Cerpen Lilik HS (Kompas, 04 Oktober 2020)
DESA Sudi Mulyo mendadak gempar. Dari mulut ke mulut segera berembus kabar, ada sepotong kepala melayang-layang menjumpai beberapa penduduk desa. Sosok kepala itu pertama kali mendatangi Nurdin, seorang pensiunan guru.
Pagi ini, Marsih heran. Menjelang subuh, Nurdin terbangun dengan napas terengah. Keringat dingin mengucur. Ia mengucap zikir berkali-kali. Mukanya pucat. Ia minta dibuatkan segelas teh panas tanpa gula. Setelah kucuran keringat mereda, barulah Marsih berani bertanya. Nurdin menjawab dengan sepatah kata: Salamah.
”Salamah siapa, Pak?”
”Salamah!” Mata Nurdin menewarang ke kelambu yang membungkus ranjangnya. Marsih terlongong bingung. Tak berani bertanya lagi. Ia mencoba mengingat-ingat. Tak ada nama Salamah di desanya.
”Salamah siapa, Pak?!”
”Salamah datang. Menghampiriku. Hanya kepalanya! Kepala itu berputar-putar di hadapanku. Sorot matanya itu, aku tak bisa lupa!” Nurdin tersedak-sedak. Tehnya menyembur keluar.
”Eling, Pak!”
Nurdin terus menceracau.
”Kepala itu, Sih! Menunjuk-nunjuk aku! Menatapku dengan memelas. Ia bilang, tolong aku, Nurdin! Tolong aku!”
”Pak….!”
”Aku lihat dia. Bersama bapaknya, pamannya, kakaknya dan beberapa penduduk desa. Mereka diseret, dibawa ke tepi hutan Widaren. Aku yang bawa oncor untuk penerang jalan saat itu!”
Nurdin terus menceracau. Suhu badannya meninggi. Pak Mantri tergopoh datang begitu Marsih menelepon.
”Pak Nurdin kecapekan dan stres,” kata Pak Mantri. Ia memberi suntikan dan tiga papan obat.
Keesokan malam, tersiar kabar lain. Sulaiman, kawan lama Nurdin mengalami hal serupa. Tengah malam ia berteriak-teriak dan menyebut nama Salamah. Penduduk semakin resah. Kasak-kusuk segera menjalar dari warung kopi.
Malam ketiga, teriakan keras melengking dari rumah Baron Suparto.
”Kepala….kepalaa….Salamah!”
Seluruh desa gempar. Tiga hari berturut-turut, tiga orang didatangi potongan kepala Salamah.
Nama Salamah sayup-sayup terdengar kembali, disebut dengan bibir gemetar. Para sesepuh desa tidak asing dengan nama itu. Salamah, anak sulung Diro Saidi, pemilik penggilingan padi dan punya beberapa truk. Sudah 55 tahun berlalu, mulut mereka terkunci rapat kendati ingatan tentang geger tengah malam itu tetap terpatri di kepala. Tentang puluhan orang yang diciduk dari rumahnya, digelandang ke tengah hutan dan nyawanya lenyap di sana.
Sudah tiga hari ini para lelaki tak berani tidur di rumah. Mereka berkumpul di pos ronda, membawa serta papan catur dan kartu remi. Sulaiman datang dengan tergopoh. Dua lembar salonpas menempel pelipisnya.
”Apa maksudnya ia datang pada kita? Peristiwa itu sudah lama sekali. Sekarang kita sudah jadi kakek-kakek begini…,” ujar Sulaiman.
”Apa dia ingin menuntut balas?” Baron Suparto menyahut dengan suara lemah. Semalaman ia tak bisa tidur. ”Pasti gara-gara ada orang-orang yang kembali mengungkit peristiwa itu. Aku dengar ada yang mau membongkar-bongkar kuburan….”
”Apa benar begitu?” dahi Sulaiman berkerut.
”Iya, aku kemarin lihat di TV. Di koran-koran juga ada.”
”Wah, bisa jadi masalah besar..” Pak Dukuh menyahut.
Malam beringsut larut. Bunyi kodok dan jengkerik bersahutan. Angin berdesir-desir. Sulaiman pamit pulang. Tubuhnya makin meriang kena angin malam. Ia ingin mampir ke rumah Nurdin, tapi urung. Istrinya bilang, Nurdin masih demam tinggi dan tak mau ditemui.
Kasak-kusuk berkembang semakin liar. Tentang kuburan Salamah yang akan digali. Tentang organisasi lama yang akan bangkit lagi.
***
Di kamar, mata Nurdin terpaku menatap layar televisi. Ingatannya terlempar pada 55 tahun silam. Ia baru lulus SMP dan hendak melamar menjadi pegawai di perkebunan tebu di kecamatan.
Salamah belum lulus sekolah guru. Ia berparas manis, pandai menari, menyanyi dan bermain voli. Nurdin ingat ketika pak bupati berkunjung ke desanya, Salamah yang maju dan mengalungkan untaian bunga. Langkahnya anggun. Senyumnya manis sekali. Nurdin langsung jatuh hati. Tapi ia tak punya nyali.
Ayah Nurdin tak senang ia dekat dengan Salamah. Ia murka ketika suatu hari menyaksikan Nurdin tengah memboncengkan Salamah hendak pergi latihan menari.
”Jangan dekat-dekat dengan keluarganya!”
Nurdin tak paham. Ia hanya tahu Diro Saidi seorang kaya yang baik hati. Ia menyumbang untuk pentas ketoprak, membuka kursus buta huruf di rumahnya dan memberi harga murah bagi yang hendak menyewa kursi untuk acara pernikahan.
Nurdin tak pernah sanggup melupakan malam itu. Hujan baru saja turun. Langit hitam pekat. Selepas magrib desa di pinggiran hutan yang biasanya senyap itu mendadak riuh. Puluhan tentara berseragam menenteng senapan, diikuti pemuda-pemuda membawa pentungan dan cangkul. Di depannya, puluhan laki dan perempuan berbaris berjajar dengan tangan diikat tali tampar.
Orang-orang meringkuk di dalam rumah. Beberapa mengintip dari lubang gedek dengan napas tertahan. Dengan dengkul gemetar Nurdin menyaksikan puluhan orang itu, termasuk Diro Saidi diseret-seret dengan tubuh koyak. Seutas tali tampar melingkar di lehernya. Ia ditarik paksa. Salamah berjalan terseok di belakangnya dengan kepala tertunduk.
Saat barisan itu melintas, Nurdin melengos. Hatinya teriris. Suaranya berhenti di kerongkongan. Dia ingin sekali menarik Salamah dari barisan itu, tetapi suasana sungguh mengerikan.
”Bunuh! Gantung!” Teriakan itu terus berhamburan. Suara paling lantang keluar dari mulut ayah Nurdin. Tangannya memegang sepotong kayu. Air mata Nurdin jatuh ketika menyaksikan kayu itu terayun-ayun.
”Kamu diam saja! Bantu sini!” ayahnya mengulurkan oncor.
Nurdin tergeragap dan menerima dengan tergesa. Ia berjalan cepat menjajari langkah Salamah. Nurdin juga menyaksikan teman mainnya, Baron Suparto dan Sulaiman membawa sebilah bambu panjang. Sepanjang jalan, hati Nurdin tercabik-cabik. Ia tak berani menoleh pada Salamah.
”Tolong ibuku, Din. Ibuku sakit.. ….” Salamah berbisik pelan sekali. Nurdin mengangguk. Matanya pedas.
”Wis, pateni wae…pateni waeee…” terdengar suara gemuruh sepanjang jalan.
Mendekati hutan Widaren, barisan orang diseret-seret makin kencang. Nurdin menyaksikan Diro Saidi terus digebuki. Ia tak mengaduh. Bibirnya hanya bergetar tanpa suara. Seorang anak muda melemparkan sebongkah batu ke kepala Diro Saidi. Darah mengucur. Nurdin melirik, itu adalah Sulaiman.
”Wisss..Pateni wae…pateni waee!”
Orang-orang makin beringas. Lolong kesakitan pecah membelah malam.
Nurdin mengambil batu. Ia menggenggam saja. Teriakan semakin membahana. Dan entah angin dari mana, Nurdin melemparkan bongkahan batu di tangannya, terkena tepat di tengkuk Salamah. Salamah terhuyung. Nurdin terpana. Dalam hitungan detik, ayah Nurdin mengangkat parang, tepat mengenai kepala Salamah yang langsung menggelinding rubuh ke tanah. Nurdin memekik sekencang-kencangnya.
Adegan itu tak pernah lenyap dari kepalanya. Malam yang tak akan terlupa sepanjang hidupnya. Malam-malam setelahnya seperti kegilaan bagi Nurdin. Ia kembali diseret bapaknya untuk menjemput orang-orang. Kembali ia tak bisa menolak.
Nyaris dua minggu geger itu terjadi. Desa dikepung senyap. Para lelaki bersembunyi di hutan dan kabur keluar desa. Ia juga mendengar kabar ibu Salamah yang ditemukan mati di kolong ranjang dengan lelehan muntahan darah kering di sekujur tubuhnya.
Berbulan setelah kejadian itu, Nurdin pergi merantau ke kota. Ia baru kembali 10 tahun kemudian setelah ayahnya meninggal. Ia menikah dengan Marsih dan bekerja sebagai guru SD.
Tak pernah ada yang berani buka mulut tentang peristiwa itu. Semua membisu. Tahun demi tahun, hingga berpuluh tahun, Nurdin tetap tak bisa melupakan peristiwa di malam gila itu. Kedua anaknya, Satrio dan Wikan, telah menikah. Satrio jadi dosen di sebuah perguruan tinggi swasta di Semarang dan Wikan bekerja di sebuah pabrik tekstil di Bekasi. Hingga suatu hari, Satrio berkisah tentang sebuah riset yang dilakukannya, tentang peristiwa 65.
Sejak itu Nurdin kerap dihantam gelisah. Ingatan akan 55 tahun kemudian kembali mengusik. Koran-koran juga banyak membahas peristiwa itu dengan nada yang berbeda. Nurdin juga mengikuti berita tentang simposium 1965 yang yang konon berniat menyelesaikan kasus yang ternyata berdampak mengerikan yang katanya menewaskan begitu banyak orang. Nurdin bergidik membayangkan wajah Salamah dan Diro Saidi yang berjalan sempoyongan menuju tempat pembantaian di tepi hutan. Rasa bersalah kembali menerobos relung hatinya. Ia tak ingin terus dikejar dosa.
***
”Ke mana, Pak? Baru sembuh kok sudah mau keluar?” Marsih menegur Nurdin yang menuntun motor keluar rumah.
”Ke rumah Pak Dukuh sebentar..”
Nurdin memacu motornya perlahan. Jalanan agak becek sisa hujan semalam. Setelah keluar batas desa, melewati perkebunan tebu, sampailah Nurdin ke pinggir hutan. Motor dipacu perlahan, meliuk-liuk melintasi batu-batuan dan potongan ranting jati dan jarak yang berserak.
Ia berhenti di hamparan tanah dengan sebongkah batu hitam besar dan dua pokok pohon jati. Ia yakin benar, itulah penandanya. Dulu ada lubang besar di situ. Dan orang-orang mati tersungkur di dalamnya.
Nurdin berjongkok. Berkali menghela napas. Keringatnya menetes satu-satu.
”Maafkanku aku, Salamah…”
Nurdin memejamkan mata. Batinnya teraduk-aduk. Usai merapal doa, ia bangkit dan memacu motornya dengan agak tergesa. Menuju rumah Sulaiman.
”Aku ndak mau mati dikejar dosa. Kita bikin tahlilan di sana. Ada belasan mati di sana.”
”Untuk apa? Kasus itu sudah tamat! Selesai!” kata Sulaiman.
Selepas magrib, Nurdin dan Sulaiman meluncur ke rumah Pak Dukuh.
”Pak Dukuh, saya baru dari hutan Widaren.. tempat..…orang-orang dikubur di sana..” Pak Dukuh menghela napas.
”Saya rasa, ia datang, untuk mengingatkan kita semua, terutama saya. Zaman gegeran dulu, saya ikut menyiksanya… ”
”Kamu mengada-ada, Din. Tidak perlu diungkit-ungkit lagi.” Sulaiman menatapnya dengan mata memerah. Sekilas, Nurdin teringat sebongkah batu yang dilempar Sulaiman ke kepala Diro Saidi. Pak Dukuh tak berkata apa-apa. Nurdin bergegas menuju motornya. Ia sudah merencanakan bikin selamatan, bikin tahlilan, biar tak ada satupun yang mendukungnya. Hendak menyalakan motor, suara menggelegar keluar dari belakang rumah Pak Dukuh.
”Kepala Salamah datang!!”
Semua orang berpandang-pandangan. ***
.
.
Lilik HS, penulis, pekerja di Yayasan Indonesia untuk Kemanusiaan, menetap di Depok, lahir di Madiun, 9 Maret 1974.
Henrycus Napitsunargo, lahir di Bandung, 1 Juli 1974. Bekerja sebagai pengajar pada program visual art di Institut Teknologi Bandung, komunikasi visual di Universitas Maranatha, serta fotografi dan film di Universitas Pasundan.
.
Salamah dan Malam yang Tak Terlupakan. Salamah dan Malam yang Tak Terlupakan. Salamah dan Malam yang Tak Terlupakan. Salamah dan Malam yang Tak Terlupakan.
Leave a Reply