aku tak percaya. Soalnya ada yang lebih hebat dari ilmu itu, yang benar-benar membuat orang seperti kukang. Lamban, penurut, tak banyak tingkah. Namanya uang. (*)
 .
.
Keterangan:
kukang, pukang malu-malu = hewan dengan bahasa Latin Nycticebus coucang
hau-hau = sesuatu yang tak berarti, namun dianggap penting
mamburansang = marah secara spontan
mamang = perkataan adat yang sering diucapkan
 .

Penulis, kelahiran 11 Desember 1971, adalah alumni Universitas Andalas, Padang. Mulai menulis cerpen sejak SMA. Pada 2010, masuk lima terbaik dalam kompetisi menulis tentang gempa bumi Sumatra Barat yang diadakan Padang Ekspres.

.

.

Loading

Average rating 0 / 5. Vote count: 0

No votes so far! Be the first to rate this post.

5 Comments

  1. Godang

    Aku hanyut dan terhibur membaca cerita ini. Penulis mengungkapkan perasaan seorang anak terhadap bapaknya: rasional, terbuka dan manusiawi. Akhirnya adalah klimaks yg tak kuduga. Terima kasih untuk karya yg indah ini.

  2. Lumayan. Pengetahuan kita tentang orang-orang Minang dengan segala tuntunan adatnya makin bertambah.
    Pengetahuan kita tentang adat, budaya dan tatakrama berbagai macam suku bangsa penghuni tanah air tercinta ini selayaknya kita perkaya terus, agar kita tak gampang diadu domba oleh pihak luar yang tidak suka negeri ini damai.

  3. MARKES0

    Uang ???

  4. raffendie

    cukup membuat sy penasaran membacanya…..tp sy msih ingin berharap ending yang lebih dr ini

  5. Penggarapan lokalitas nan apik. Rancak!

Leave a Reply

error: Content is protected !!