Cerpen Muliadi Gf (Republika, 19 Februari 2012)
BUKALAH buku itu, Sahabat, dan kau akan menemukan sungai. Setelah halaman pertama, kita akan sampai ke halaman milik Om Amir. Bila hendak ke sungai, seperti dulu, kita harus melampaui halaman itu. Satu halaman penuh telah beliau isi dengan jambu mete, ubi, dan beberapa tanaman lain. Halaman itu lebih pantas kita sebut kebun.
Membuka halaman baru, kita akan memutar melewati tiga buah rumah. Ingat, lembar baru pasti di sebelah kanan, kita mengarah ke kanan. Di salah satu rumah, kau akan membaca kalimat berisi panggilan untuk seorang kawan. Tentu lebih asyik bermain di sungai bila beramai-ramai.
Sebatang pohon jambu yang selalu menjatuhkan serbuk-serbuk merah jambu berbentuk bulu babi, lembut, dan kecut berair, berdiri di tengah halaman itu. Kita melewatinya, dan kau akan ingat pernah memanjatnya dan terjatuh di situ. Saat teman-teman datang, kita berlomba lari menuju benteng, benteng kita, benteng yang disusun dari batu-batu besar terikat kawat, pembendung debit air sungai yang selalu naik jika hujan deras tiba. Benteng itu membentang sepanjang sungai, dan di bawah jembatan. Sesaat setelah hujan deras, kita terbiasa mengikuti batang-batang kayu, sampah, bangkai, dan kotoran manusia, serta apa saja, dibawa hanyut arus dari hulu.
Namun, karena buku ini ditulis saat bulan pelit hujan, kita tak akan menemui air yang tinggi. Tapi, tentu saja, kau bisa mengingatnya. Tentu saja, kau bisa mengingat di benteng bawah jembatan itulah kita biasa melabuhkan pancing atau berenang. Kau ingat, tidak? Teman kita Abe dengan polosnya berkata, “Tunggu dulu, akan kuukur tinggi air,” sebelum mencebur ke air, sementara kita tahu ia tidak pandai berenang. Lama tak tampak apa-apa selain gelembung-gelembung kecil, lalu kau, kau yang paling berani, melompat ke air, berjumpalitan di dalamnya, dan muncul terengah-engah dengan memeluk Abe yang megap-megap seperti ikan. Saat sadar, ia masih sempat berujar, “Wah, ternyata dalam, Kawan.” Jangan tertawa, kita harus menghargainya.
Saat kita datang ini, air sungai dangkal, maka mari bermain-main saja di antara batu-batu kali, mari…. Sebatas tumit, air menjilat-jilat kita, geli, dan biasanya kau akan mengusulkan untuk berburu udang-udang kecil di balik batu-batu, membongkarnya, udang itu melecut ke balik batu lain, air keruh di bawah kita, dan kau–menunjukkan keras kepalamu–terus memburu hingga celah-celah benteng batu. Udang itu tak terlihat lagi, ia menghilang ke halaman sebelah. Mari kita buka halaman baru….
Di halaman baru, air sungai naik, tapi masih terjangkau tubuh-tubuh kecil kita. Seseorang melompat ke dalam air berwarna cokelat yang bercampur lumpur, diikuti yang lain, kau, aku. Tahukah kau, di sungai itulah aku untuk pertama kalinya mengenal genangan air yang lebih dalam dan lebih luas dari bak mandi rumahku. Namun, baru di kemudian hari, di negeri orang, aku pandai berenang. Mungkin karena di saat kawan-kawan lain belajar berenang, perhatianku tertuju pada kenikmatan berada dalam belaian air sungai seperti selimut panjang berwarna cokelat di mana aku bebas bergerak ke mana saja dan melakukan apa saja tanpa merasa perlu merapikannya sehabis bermain sepuas hati. Ya, mungkin karena itu. Aku sangat menikmatinya.
Halaman berikutnya sekilas akan mengingatkanmu saat kita pergi mengaji. Kau mengeluh sakit perut dan hendak membuang kegelisahan di perutmu. Kau lalu meminta izin kepada Puang Latte, guru mengaji kita, yang segera dibolehkan oleh beliau. Guru mengaji kita terkenal berwatak tegas, tetapi melihatmu, terbit keberanianku, kuangkat tangan dan setengah berteriak, “Saya juga, Puang!” lalu diikuti seseorang, “Saya juga, Puang!” dan diikuti lagi seorang, “Saya juga, Puang!”
Selanjutnya, kita memanfaatkan kurangnya sosialisasi pemerintah tentang pentingnya membangun kakus saat itu. Kita manfaatkan betul-betul, sebaik-baiknya, bahkan sebanyak-banyaknya, hingga selebih-lebihnya. Tapi, tentu saja, Sahabat, seperti kata guru mengaji kita: segala yang berlebihan itu tidak baik adanya. Kita membuktikannya. Saat kau sedang serius mengeluarkan telur-telur kuningmu di tepi sungai, aku dan yang lain memburu anak ikan conde’ di celah-celah batu. Ikan itu sangat kecil; bertotol-totol.
Perburuan menjadi sesuatu yang sia-sia karena gerakannya yang sangat gesit. Tapi, kepala kami sekeras batu-batu kali, kami terus memburu. Tak ada yang sia-sia bagi anak-anak seperti kita, tak ada pretensi, dan tujuan melakukannya pun seakan tenggelam dalam sungai kepala kita. Kita hanya bermain. Hingga tiba… kau selesai mencuci bokongmu, dan kau bergabung bersama kami untuk memburu conde’ genit, dari jauh datanglah dua malaikat berjalan santai ke arah kita.
Malaikat itu membawa masing-masing sebilah bambu yang tampaknya diambil begitu saja dari pagar reot samping rumah. Itu bapakmu, dan seorang lagi, bapakku. Dua orang kawan kita lebih dulu sadar—curang mereka, tak memberi tahu!—mengambil langkah seribu. Sedangkan, kau dan aku terpana, bagai terhipnotis oleh kemunculan sosok serupa malaikat itu, dan baru tersadar saat bilah bambu mencium lembut—tentu bohong—pantat, paha, dan betis kita. Esok tahulah kita, sementara asyik memburu ikan conde’, sang guru mengaji datang ke rumah menanyakan kepergian kita ke sungai yang rasanya terlalu lama untuk orang yang hanya ingin buang air besar saja. Hmm, ikan conde’ sialan! Ditularkannya totol-totol ke betis kita.
Untuk waktu yang lama, sungai itu menjadi kepala keluarga desa kita, menjadi tulang punggungnya. Dari dasar sungai, batu-batu kali dari yang sebesar kuku hingga kepalan tangan sampai sebesar kepala dikeruk. Lalu, ibu-ibu berdaster lusuh dan berbedak pica [1] akan jongkok di depan tatakan batu, di tepi sungai, mengayunkan lengan-lengannya yang gembung dan lentur ke batu yang dijepit alat terbuat dari sekerat ban dengan gagang dari dahan kayu. Hasilnya yang berupa kepingan batu kecil tajam akan terlihat membukit di tepi sungai itu, sungai kita, menunggu satu truk terbuka datang mengangkutnya ke proyek entah di mana, pembangunan rumah entah milik siapa.
Truk-truk itu ikut menggoda beberapa kawan kita, kebanyakan yang putus sekolah, mengambil mereka dari rombongan di tepi jalan dusun untuk menjadi pakkoli’ [2], bekerja menyekop batu-batu yang telah mampus dipukul itu ke atas truk sebelum menyekopnya lagi di tempat tujuan. Sebelum itu, mereka akan terlihat bergelantungan di atas truk, merokok, bersenda-gurau, yang segera membuat kita iri.
Sungai itu telah sangat baik pada kita, Sahabat. Ia menerima semuanya. Di batang tubuhnya, kebersihan dan kekotoran bercampur aduk. Kau akan melihat seorang perempuan mencuci di tepinya, sementara di tepi lain seseorang tengah berjongkok dengan sarung menutup hidung—kau tahu kan apa yang dilakukannya? Di tempat bocah-bocah mandi, seseorang akan menitip sampah tanpa alamat tujuan yang jelas. Di sungai itu pula, aku menemanimu mencuci usus sapi, kau ingat? Kau ingatkah saat sementara menggosok isi perut sapi yang mirip handuk, hanyut di depan kita sepasang bangkai kambing berperut gembung yang dililiti ulat kecil? Mungkin kau lupa, tapi pasti kau ingat setelah itu, sesampainya di rumah, usus sapi yang telah menjadi coto, kita makan dengan lahapnya, aku bahkan habis sampai tiga mangkok. Sungai itu sangat baik, Sahabat. Sungai itu suci, ia adalah air wudhu abadi yang mampu menyucikan segala macam kotoran.
Tiap kali pulang ke desa, aku akan ke sungai itu, memaku perhatianku pada batu-batu kecil di dasar sungai. Sekali waktu, sementara mengamati batu-batu sungai, aku tiba-tiba teringat ceritamu tentang Nenek Era. Aku akan mengangkat pandang ke arah rumah-rumah di kampung sebelah sungai, ia tinggal di sana. Hampir tiap minggu di masa kecilmu dulu, ia menyeberangi sungai dengan sesuatu di balik lindung sarungnya. Ia tak mau orang lain melihat yang ia bawa.
Kupandangi batu-batu di balik air, membayangkan telapak kakinya yang kecil nan keriput menyentuh batu-batu licin itu, meraba-raba lewat getaran hangat air sungai sebatas lutut, memijak dituntun sensor halus dalam betisnya yang kecil-pendek, dan tidak merapikan sarungnya hingga sampai di rumahmu dengan sosok bagai orang kedinginan hendak mandi.
Aku ingat semuanya, Sahabat, aku ingat. Nenek Era, dengan matanya yang sebelah memutih oleh katarak dan kehangatan perempuan tua seusianya, selalu mengelus rambutmu dan berkata, “Awwee… appoku (Oh, Cucuku),” dan mulai mengeluarkan sesuatu yang ia bungkus dalam sarungnya, sebuah permata berharga dari kebeningan masa kecilmu: sebungkus biskuit. Lihat, Sahabat, air sungai itu begitu bening. Hingga kau usia SMP, ia masih sering bolak-balik membawakanmu biskuit, kadang pula pisang, rambutan, atau jeruk, dan semua ia bungkus dalam sarungnya.
Masih seperti sebelumnya, masih setia dengan sungai sebagai jembatannya, ia tunjukkan kekuatannya dengan menyeberangi sungai itu. Beberapa tahun lalu, dalam Januari yang hujan, kau menawarkan diri mengantarnya dengan motor, tapi ia menolak dengan alasan takut. Pada akhirnya, ia ngotot menyeberangi sungai yang saat itu meluap karena hujan sedari pagi. Kau mengantarnya hingga bibir sungai. Dalam kegelapan malam, kau pandangi lekat-lekat siluet nasib usia tuanya, membelah air hingga ke seberang. Saat ini, aku membayangkan ia berbalik melambaikan tangan padamu, dan di bening air sungai itu, tampak potongan kecil biskuit yang hancur pelan-pelan terbawa arus.
Arus lain—arus waktu—yang paralel dengan arus itu, telah menghanyutkan kenangan masa kecil kita. Apa yang kutulis ini hanya sebagian yang telah hanyut, namun terdampar entah di hari apa, jam berapa, waktu kapan; menyisakan sungai kenangan yang kian dangkal dan keruh, seperti sungai itu di masa kini.
Setelah ini, akan kutinggalkan kau sendiri, Sahabat. Tapi, teruslah membaca, bukalah halaman baru…. datanglah, kembalilah sekali lagi, untuk kesekian kali, ke sungai itu. Masuklah, ikuti arusnya, telusuri hingga ke laut, di sanalah bermuara sebagian lagi kenangan tentang sungai itu, kenangan yang terlalu banyak dan terlalu luas dari yang mampu kutuliskan dalam sebuah buku. (*)
.
.
Gowa, 2009 Barru, 2012
.
Catatan:
[1] Bedak dari beras tumbuk, biasanya untuk melindungi kulit dari matahari
[2] Kuli batu
.
Penulis lahir dan tinggal di Barru, Sulawesi Selatan. Pembelajar menulis fiksi secara otodidak sejak 2009. Beberapa cerita pendeknya dipublikasikan di media massa.
.
.
Umar Bin Mansyur
Kian hari kian mantap bro..