“Wahyu, benarkah Tuhan Maha Pengasih?” tanyaku lirih.
“Jika tidak, mungkin kau tidak akan sempat bertanya tentang hal itu.”
“Tapi, mengapa Tuhan mengambil keluargaku?”
“Rencana-Nya terlalu rahasia untuk diketahui oleh hamba-Nya yang selalu maksiat, Fitri.”
“Bagaimana aku bisa tahu kalau Tuhan Maha Pengasih?”
“Bacalah aku, renungkanlah ayat-ayat kebesaran Tuhan. Kau akan menemukan-Nya. Jangan jauhkan Tuhan darimu dengan cara kau menjauh dari-Nya, Fitri.”
Aku tertunduk. Mulutku tersa ngilu. Perlahan air mata menggelinding di pipiku. Sementara dari celah-celah jendela masjid, seperti kudengar lirih rintihan ibu yang sekarat, lolong Sakur, adikku, yang tertimpa kayu ketika hendak menghindar dari kobaran api, serta desis ayah saat mengembuskan napas terakhir di pangkuanku. Sungguh, aku merasa terlalu sulit menerima semua kenyataan hidup ini.
Pikiranku melambung jauh pada suatu malam, malam sebelum malapetaka itu terjadi. Yah, waktu itu, pintu berderak pelan, ayah menyembul dari luar dengan tatapan berat dan gusar. Sakur masih menangis di depan ibu karena tak diberi uang untuk membeli kelereng. Sementara aku duduk di sisi kanan ibu.
“Pohon itu terlalu dekat dengan rumah kita untuk dijual.” Ayah membuka percakapan dengan suara berat.
“Sudahlah, tak jadi dijual pun tidak apa-apa. Mungkin besok atau lusa kita pasti ada rezeki untuk membeli kebutuhan dapur, tanpa harus menjual pohon itu,” sambung ibu. “Ibu khawatir, akhir-akhir ini sering bermimpi yang tidak enak,” tambah ibu dengan kerut kentara di dahi keriputnya.
Aldila Nurbarcas
SEDIHHHH !!!!
dawam
Kisah sendu yang sering terjadi dalam kehidupan kita.Tak ada yang ” baru” dari cerpen ini. Namun sebagai ” pegangan” bahwa orang harus sabar dalam menghadapi cobaab hidup, cerpen ini bisa menjadi salah satu sarana ” pencerah” .
Selamat buat penulisnya.
nadhir
sippp..ditunggu karya selanjutnya.. 🙂