Suaramu membuat jantungku kembali bergemuruh. Ada rasa lain yang menyelinap di dadaku. Kesedihan yang kurasa menjadi kian surut. Kulihat wajahmu bercahaya laksana lampu yang tak pernah padam berpijar dalam kegelapan batinku. Hujan mulai reda. Bendungan sungai kecil di mataku seakan enggan tumpah. Kurasakan bebunga tumbuh di hatiku. Sungguh, aku rela jika harus mati malam ini. Tapi, seperti yang kau bilang di awal bahwa mati adalah urusan Tuhan, maka biarkanlah aku mati dalam dekapanmu saja. Dan, jika memang ada banyak hikmah dalam setiap cobaan, aku berharap kaulah kafilah yang dikirim Tuhan untukku malam ini.
Mata malammu memandangiku lekat-lekat. Ayat-ayat Tuhan mengalir dari mulutmu—menyejukkan batinku yang sendu. Tasbih masih berputar di tanganmu. Ada senyum yang mengembang di bibir mawarmu. Entah mengapa, kesedihan benar-benar padam di hatiku, dan pelan lidahku tergerak mengikuti lantunan suaramu. Angin seperti enggan berembus, suara-suara kian surut. Ruangan lengang. Hanya riuh suara kita menyeru Asma Tuhan. Berulang-ulang. (*)
.
.
Yogyakarta, 9 Januari 2012
.
.
Aldila Nurbarcas
SEDIHHHH !!!!
dawam
Kisah sendu yang sering terjadi dalam kehidupan kita.Tak ada yang ” baru” dari cerpen ini. Namun sebagai ” pegangan” bahwa orang harus sabar dalam menghadapi cobaab hidup, cerpen ini bisa menjadi salah satu sarana ” pencerah” .
Selamat buat penulisnya.
nadhir
sippp..ditunggu karya selanjutnya.. 🙂