Cerpen Muhammad Azka Fahriza (Jawa Pos, 18 Maret 2012)
DI suatu pagi pada hari, bulan, dan tahun yang tak perlu kusebutkan. Ketika pagi masih perawan dan mentari belum kelihatan sekalipun langit tiada berawan. Aku bertemu dengannya di sebuah perempatan jalan yang salah satu ujungnya mengarah ke salah satu universitas terbesar di kota ini—tak sampai satu kilometer. Pertemuan yang mengejutkan sekaligus menarik perhatianku. Karena, aku melihatnya dalam gerak-gerik dan dandanan yang begitu ganjil; serupa martir anak-anak dalam perang-perang kemerdekaan.
Pagi itu ia berbusana sehari-hari: celana pendek dan kaos dalam kumal, dan bertelanjang kaki, dengan selempang rafia yang menggantung senapan laras panjang kayu di pinggang kiri belakang, dengan benda serupa pisau komando yang hanya terlihat pegangan kayunya, juga halsduk merah-putih yang terikat kuat di kepalanya. Memang, siapa pun yang mengenalnya dengan baik pasti akan menebak jua, bahwa yang dilakukannya hanyalah main-main belaka. Dan seandainya pun aku melihatnya dalam pakaian seperti itu di sore hari, kiranya segalanya akan berbeda adanya. Tetapi aku melihatnya pada pagi yang begitu dini!
Aku baru saja pulang dari warnet tempatku bekerja ketika itu. Sesungguhnya, dalam situasi normal, tak mungkin aku tertarik dengan perkara remeh-temeh seperti itu, apalagi dengan lelucon-leluconnya yang bahkan tiap hari begitu kuakrabi. Tapi entahlah, tanpa tahu terkena bisikan setan dari mana, segalanya mengalir, begitu saja, kemudian aku menjadi begitu tertarik dengannya, terseret dalam kelindan cerita yang seharusnya tak perlu. Ah, mudahnya, anggap saja semua itu tersebab perkara yang begitu sering jadi kambing hitam agamawan; takdir, semata. Bukankah akan sulit dipercaya apabila kukatakan bahwa aku hanya terseret oleh gerak-gerik dan raut mukanya yang menampakkan keseriusan yang begitu purba?
Aku masih ingat betul bahwa kemudian aku terlibat percakapan dengannya secara serius, lebih tepatnya, aku harus memosisikan diriku dalam situasi yang serius.
“Heii…. Kau mau kemana?” kataku setengah berbisik kepadanya, menyesuaikan raut mukanya.
“Kau mau ikut?”
“Sekiranya menarik, tentu saja. Tapi ke mana?”
“Membunuh presiden kita! Hari ini sialan itu akan lewat depan kampus. Kau tak dengar berita?”
Kampus yang ia maksud adalah kampus dekat tempat pertemuan kami. Begitulah, kemudian aku makin serius menanggapinya bicara. Hingga kemudian, tak ada pilihan lain, aku harus mengikutinya. Tak ada sebab lain memang, kecuali karena aku memang begitu tertarik oleh rencananya. Barangkali ini akan jadi kekonyolan baru yang mungkin bisa kujadikan satire baru dengan kawan-kawan di jejaring sosial; Twitter, Facebook, atau Kaskus nanti, pikirku waktu itu. Karena aku tahu bahwa ia memang tiada main-main, maksudku bahwa Bapak Presiden, menurut media online, sungguh akan berkunjung ke kota kami untuk memberikan kuliah umum di universitas dekat tempatku bertemu dengan kawanku tadi!
Dulu, ia memang kerap bercerita kepadaku bahwa suatu saat nanti ia ingin menjadi superhero. Mungkin terdengar ganjil di telinga kebanyakan orang cita-cita semacam itu, meskipun sesungguhnya, tiada yang lebih ganjil di antara semua cita-cita yang memenuhi manusia; semuanya sama saja! Entah itu superhero, presiden, koruptor, bahkan Hitler sekalipun! Cita-cita hanyalah tipuan yang berguna untuk melupakan kekonyolan hidup yang tak menentu.
Sekali waktu kami terlibat perbincangan perihal cita-citanya tersebut:
“Kenapa kau ingin menjadi Superhero!”
“Aku ingin menghukum orang-orang jahat!”
“Mereka yang mengganggumu, menertawakanmu?”
“Semuanya. Siapa pun….”
Menjadi dirinya memanglah sebuah ironi. Sudah sengsara, idiot pula, kata orang-orang yang mengenalnya mengenai kondisinya. Oh, tidak! Berapa kali pun aku akan menolak kata-kata itu dilekatkan padanya. Sebutan idiot terlalu kasar untuknya, bahkan mungkin tak pantas! Sampai kapan pun aku akan membenci kenyataan itu; bahwa mereka yang terlemahkan akan selalu jadi bahan tertawaan. Tidakkah kau kira pemimpin yang gemar melarung duka pada massa lebih pantas untuk itu semua?
Mungkin, di kota ini, bahkan di dunia ini, kecuali Tuhan—jika entitas itu memang ada—akulah yang paling mengenal dirinya dibandingkan siapa pun. Dunia yang munafik membuatku melihatnya sebagai sumur tanpa dasar yang mampu menampung segala kesesakan. Aku sering menyebutnya sebagai makhluk beruntung karena kekurangcakapannya dalam memandang hidup. Sementara orang-orang menyebutnya idiot, dungu, imbisil, aku selalu mengatakan padanya bahwa ialah manusia paling ideal bagi kehidupan saat ini; mampu tertawa melepas kepedihannya sendiri, dalam kesadarannya sendiri. Tentu aku tak mengatakan secara langsung kepadanya dengan bahasa serumit itu.
Kami tumbuh bersama jauh sebelum aku mengenalnya sebagai pewaris sah kepedihan. Sebelum aku mengenalnya sebagai seorang bocah yang sesungguhnya tak hidup sebatang kara, namun seperti sebatang kara terlunta-lunta—ia hidup bersama bapaknya, seorang pemulung, yang tak pernah (mungkin tak sempat) mengurusinya kecuali makan sekadarnya. Apalah yang mampu dipikirkan seorang bocah pada umumnya?
Keceriannyalah, keceriaan yang menurutku begitu tulus dan murni itulah, yang membuat aku—pada awalnya—dekat, kemudian menjadi akrab dengannya. Setiap selesai sekolah aku akan selalu menemui dirinya yang kesepian di salah satu titik di bantaran sungai yang penuh sampah di belakang pemukiman kumuh, tempat di mana ia tinggal. Sesudahnya, kami akan bermain apa pun, lebih sering perang-perangan dengan aku yang menjadi penjahatnya. Ia memang begitu terobsesi dengan pahlawan perang. Baginya superhero bukanlah Son Goku, Ultraman, atau Superman, atau tokoh apa pun dalam dunia tak nyata. Mengapa? “Aku ingin membunuh para penjahat dengan tanganku sendiri,” katanya suatu kali ketika kutanyakan kepadanya.
Aku selalu terkesima dengan emosinya yang meledak-ledak ketika memerankan tokoh superhero idamannya itu, juga dengan keceriaannya yang seolah selalu sama, dari waktu ke waktu. Meskipun, pada akhirnya, keceriaan yang juga turut kurasakan itu, menjadi sesuatu yang amat kusesali, lantaran telah membuatku abai dan lupa, bahkan hingga aku menginjak bangku universitas, meski aku masih tetap setia bermain dengan pencabar resahku itu bahwa selama ini ada luka dan dukanya yang tersimpan rapi dalam rumah semi permanen bapaknya.
Andai tak ada peristiwa penggusuran petak kardusnya beberapa minggu yang lalu, mungkin aku takkan pernah melihat bara dalam tatapan matanya untuk pertama kalinya.
Kami berjalan menyisiri gang yang mengarah ke sebuah titik yang menurutnya berada pada jarak tembak. Di balik sebuah pagar tembok salah satu warga. Sesungguhnya tempat yang ia maksud tersebut begitu jauh dari jarak yang tepat seandainya pun kami berniat benar-benar membunuh presiden, meski dari jarak tersebut kami akan luput dari pandangan Paspamres. Tapi untuk apa? Namun ia bersikeras bahwa senapannya adalah senapan sungguhan yang mampu melantakkan apa pun.
“Untuk apa kau ingin membunuh presiden?” Sempat aku bertanya di sela-sela penantian itu.
“Karena ia pemimpin orang-orang jahat.”
“Kata siapa?”
“Katamu bukan? Tempo hari.”
Seolah ada angin kencang yang menerpa wajahku, aku terhenyak. Kiranya dari sinilah awal mula keganjilannya pagi ini. Kemudian aku teringat perbincangan kami beberapa minggu yang lalu, pada sore hari di tempat biasanya kami bertemu; pada bantaran sungai yang sama, hanya saja pemukiman kumuhnya waktu itu telah tak bersisa, rata dengan tanah.
Waktu itu memang tepat sehari setelah peristiwa penggusuran paksa tempat tinggalnya. Kami sama terduduk dalam keheningan (mungkin kepedihan tepatnya) yang begitu dalam, begitu lama. Sama sekali tak ada maksud bagiku untuk berkata-kata kali itu, aku tak ingin mengotori ketakberdayaanku oleh gincu kata-kata. Hingga kemudian ia berkata padaku dengan nada yang terdengar olehku seperti pisau yang menyayat-nyayat.
“Kenapa seorang manusia bisa begitu jahat?”
“Entahlah….”
“Siapakah, apakah yang menjadi penyebab semuanya.”
“Bapak Presiden….”
Aku tak menyangka, bahwa kalimat yang kuucapkan sekenanya itu begitu lekat dalam ingatannya yang tak seberapa. Aku bisa melihat semuanya dari raut mukanya, dari tatapan matanya, juga dandanan dan gerak geriknya.
Ada keharuan yang meruyak kemudian ketika aku menyadari, bahwa sesungguhnya apa yang ia lakukan hanyalah perlawanan sia-sia. Oh, apakah selamanya manusia-manusia lemah mesti menunggu datangnya Isa untuk menjadi perkasa! Keharuan itulah yang kemudian membuatku seolah lupa jika aku telah berada di tempat itu bersamanya hanya untuk pura-pura, sekadar mengikuti kejenakaannya yang menyedihkan.
Setelah itu, kami benar-benar seperti sepasang gerilyawan separatis yang hendak mengincar Sang Jahannam penindas kebebasan, kebahagiaan. Benar-benar tak ada membedakanku dengannya, kecuali sebuah pisau komando yang terselip di pinggangnya. Kami adalah superhero sebenarnya. Jemariku telah berubah menjadi senapan otomatis AK-47. Kedua mataku telah berubah jadi teleskopnya.
Begitu sabar kami menanti sasaran. Dengan khidmat kami menunggu buruan yang kami yakin tak akan lepas, akan mampus dalam sekali salakan atau malah rentetan tembakan.
Cukup lama kami menunggu dalam keheningan.
Hingga keheningan yang telah cukup lama kami khusyuki itu pun pecah.
Secermat mungkin kami merespon histeria yang meledak tiba-tiba. Setan itu telah datang, pikirku ketika itu, pikirannya pun kurang lebih sama kukira. Lamat-lamat, kulihat dengan begitu terang arak-arakan presiden berserta ajudan dan pengawalnya. Wajah palsu itu kulihat tengah tersenyum-senyum, melambai-lambai dari balik kaca Mercedez-nya yang lumayan gelap. Di sampingnya duduk istrinya yang melakukan kegiatan serupa di kaca yang bersebrangan dengannya.
Aku mencoba berkonsentrasi, hingga haram jadah itu masuk dalam jarak fokusku. Ia telah masuk dalam jarak tembak. Kutarik pelatuk, kugerakkan telunjuk kananku.
Dor! Dor! …. Senapan kami menyalak dalam waktu yang hampir bersamaan. Aku melihatnya. Aku melihatnya roboh dalam serangan itu. Ada kekacauan. Ada tangis yang mubazir. Ada kemenangan.
“Dosa-dosa! Aku berdosa. Aku tak mau dihukum mati!”
Aku menoleh ke arah suara itu. Kawanku! Ada apa dengannya. Aku benar-benar kaget begitu melihatnya. Oh, segalanya terlambat! Sebuah tragik telah terjadi, tanpa mampu kugagalkan. Darah mengucur deras dari ulu hatinya.
Kemudian aku tersadar, bahwa “pisau komando” yang terselip di pinggangnya itu bukan mainan. Entah dari mana ia dapatkan pisau dapur itu! Kemudian aku teringat ancamanku tentang dosa dan hukuman setelah rencana pembunuhannya pada presiden. Aku menangis sejadi-jadi, sendirian. Sementara beberapa meter dari kami ada luapan gembira menyambut konvoi penguasa. Sementara dalam dekapanku, tubuh superhero itu mendingin dalam kemarahannya yang paling sunyi. (*)
.
.
Mojokerto, penghujung Januari 2011
Muhammad Azka Fahriza. Lahir dan bermukim di Mojokerto. Pegiat sastra pada Kelompok Alief, Mojoagung, Jombang.
.
.
dawam
Khayalan yang sempurna!
Edy SC
Anak kecil saja yang cuma bermain-main sebagai super hero ingin menumpas kejahatan. sungguh daya pikir yang bagaiman yang dimiliki bocah itu. apakah benar-benar ada.
hanya dengan kekonyolan semata ingin menumpas kejahatan yang dilakukan pemerintah.
Bagi orang-orang pingiran pasti ingin dirinya melawan pemerintah, tapi apa, daya tangan tak sampai. hanya kekonyolan bocah yang bisa jadi super hero, bisa menumpas segala kejahatan.
kekonyolan yang berubah histeris dengan kenyataan…. seolah-olah senjata yang dipakai hanya mainan,namun berubah jadi belati sungguhan. sungguh keberanian, walau ada rasa takut yang membelenggu.
Ottang K.
Mantap!
Widya
Keren…. Sampai bisa bikin cerita yang segitunya.
Lucu, menyentuh…. Hebat!
Midun Aliassyah
Wuiii, mantabbb gan….. 8)
nathalia
huffhtt!!! keren, miris 🙁