Cerpen Wendoko (Suara Merdeka, 4 Maret 2012)
Kau Belum Datang
Di kafe ada perempuan berseragam kantor, dengan senyum yang angkuh. Perempuan bermata hitam-redup, yang menatap kosong ke laptop. Perempuan dengan lipstik ungu dan terus memijit pangkal hidung. Perempuan berkacamata dan wajah lebih banyak maskara, yang berceloteh ribut. Perempuan berambut keriting—duduk dengan kaki melingkari kursi. Perempuan yang menggosok-gosokkan bibir, sewaktu menyeruput kopi.
Sesekali orang terbahak, di tengah rupa-rupa parfum atau rambut yang baru dicuci….
…. Bayangkan, perempuan yang bekerja di gedung mentereng berlantai sekian….
…. Ia mengenal seorang lelaki, eksekutif yang selalu berpakaian rapi….
Ha, ha, ha, ha.
…. Katakanlah begitu. Lelaki ini mungkin sekantor dengannya, atau lelaki dari kantor lain….
…. Atau seorang klien yang kerap menelepon.
Pokoknya begitu!
Jangan begitu. Desember banyak hari libur. Prepare pasti mulai Januari.
…. Suatu hari mereka berkencan. Katakanlah begitu. Selama dua-tiga minggu mereka keluar makan malam….
Chatting di kafe, berciuman….
Please!
Of course you can join.
…. Lalu lelaki ini tiba-tiba menunda kencan mereka. Juga pada malam yang lain, dan berjanji akan menelepon….
Ayolah!
Percaya, kalau dia sudah kasih referensi.
.
Kau belum datang.
Kafe agak penuh. Suara orang berucap di tiap sudut. Sesekali bunyi blender mendengung. Di tiap meja ada ponsel atau laptop, tapi sejak tadi tak ada yang disentuh.
Lalu ada suara yang mendayu lembut. Lalu piano dan beat gitar yang putus-putus. Saksofon mengapung….
…. Jika sudah begitu, aku sarankan kau tak perlu mengontak lelaki ini. Jika ia menghubungimu, itu artinya hubungan kalian bisa lebih panjang….
Tapi jika tidak, atau ia pura-pura tak ingat, lebih baik kau lupakan hubungan itu….
Mungkin 28 ribu. Ya, 28 ribu!
Ya! Ya, meski kalian sudah tidur bersama sekali pun.
Dia di Australia, kan?
…. Atau, pernah dengar tentang lelaki atau perempuan yang tiba-tiba menemukan pasangan yang cocok….
Katakanlah begitu. Satu setengah bulan mereka berkencan….
!#$%^&*()_+\?
…. Lalu mereka mulai merasa hubungan itu tak bisa berlanjut. Mereka tinggal bilang: kita masih bisa berteman baik….
Ha, ha, ha.
Kenapa, Bung?
…. Of course. Setelah itu mereka masih pergi ke pelbagai tempat, berciuman….
.
Kau belum datang.
Di depanku secangkir hazelnut latte. Campuran espresso, sirup hazelnut, dan steamed milk. Tapi ada sensasi unik yang lama tertinggal di mulut, setelah aku menyesap kopi itu. Agak asam, atau pahit—tapi tidak pahit. Seperti mint, tapi bukan mint. Inikah rasa hazelnut, atau karena aku meminta extra shots of espresso? Kopi yang cocok, kukira, untuk menemani sambil merokok.
Tiba-tiba aku ingin merokok.
…. Memang begitu kalau kau tinggal di kota besar, dengan lalu-lintas menumpuk saban hari dan sekian pekerjaan yang mengantre….
Sebuah hubungan singkat, katakanlah begitu, memang tak perlu diingat. Juga perselingkuhan yang kaulakukan semalam….
Sorry. Perselingkuhan semalam itu, waktu pagi sudah harus dilupakan. Waktu sarapan kau mesti memikirkan rencana baru, atau hubungan baru….
Itu ada meja kosong. Tarik saja kemari!
!#$%^&*()_+\?
…. Apa boleh buat. Kita adalah produk dari kapitalisme yang tak punya hati nurani. Kita sudah terperangkap banyak hal: status sosial, pekerjaan, rumah atau apartemen….
Jadi tak perlu lagi terperangkap yang namanya cinta. Melindungi diri dan menjalin kesepakatan, itu yang terpenting.
Lho, di mana kamu taruh?
Tadi ada di sini!
.
Kau belum datang.
Ada suara gitar. Jempol pada senar bas, dan jari-jari memetik serentak. Ada vokal nasal, yang seolah berbisik dari dekat. Irama yang bergoyang. Lalu piano, dan di tengah-tengah saksofon melantun. Ada drum yang santun. Gitar, piano dan saksofon lalu saling menyahut.
…. Ah, kapan terakhir kau mendengar seseorang berteriak: aku cinta padamu….
Di pusat perbelanjaan, di stasiun….
Justru tidak boleh begitu.
Sudah, biarkan dulu!
….Kapan terakhir kau melihat lelaki berlutut di lantai restoran, dan berkata: aku mencintaimu, maukah kau menikahiku….
Mungkin hanya dalam film atau iklan televisi. Sekarang kau tak akan melihat dua orang menatap penuh arti, kalau bukan hasrat menguasai….
Ya, ya.
Ikuti saja apa maunya!
…. Jadi jalani saja hidupmu, dari satu hubungan ke hubungan lain. Begitu saja.
Di jantung kapitalisme ini, apa pun keinginanmu bisa kaucari….
Kita mungkin punya banyak relasi atau rekan bisnis. Tapi percayalah, tak ada yang benar-benar memiliki teman atau kekasih.
.
Kau belum datang.
Perempuan muda itu mencoret-coret di sampul belakang buku. Ia menggigiti pulpen di sudut mulut. Rambutnya dicat ke warna jahe yang kotor. Ia terlalu pucat dengan pipi cekung hampir terlihat seperti kurang tidur.
Di sampingku, terpisah dua meja, ada lelaki berambut kelabu. Ia memakai kemeja dan dasi biru-pekat, tapi ada noda di saku baju. Di depannya anak tanggung berambut berantakan, dengan muka bercak-bercak kemerahan….
….Aku tak percaya hubungan yang intens. Jika kau percaya, maka kau sedang bersiap-siap untuk kecewa….
Pada akhirnya kau akan tahu, kau tak mendapatkan apa-apa….
Kita hidup di zaman yang kacau sekarang. Kebanyakan orang tak pernah yakin pada status sosial, pekerjaan, rumah….
!#$%^&*()_+\?
…. Dan ketika kau khawatir pada masa depan finansialmu, kau makin tak ingin berkomitmen….
Yummie!
But I do not understand!
.
Kau belum datang.
Di lemari dekor, tumbler dan coffee press seperti dijejer tak teratur. Di samping lemari dekor, sebuah keranjang berisi boneka gajah, beruang, atau kangguru. Lalu ada banner di depan konter, berisi tambahan menu: caramel mocha dan caramel coffee jelly, dengan tulisan MAKE YOU A NEW DRINK, ON US.
…. Tapi aku tak mau hubungan yang dangkal. Siapa yang butuh semua potensi masalah, seperti hamil atau penyakit….
Jadi kenapa tak kaujalani waktu dengan relasi-relasimu, sekadar bersenang-senang?
Saya kira begitu. Kompensasinya tidak kira-kira.
Bingung juga. Aku sudah beli tiket.
Tapi aku percaya hubungan yang intens. Kau tinggal memberinya kesempatan….
Ha,ha,ha,ha.
…. Eh, bukankah April dan Leon akan menikah? Lalu Cecil dan Joseph akan bercerai?
.
Kau belum datang.
Di teras kafe ada cahaya menggelayut, dan sebuah lanskap yang kuyu. Ada meja-bangku kosong, lampu-lampu kuning, lantai lempeng batu, dan rumput plastik dalam pot kayu. Kanopi cokelat-karamel itu masih menitikkan air—di muka pembatas kaca yang bening. Masih ada sisa gerimis, yang seolah jarum-jarum tipis.
Lalu, suara-suara yang nyaris datar. Piano yang lirih, lalu terompet bermain-main pada latar. Ada ketukan drum. Saksofon melantur, pada bar yang sama. Masih ada drum. Kembali ke terompet, dan saksofon mendedahkan ritme di awal. Terompet lalu berimprovisasi pada melodi, sementara piano bergerak pada not yang kadang tak sebaris. Suara-suara yang terkurung. Tak berkutat dari not ke not.
Di luar gelap memekat. Lampu-lampu mengedip—menenggelamkan pelataran dalam beberapa detik.
.
Kau tak juga datang.
Kafe hampir tutup. Barista sedang mengangkat cangkir terakhir di meja dekat konter. Pukul 21.36.
Jadi kau tak datang, malam ini.(*)
.
.
Wendoko menulis puisi dan cerita. Dua buku puisinya masuk dalam daftar pendek Khatulistiwa Literary Award 2008 dan 2009, yaitu Sajak-sajak Menjelang Tidur (2008) dan Partitur, Sketsa, Potret, dan Prosa (2009). Ia tengah menyiapkan buku puisi terbarunya, Jazz!
.
.
Leave a Reply