“Tidak, pohon itu harus dijual. Bukankah persediaan beras sudah tinggal tiga kali tanak?” sergahku. “Menurut ibu, besok atau lusa akan ada uang jatuh dari langit, begitu?!” sambungku.
Ayah mengangkat tangannya. Bulir-bulir ototnya menegang, seperti kilat yang hendak menyambar wajahku. Tapi, ibu segera menggelengkan kepala kepada ayah. Aku selamat. Maaf, kata-kataku terdengar kasar, memang. Tapi, bukankah selain tidak pernah mengenyam pendidikan, aku memang menjalani hidup ini dengan kasar? Ya, seperti memikul batang kayu, atau membawa pecahan batu dari atas bukit setiap hari.
“Kalau tidak dengan menjual pohon itu, mustahil kita punya uang untuk kebutuhan dapur. Mau makan apa, angin? Tidak mungkin. Tuhan tidak mungkin melempar uang dari langit! Tidak, pokoknya pohon itu harus dijual,“ batinku mendesak.
Esok harinya, secara diam-diam, kuajak Arip ke rumah Matlak untuk menjual pohon jati yang umurnya kurang lebih satu setegah abad itu.
Matlak menyambut kedatangan kami dengan sumringah. Kemudian, mempersilakan kami duduk di sofa yang empuk. Ia seperti paham maksud kedatangan kami. Ia sudah lama mengincar pohon jati di sebelah rumahku, tapi ayah dan ibu enggan memberikannya.
“Berapa harga yang ingin kau pasang, Rip?” tanya Matlak sambil meraih sebatang rokok. Ia juga mempersilakan secangkir kopi dan sepiring gorengan yang terlihat masih meruapkan asap tipis.
“Kau berani berapa, Mat?” lempar Arip, tetangga sebelahku yang ahli dalam hal ini.
Matlak mengisap rokoknya. Aku melirik pada Arip, tangannya yang berotot padat itu merayap di dahinya, seakan meraih harga yang pas untuk ditawarkan. Sementara tangan yang lain mengambil gorengan.
Aldila Nurbarcas
SEDIHHHH !!!!
dawam
Kisah sendu yang sering terjadi dalam kehidupan kita.Tak ada yang ” baru” dari cerpen ini. Namun sebagai ” pegangan” bahwa orang harus sabar dalam menghadapi cobaab hidup, cerpen ini bisa menjadi salah satu sarana ” pencerah” .
Selamat buat penulisnya.
nadhir
sippp..ditunggu karya selanjutnya.. 🙂