Cerpen Faruqi Umar (Republika, 4 Maret 2012)

Kalifah Malam ilustrasi Rendra Purnama/Republika
MALAM hampir terpejam. Aku duduk di serambi masjid dengan tatapan kosong sambil mendekap lutut. Angin menyisir rambutku yang lusuh, membelai, dan menggerayangi tubuhku yang benar-benar rapuh. Perlahan kurobohkan tubuhku di lantai keramik putih, membaringkan perih yang mendera dan menyayat hati. Sementara guntur menggelegar melafalkan ayat-ayat hujan, kedap-berkeredap, lecut kilat menggaris di langit kelam. Kulempar mata jauh ke arah kanan dan kiri gang jalan yang mengarah ke masjid ini. Tak ada satu orang pun yang melintas di situ. Tiba-tiba pikiran itu datang kembali, jalan terakhir yang ingin kutempuh untuk mengakhiri semua kenyataan hidup yang begitu perih ini.
Ya, sebetulnya aku bisa menghabisi nyawaku di kolong jembatan, di pasar, di hutan, atau bahkan di tempat comberan, dengan meminum racun tikus, mengerat pembuluh di pergelangan tangan, menusuk perutku dengan obeng, atau menggorok leher dengan pisau yang karat. Tapi tidak! Aku lebih memilih tempat ini, masjid dengan ketinggian kira-kira lima meter, kurasa cukup untuk membuat sekujur tubuh remuk, isi kepala berhamburan, darah muncrat mewarnai halaman masjid, dan penderitaanku berakhir.
Gerimis menetes ragu-ragu dari langit, membentur atap masjid. Pelan kuayunkan langkah ke anak tangga yang pertama. Ya, sekaranglah waktu yang tepat, batinku.
“Hanya orang yang mengerti pahitnya hidup yang suatu saat akan paham terhadap manisnya!” Aku tersentak. Sebuah suara menghentikan langkahku di anak tangga yang kedua. Aku tidak tahu dari pintu mana kau masuk, tiba-tiba sudah berdiri di samping tangga, dengan jubah putih.
“Hidup dan mati adalah urusan Tuhan, tak ada yang bisa mengubah ketentuan itu, Fitri.” Kau meraih tanganku. Suaramu pelan menelusup ke telingaku, meresap ke dalam hati, dan membangun kembali pecahan semangat hidupku. Mungkin, jika hidupku benar-benar harus berakhir, tak banyak yang akan kuminta, selain doa ikhlasmu di atas kuburku yang malang.
Hujan menetes perlahan dan pipiku basah. Aku tertunduk dan kau menatapku lekat-lekat.
Sungguh. Aku butuh dekapanmu. Aku butuh belaianmu. Tapi, tak mungkin kau melakukannya. Kepercayaanmu terhadap dosa begitu kuat dan itulah yang tidak kutemukan pada orang lain di zaman edan ini. Kau masih menatapku lekat-lekat. Tasbih berputar di tanganmu.
Aldila Nurbarcas
SEDIHHHH !!!!
dawam
Kisah sendu yang sering terjadi dalam kehidupan kita.Tak ada yang ” baru” dari cerpen ini. Namun sebagai ” pegangan” bahwa orang harus sabar dalam menghadapi cobaab hidup, cerpen ini bisa menjadi salah satu sarana ” pencerah” .
Selamat buat penulisnya.
nadhir
sippp..ditunggu karya selanjutnya.. 🙂