Ricardo Marbun

Pendar Cahaya Senja

4
(1)

Cerpen Ricardo Marbun (Republika, 18 Maret 2012)

“SAUDARA, Jamal Baharudin!” Suara orang itu sangat ketus. Orang-orang yang menunggu di ruangan sempit itu mungkin tak penting untuknya. Bisa jadi malah menyusahkan. Setidaknya, hingga siang begini wanita itu belum juga makan siang lantaran banyaknya orang yang antre. Kulit wajahnya yang hitam ditambah sikap ketusnya membuatnya tak menarik sama sekali. Matanya sama ketusnya dengan nada suaranya sewaktu mencari nama-nama yang akan ia panggil.
Jamal seketika bangkit begitu sadar namanya dipanggil. Jamal pun segera mencuri waktu untuk merapikan diri seadanya tanpa berani beradu pandang dengan wanita itu. Untuknya, saat ini adalah bagaimana bisa diterima bekerja.
Seperti kerbau, Jamal mengikuti ayunan megol wanita itu menuju ruangan dalam.
“Cuma SMU?” ucap wanita itu, sinis. Matanya sangat tak bersahabat, seakan manusia yang berdiri di depannya hanya seonggok bangkai. Dagu orang ini diangkat sangat tinggi, garis bibirnya hanya berupa seringai. Mendengar pertanyaan itu, Jamal hanya menganggukkan kepala pelan. Suaranya tak keluar.
Melihat tak bersahabatnya orang ini membuat Jamal seperti bekicot disiram garam, mengkerut dalam cangkangnya.
“Kamu tahu, lowongan untuk lulusan SMU hanya untuk cleaning service, itu pun sudah sangat penuh, sepertinya kamu harus menunggu kesempatan lain.” Orang itu menjatuhkan map lamaran Jamal seenaknya di atas meja. Setelah itu bibirnya terkunci rapat.
Jamal masih menunggu beberapa detik, berharap orang itu memberi kata-kata lain. Tapi, setelah yakin yang diharapkannya hanya sia-sia, Jamal mengarahkan langkahnya ke pintu keluar.
“Kamu sudah tahu kan, nanti kalau diterima sebagai cleaning service, gajimu akan dipotong 30 persen selama masa kontrak dan itu berlaku seterusnya!” Orang itu merasa ini hal yang perlu disampaikan agar karyawan yang telah direkrut mengetahui kewajiban mereka.
Jamal sudah tak berselera. Jika pun besok ada panggilan untuk diterima sebagai cleaning service melalui outsourcing, ia akan berpikir ulang.
Jamal menyerahkan kartu tanda berkunjung di pos satpam dan sebagai gantinya satpam itu mengembalikan KTP-nya. Dengan lesu, Jamal melangkahkan kakinya. Ini adalah tempat kelima yang ia datangi dan di tangannya masih tersisa satu surat lamaran lengkap.
Jamal berdiri di pinggir jalan raya, hatinya agak ragu untuk mendatangi lowongan pekerjaan yang dibacanya Sabtu kemarin. Kakinya mulai terasa pegal. Sejak jam setengah sembilan pagi tadi, Jamal telah berjalan berkeliling mengitari area pabrik dan perkantoran daerah ini. Rasa letih yang menghinggapi badannya tak dihiraukan sama sekali, apalagi telapak kakinya terasa mulai perih karena terlalu lama bersalaman dengan panasnya aspal yang hanya dibatasi oleh telapak sepatunya yang telah usang.
Empat bulan setelah keluar dari sekolah menengah umum, Jamal belum juga berhasil menemukan satu pekerjaan pun. Padahal, begitu besar kemauan Jamal untuk memperoleh pekerjaan, mengingat susahnya kondisi ekonomi keluarganya. Ayahnya telah menikah lagi, sedangkan ibu telah dua tahun meninggalkan mereka karena penyakit paru-paru basah, penyakit khas orang miskin. Sejak menikah lagi dan tinggal di rumah ibu baru mereka, ayah jadi jarang pulang. Pulang bisa dihitung jari dalam sebulan. Dan, setiap kali pulang, selalu saja ayah menanyakan apakah dirinya telah memperoleh pekerjaan. Ayah selalu ngedumel setiap kali tahu Jamal belum bekerja. “Badanmu sebesar ini kok belum mampu memperoleh sesuap nasi. Mau bagaimana kelanjutan hidup adik-adikmu kalau seterusnya kau tidak bekerja.” Jamal hanya bisa mengatupkan mulut mendengar omelan ayahnya. Hanya dia yang tahu bagaimana usahanya mencari pekerjaan.
Jamal terus berjalan dan sampailah ia di perempatan. Di situ, rasanya dia sudah tak mampu lagi untuk meneruskan langkah. Betis dan pahanya terasa sangat pegal. Belum lagi perutnya mulai terasa perih lantaran sampai hampir sore dia belum makan sama sekali. Tadi di rumah, ia hanya makan nasi sisa kemarin.
Sementara, di dalam tas kecilnya hanya ada botol air mineral kecil yang diisi air di rumah tadi. Ingin rasanya dia membeli satu atau dua potong gorengan, tapi uangnya hanya cukup untuk naik angkutan pulang.
Tak jauh dari tempatnya berdiri, Jamal melihat sebuah taman yang sangat teduh. Ada beberapa orang duduk di sana, juga beberapa penjual keliling berehat di sana. Jamal memutuskan untuk istirahat sebentar di sana. Ia membuka tas hitam kecilnya, lalu diteguknya sisa air dalam botol air mineral. Lumayan, sangat membantu menghilangkan rasa dahaga yang mendera. Jamal duduk bersenderkan pohon asam yang besar dan rindang. Angin semilir menjelang tengah hari menyejukkan badannya yang terasa pegal. Rasa lelah itu membuat mata Jamal begitu berat. Ditambah angin sepoi-sepoi membuatnya serasa berada di kasur yang begitu empuk dan melenakan.
“Jamal, anak Ibu,” ucap ibu penuh kasih sembari membelai kepalanya.
“Ibu, selama ini ibu ke mana saja? Jamal rindu sekali sama ibu.” Bahagianya Jamal bertemu lagi dengan ibunda tercinta. Dalam pandangannya, ibu tampak sangat berbeda dari biasanya. Ibu sama sekali tidak terlihat kurus seperti selama ini. Dada Ibu sama sekali tidak terlihat kerangkanya. Ibu terlihat cantik dan bersinar.
Ibu tersenyum lembut sekali. “Kau kelihatan sedikit kurus, Jamal?”
“Ibu juga. Ibu terlihat lebih gemuk dan terlihat beda sekali seperti biasanya.” Ahh… kerinduan Jamal pada sang ibu terobati rasanya.
“Kau sekarang kelihatan lebih dewasa, Jamal. Shalatmu masih rajin kan, Jamal? Ngaji?” kata ibu memandang putra sulungnya.
Jamal menundukkan kepala dalam sekali. Kata-kata ibu seperti menampar kedua pipinya, karena apa yang ditanyakan ibu belum dijalankannya dengan setia.
Ibu mengelus bahu anaknya penuh kasih, “Jamal, betapa pun berat hidup yang kita jalani, apabila kita tidak kembali kepada-Nya, semuanya akan sia-sia. Kita ini hidup karena diembuskan napas oleh-Nya, anakku.”
Jamal tak mampu memandang ibunya. Apa yang dikatakan ibunya adalah benar adanya. Jamal bisa melihat itu dalam diri ibunya selama ini. Ibu yang menderita penyakit paru-paru basah tak pernah lupa untuk menjalankan ibadah dan menyerahkan seluruh hidupnya kepada Allah. Kesulitan hidup dihadapi dan diterima ibu dengan tabah dan tawakal. Walau harus bekerja menerima cucian dan setrikaan, ibu tidak pernah mengeluh. Ibu selalu bersyukur dan berserah.
“Beduk Zhuhur sudah berlalu dan Ashar juga sudah berjalan, Jamal. Pergilah shalat sebelum Ashar ini juga habis waktunya, serahkan segala persoalan dan berat hatimu kepada-Nya. Ibu percaya segala sesuatu pasti ada jalan keluarnya.” Suara lembut ibu begitu meneduhkan hati Jamal.
Jamal mengangkat wajahnya ingin melihat wajah cerah ibu, tapi ibu tidak ada lagi. Jamal menoleh ke belakang, di sana dia melihat sosok seseorang berjalan membelakanginya. Jamal yakin kalau itu Ibu. Dipanggilnya agak keras, tapi sosok itu sama sekali tidak menoleh kepadanya. Jamal ingin sekali berlari menghampiri sosok itu, tapi kedua kakinya begitu berat untuk diajak berlari. Jamal ingin berteriak lebih keras lagi, tapi suaranya seperti hilang di udara. Jamal merasa putus asa karena ketidakberdayaannya.
“Ibu…!” Jamal terbangun dari tidur lelahnya.
Jamal menebah dadanya. Rasa lelah membuatnya sempat tertidur sejenak dan dia bermimpi bertemu ibu. Jamal mengusap wajahnya dan melihat sekeliling. Setelah itu, dia berdiri untuk melanjutkan tujuannya. Di ujung sebuah belokan, Jamal melihat sebuah rambu lalu lintas bergambar masjid. Tiba-tiba, ia teringat kata-kata ibu dalam mimpinya tadi. Langkah kakinya terayun ke sana.
Jamal melepas kedua sepatunya beserta kaus kaki dan didorongnya ke dalam sepatu. Ujung celana digulung hampir mendekati lututnya, demikian juga kemeja lengan panjangnya dilipat ke arah siku. Jamal meletakkan kedua sepatunya ke tempat yang telah disediakan. Jamal lalu berjalan menuju tempat pembersihan diri sebelum bertemu dengan Sang Mahapencipta.
Jamal memilih keran air paling ujung. Perlahan diputarnya keran air dan air jernih pun mengalir deras. Jamal mencuci kedua tanganya secara perlahan, dilakukannya berulang beberapa kali, setelah itu kedua telapak tangannya menampung air jernih sebening embun pagi. Tampungan air di kedua telapak tangannya dipergunakan untuk membersihkan mulut. Jamal berulang kali memuntahkan air kumuran dalam mulutnya. Tampungan air tadi dipergunakan juga untuk meraup wajahnya, Jamal dapat merasakan raupan air mampu melepaskan kelelahan yang dialaminya tadi. Selanjutnya, Jamal membersihkan cuping hidungnya dengan hikmat. Jamal membasahi ujung kepalanya beberapa kali dengan harapan pikirannya dapat merasakan jernihnya air bening dan sejuk itu. Selanjutnya, ia membasuh kedua kuping secara berulang. Kedua siku dan telapak kaki tak lupa dibersihkannya. Jamal mengucapkan beberapa ayat sebelum meninggalkan tempat wudhu dan menuju ke dalam Rumah Allah.
Sembari berjalan menuju pintu masuk masjid, Jamal menurunkan lengan bajunya serta ujung celananya. Sejenak, Jamal berhenti di pinggir pintu masuk, hatinya ciut untuk masuk. Jamal merasa telah begitu lama melupakan tempat terindah ini. Sekuat tenaga Jamal menahan agar air matanya tak tumpah.
“Ya Allah, ampunilah hamba-Mu ini, layakkanlah hamba untuk kembali ke dalam rumah-Mu yang Mahasuci ini,” Jamal menguatkan hatinya dan seperti ada dorongan lembut yang membawa langkahnya memasuki Rumah Suci itu.
Jamal merasa malu dengan kealpaannya selama ini. Ketika langkahnya perlahan menginjak karpet berwarna terang itu, Jamal baru sadar betapa dia sangat kecil di hadapan rumah Mahasuci ini. Betapa dia bukan apa-apa. Jamal sekuat tenaga menenteramkan hatinya. Jamal berdiri tidak terlalu jauh dari pilar pintu utama, saat itu jamaah tidak terlalu ramai.
Allahu Akbar,” Jamal menengadah dan menyerukan Allah Mahabesar.
Jamal seperti teringat kembali pada masa kanak-kanaknya. Setiap sore, Jamal berangkat dengan baju koko dan celana panjang serta tak lupa kopiah hitam, lalu berlari bersama teman-teman sebayanya untuk belajar mengaji di masjid dekat rumahnya. Ibu begitu telaten mengingatkan Jamal untuk berangkat mengaji walau pada saat itu Jamal sedang giat membantu ayah untuk menambal ban di bengkel sepeda mereka. Ibu menjadi lentera dalam setiap langkah anak-anaknya.
Jamal duduk dengan posisi kedua kaki dilipat bersamaan pada satu arah dan ujung jempol salah satu kakinya sedikit ditekuk ke arah dalam. Posisi yang benar-benar khusyuk. Kata-kata ibu seperti berputar-putar mengikuti setiap penyerahan Jamal kepada Allah. Jamal pun seperti mendapat embusan kesejukan. Ia merasa tenang dan damai. Semangatnya terasa baru dan berbeda.
Belum jauh Jamal berjalan di pinggir trotoar dari masjid tempatnya shalat tadi, ada suara bel klakson mobil di belakangnya. Jamal berusaha memperbaiki jalannya, meski sebetulnya dia sudah berada di atas jalan khusus untuk pejalan kaki. Tapi, mengapa mobil itu tetap membunyikan klakson, apa dia melakukan satu kesalahan?
“Hei… kau Jamal kan?” Seorang pria separuh baya tiba-tiba menyapa dirinya yang terpaksa berhenti karena suara klakson tadi.
Jamal masih termangu karena belum begitu jelas siapa yang menyapa dirinya, sampai orang itu keluar dari mobilnya dan menghampiri Jamal.
Hah… benar kau Jamal kan?” Suara orang itu begitu bahagia sewaktu sudah berhadapan dengan Jamal.
“Ya Allah, assalamualaikum Pak Haji Agus, apa kabar?” Jamal seketika meraih tangan laki-laki yang berdiri di hadapannya.
Waalaikumussalam, Jamal. Kabar Bapak baik!” Haji Agus menjawab sapaan Jamal.
Jamal tidak menyangka akan bertemu lagi dengan Haji Agus, tetangganya dulu. Sudah cukup lama mereka tidak bertemu sejak keluarga Haji Agus pindah dari situ. Haji Agus juga tidak dapat menahan rasa bahagianya bisa bertemu Jamal yang sebaya dengan anaknya.
“Apa yang kau bawa itu, Jamal?” tanya Haji Agus sewaktu melihat sebuah map yang digenggam Jamal.
Jamal sedikit salah tingkah dan rikuh. “Kau sedang mencari pekerjaan, Jamal?” sambung Haji Agus lagi.
Jamal hanya bisa mengangguk lemah. Haji Agus melihat wajah pucat Jamal. Kasihan anak muda ini, pikirnya.
“Boleh saya lihat surat lamaranmu, Jamal?” Jamal menyerahkan map kertas warna kuning itu. Haji Agus menerima dan membukanya. Sejenak wajahnya memperhatikan isi surat lamaran itu dengan serius.
“Kau SMU jurusan IPA ya, nilai­-nilaimu sangat bagus dan matematikamu sembilan, bagus sekali, Jamal.” Haji Agus menutup map itu dan pandangannya menatap Jamal sumringah.
“Pabrik Bapak sedang mencari staf gudang dan untuk menjadi staf gudang selain pintar berhitung, tak kalah pentingnya adalah calon karyawan itu harus dikenal. Karena, gudang sangat riskan sekali. Bapak masih belum menerima calon lain karena belum mengenal mereka. Sekarang Bapak lega Jamal, untuk lowongan staf gudang itu sepertinya cocok untuk kamu. Apa kau mau, Jamal?” tanya Haji Agus.
“Saya mau Pak Haji, saya mau,” jawab Jamal terbata-bata saking senangnya.
“Kalau begitu, surat lamaran ini saya bawa, besok pagi jam delapan kamu temui saya di pabrik, ya!” Pak Haji menyebutkan alamat pabriknya kepada Jamal. Tak lupa Jamal mencatatnya dengan benar.
“Kalau begitu sampai ketemu besok di pabrik, ya, Jamal!”
“Baik Pak Haji, besok saya akan datang menemui Pak Haji,” Jamal menjawab penuh rasa haru.
“Kalau begitu saya tinggal dulu ya. Jangan kau tolak ya, Jamal, saya berikan ini karena kamu sudah seperti anak saya sendiri.” Haji Agus mengambil dua lembar lima puluh ribuan dari saku kemejanya dan memberikannya kepada Jamal.
“Pak Haji, ini…?”
Hush… sudah terimalah buat ongkos pulang ya.” Haji Agus menyakinkan Jamal akan niatnya.
Setelah mengucapkan salam, Jamal mengikuti kepergian Haji Agus bersama mobil sedannya hingga hilang di ujung jalan keluar masjid. Jamal masih terpaku beberapa saat di tempatnya.
Spontan Jamal mengarahkan pandangannya ke arah masjid. Pendar cahaya senja hari ini begitu indah bersinar di punggung masjid. “Allahu Akbar,” seru Jamal dalam hati. Di tengah pilar masjid di atas karpet cerah tadi, Jamal melihat sosok ibu berdiri tersenyum kepadanya. Ibu cantik sekali bermukena putih bersih dan di tangan ibu menjuntai sebuah tasbih yang sama putihnya dengan mukena Ibu.
Air mata Jamal tak terbendung lagi. Jamal berlari berusaha mendapati ibunya. Begitu besar keinginannya untuk mencium kaki ibunya. Jamal tahu betul betapa ibu begitu mencintainya dan adik-adiknya. Sembari berlari, Jamal menyeka bulir-bulir bening di pipinya. Tetapi, setelah itu sosok ibu tak ada lagi di sana. Yang ada hanya cahaya senja yang berpendar di punggung masjid, indah sekali.
Separuh dari pemberian Haji Agus tadi ia masukkan ke dalam kotak amal yang berada di pojok pintu masuk masjid. Tak lama, Jamal kemudian bergegas pulang untuk bertemu adik-adiknya yang mungkin belum makan hingga hampir menjelang malam hari. (*)
 .
.

Baca juga  Rindu di Tangkai Senja

Penulis kelahiran Jakarta, 27 November 1975, ini aktif menulis sejak April 2010. Beberapa cerpennya telah dimuat di sejumlah majalah. Saat ini tinggal di Surabaya.

.
.

Loading

Average rating 4 / 5. Vote count: 1

No votes so far! Be the first to rate this post.

5 Comments

  1. Ada KEKELIRUAN SANGAT FATAL dalam cerpen ini. Yaitu pada saat penulis memaparkan secara detail praktek berwudlu. Sebagaimana kita (orang Islam) ketahui bahwa salah satu fardlu wudlu adalah harus TARTIB (definisi TARTIB: mendahulukan anggota yang harus didahulukan, dan mengakhirkan anggota yang harus diakhirkan). Sayangnya, penulis cerpen ini (dan juga redakturnya) kurang teliti, karena pada saat tokoh utama (Jamal) selesai membasuh wajah dan membersihkan hidung, urutannya langsung membasuh kepala, lalu kuping, lalu kedua siku, lalu telapak kaki.
    Padahal, urutan yang betul adalah; membasuh kedua tangan dulu baru membasuh kepala, lalu kedua telinga dan kedua kaki.
    Kekeliruan kian bertambah PARAH saat penulis meramu kalimat: “kedua siku dan telapak kaki tak lupa dibersihkannya.” (mungkin biar terkesan simpel, tapi ternyata malah salah kaprah).
    Seharusnya; yang dibersihkan (dibasuh) adalah kedua tangan sampai kedua siku. Lalu, kata-kata “telapak kaki” juga SANGAT keliru. Mestinya membasuh kedua kaki sampai kedua mata kaki.
    Mohon maaf jika cara mengkritik saya terlalu pedas…

  2. moh.romadlon

    saya hanya heran, kesalahan yang mencolok seperti itu kok yang dari perhatian penulis dan redaktur. maaf, soal wudlu harusnya sudah purna bagi penulis yang berani mengangkat tema keislaman, apalagi Republika. Ini ada apa,,,,

  3. Riki Eka putra

    Tolong tulisan yang merusak seperti ini jangan dimuatlah….

  4. Saya seorang muslim, namun yang saya salutkan Bapak Ricardo Marbun berani menulis cerita ini, sepertinya beliau berusaha memahami dalam pensucian orang yang beragama muslim. Tapi urutan wudu yang salah takutnya juga menimbulkan budaya yang salah, apalagi sudah berbicara “syariah”
    Terlepas dari itu, saya ucapkan selamat Bapak Ricardo Marbun

  5. Aku

    *Cerita ini menurut saya sangat bagus. sebuah cerita kehidupan yang sangat menginspirasi.. mengingatkan kita sebagai pembaca untuk selalu mengingat Allah disaat senang maupun susah.. dan cerita ini tergambar secara real.
    *Untuk Kekeliruan yang terdapat pada cerita tersebut, khususnya yg berkaitan dengan wudhu .. alangkah baiknya apabila direvisi dan dimuat kembali.. jikalau ada kekeliruan tolong diperbaiki dan tolong jangan dizolimi ..karena kita hanyalah manusia biasa yg tidak luput dri kata slah.. Mari saling mengingatkan demi tercapainya sebuah kebaikan bersama.
    😊🙏

Leave a Reply

error: Content is protected !!