Hasan Al Banna

Kaki yang Ajaib

4.5
(2)

Cerpen Hasan Al Banna (Koran Tempo, 20 Mei 2012)

DI MANA-MANA negeri, hampir dipastikan, tak akan kalian temukan gadis-gadis yang masing-masing hanya terdiri dari sepasang kaki. Namun, negeri kami adalah perkecualian! Tepat sekali, setiap gadis di negeri kami cuma terdiri dari sepasang kaki. Ou, tentu, silakan kerat julur lidah kami kalau-kalau kisah ini semata bualan.
Hanya terdiri dari sepasang kaki? Ya, tidak salah lagi! Sepasang kaki, bagaimana bisa? O Tuhan, dengan cara apalagi kami meyakinkan kalian. Bagaimana bagian tubuh yang lain: perutnya, dadanya, punggungnya, bahunya, sepasang tangannya, rambutnya, wajahnya? Hanya terdiri dari sepasang kaki! Wuii…
Ei, ei, ini bukan cerita horor, sumpah! Sungguh tidak beradab kalau ihwal ini dikisahkan hanya untuk membiritkan kalian. Ah, lagi pula, bukankah kisah-kisah horor tak lebih dari lelucon murahan? Lantas dari mana jalannya lelucon bisa bikin kalian menggigil ketakutan, hah? Baiklah kalau begitu, kisahkanlah perihal gadis-gadis yang cuma terdiri dari sepasang kaki!
 .
TERSEBUTLAH negeri kami begitu tersohor, apalagi kalau bukan, konon, karena kecantikan gadis-gadisnya. Kecantikan macam apakah yang bersemayam di tubuh gadis-gadis itu?
Mungkin kalian pernah, bahkan sering mendengar tentang kecantikan seorang gadis sehingga rambutnya dilukiskan umpama mayang terurai, alisnya diibaratkan semut beriring, matanya bagai bintang kejora, pipinya bak pauh dilayang, hidungnya tak ubah dasun tunggal, dagunya seperti lebah bergantung. Adakah gadis-gadis tersebut serupawan, atau, ya, paling tidak mendekati kerupawanan lukisan yang dimaksud? Ketahuilah, kecantikan mereka jauh api dari panggang jika dibandingkan dengan perumpamaan itu. Lantas, apakah tubuh gadis-gadis itu begitu semampai atau lekuknya bak gitar spanyol?
Sama sekali tidak! Pancaran kecantikan gadis-gadis di negeri kami membuncah dari kaki mereka? Seindah apa gerangan? Sulit merumuskan keindahan berpasang kaki yang bersarang di tubuh gadis-gadis di negeri kami. Keindahan kaki mereka tak dapat begitu saja diukur dengan besar-kecil, tinggi-pendek, kenyal-kendur atau dipilah berdasar putih-kuning langsat-sawo matang warnanya. Serumit itu? Entahlah!
Apakah keindahan kaki-kaki para gadis tersebut diperoleh secara turun-menurun, sejak dari leluhur, mungkin? Mmh, kami tidak bisa menjawabnya dengan pasti. Pasalnya, terus terang, kami tidak pernah menyaksikan dengan mata telanjang seperti apa kaki gadis-gadis di negeri kami. Bayangkan saja, gadis-gadis kami lebih banyak berkurung di rumah. Paling, selepas mandi senja, gadis-gadis kami duduk dan saling bercengkerama di beranda. Lebih daripada itu, tubuh gadis-gadis kami—termasuk kaki mereka, tentu—senantiasa digelungi kain. Tak ada sedikit pun celah bagi kami untuk melihat bagian tubuh gadis-gadis kami, kecuali wajah mereka yang lembut dengan rambut terkepang.
Terus? Segalanya bermula sejak kedatangan perempuan separuh baya yang sepasang kakinya selalu tertutup. Perempuan separuh baya yang sepasang kakinya selalu tertutup? Sebelumnya, harap diketahui, keramahan kami menjamu tamu tiada tandingnya, terlebih-lebih mendapatkan kenyataan bahwa negeri kami langka disambangi tamu. Oleh karena itu, sekali-kali tiada boleh kami menaruh curiga pada setiap tamu yang berkunjung ke negeri kami, termasuk perempuan separuh baya yang sepasang kakinya selalu tertutup itu. Selain itu, kami memiliki kepercayaan jika tamu adalah sumur rezeki.
Dan itu terbukti! Ya, tak dinyana, tamu kami, perempuan separuh baya yang sepasang kakinya selalu tertutup itu menjadi sosok utama di balik kemasyhuran negeri kami kemudian. Siapa sesungguhnya dia? Peri cantik, dewi kebaikan? Dari mana muasalnya? Turun dari kahyangan? Bagi kami akhirnya, tidak penting lagi apa sebabnya. Yang jelas, sejak kehadirannya, negeri kami bak tersentak dari tidur panjang, utamanya gadis-gadis kami. Perempuan separuh baya yang sepasang kakinya selalu tertutup itu, ah: kata-katanya mengandung kekuatan luar biasa.
Gadis-gadis di negeri ini harus diberdayakan! Tahukah kalian, hidup-mati sebuah negeri ditentukan oleh kaum hawa. Jangan berpangku tangan! Jangan menyimpan kaki! Hayo, melangkah, melangkah. Kaki, kaki. Kalian tak akan beranjak ke mana-mana kalau kaki tidak dipergunakan. Mulai dari sekarang, kalau kalian ingin terpandang, negeri ini tersohor, ya pergunakan kaki. Kaki, kaki…
Begitulah pertama kali ia memperdengarkan suaranya yang tegas, bertenaga, tapi tetap terasa bersahabat. Tempo itu, mata perempuan separuh baya yang sepasang kakinya selalu tertutup itu berpijar. Bibirnya merah berkilau-kilau. Dengan wajah yang menyala, ia kepalkan tangan ke udara. Kakinya dientak-entak ke tanah. Kaki, kaki! Lantas, suara-suara bergemuruh. Angin bergelora, mengembara sampai ke sebalik gaun perempuan separuh baya yang sepasang kakinya selalu tertutup itu. Andai angin adalah mulut yang nyinyir, ia sebenar hendak berbisik, betapa buram dan menjengkelkan sepasang kaki perempuan ini!
Namun, angin tetap bernama angin. Tak bermulut, tiada berlidah. Ajakan perempuan separuh baya yang sepasang kakinya selalu tertutup itu disambut gempita gadis-gadis kami. Mereka serempak dalam anggukan, sepakat dalam berpendapat: perempuan separuh baya yang sepasang kakinya selalu tertutup ini adalah peniup sangkakala perubahan! Maka sejak itu, gadis-gadis kami mulai peduli pada langkah, langkah. Tepatnya kaki, kaki. Gadis-gadis di negeri kami mulai berani memanjangkan langkah tak hanya sebatas halaman-halaman rumah, melainkan juga menyusuri tiap liuk jalan di negeri kami. Tidak sampai di situ, gadis-gadis kami mulai pula berani melangkah tanpa gelung kain penyelubung kaki.
Begitu penurutkah gadis-gadis tersebut hingga seiya-seangguk menyahuti perempuan separuh baya yang sepasang kakinya selalu tertutup itu? Ah, hampir lupa, sepenggal kisah berikut ini, mungkin, akan melunasi pertanyaan tersebut. Sebenarnya, sudah sejak lama gadis-gadis kami memintal kegelisahan dan menjuraikannya di jendela kamar-kamar mereka: kehidupan seperti ini terasa menjenuhkan? Ah, menurut gemerisik bisik-bisik, kehidupan mereka datar-datar saja, tapi tak tahu bagaimana cara mengubahnya. Maka jangan heran jika seru-seruan perempuan separuh baya yang sepasang kakinya selalu tertutup itu kontan mereka ganjar dengan anggukan.
Seperti itulah, gadis-gadis kami pun mulai senang menimang-nimang kaki mereka. Sejak itu, sontak gadis-gadis di kota kami berlomba-lomba merawat kaki mereka. Gadis-gadis kami begitu bangga dengan kaki mereka. Berpamer-pamer kaki di luar rumah. Segenap gadis kami pun tak pernah lagi memedulikan bagian tubuh yang lain. Bak pematung ulung, gadis-gadis di negeri kami menjadi teramat telaten memahat sekaligus mengilapkan kaki mereka, dari pangkal sampai ujung. Kaki, kaki…
Luar biasa! Pada suatu ketika, kaki gadis-gadis kami menjelma cermin yang bening. Bak kaca yang jelita! Semua orang di negeri kami tercengang, entah takjub, entah sirap. Lalu, entah siapa yang mengabarkan maklumat ke penjuru negeri yang lain: barang siapa—lelaki—yang berkaca ke kaki-kaki kami, alamat tampak rupawan ia padanya. Cermin yang ajaib?
Ya, ajaib! Ajaib! Maka, satu-dua lelaki mulai berkunjung ke negeri kami demi menguji kebenaran kabar tersebut. Mujarab? Apalagi namanya kalau bukan mujarab, karena seturut waktu, tak cuma satu-dua lelaki yang bertandang ke negeri kami. Segala jenis lelaki: lajang maupun beristri dari negeri-negeri nan jauh sekalipun berduyun-duyun mengunjungi negeri kami.
Negeri kami mendadak menjadi buah bibir. Lelaki-lelaki muncul dari segala arah mata angin. Kerumunan pelancong diliputi ketakjuban yang luar biasa kala disongsong cermin bening persembahan gadis-gadis kami. Tatkala para tamu lelaki menyetor wajah ke sepasang kaca jelita, kontan mereka terkesima, benar-benar rupawan wajah kami… Makin dekat wajah mereka ke kaki-kaki yang cemerlang, makin nyata kerupawanan mereka, juga kejantanan mereka.
Para lelaki terperangah! Sampai-sampai untuk membunuh rasa tak percaya, mereka tempeleng wajah mereka sendiri. Mereka tidak sedang bermimpi. Maka lelaki-lelaki itu pun mabuk rupawan. Sedang gadis-gadis di negeri kami, girang-gemilang menerima beragam cindera mata uluran para lelaki. Gadis-gadis di negeri kami jadi gemar mengoleksi cindera mata.
Hei, perempuan separuh baya yang sepasang kakinya selalu tertutup itu: mengapa ia kebagian cindera mata pula? Apa tidak boleh berbagi cindera mata dengannya, sebagai ungkapan terima kasih kami atas jasanya, jawab gadis-gadis kami sambil menyongsong pelancong-pelancong lain. Biar tahu saja, lebih dari itu pun pantas ia dapatkan. Para tamu terus berdatangan, berdesak-desak. Di pintu gerbang negeri kami, barisan pelancong menjelma ular raksasa yang berdesis-desis. Berdesis-desis…
Syahdan, kota kami pun sebenar semarak, menyala tak tentu waktu. Gadis-gadis kami makin mencintai kaki-kaki mereka. Pun para tamu, berbusung-busung dada, mengaku jantan seusai berkaca ke kaki-kaki gadis kami. Laki-laki mana yang tak hendak dipuji rupawan? Bahkan, laki-laki di negeri kami, tanpa terkecuali, tak canggung pula menguji kerupawanan diri di kaki para gadis kami.
Begitulah. Seiring masa yang terus lipat-melipat, derajat gadis-gadis kami makin terangkat. Namun, perempuan separuh baya yang sepasang kakinya selalu tertutup itu, ke mana ia? Seperti apa rupanya kini? Kalau penasaran ingin menemuinya, kunjungilah alun-alun negeri kami. Di sana, ia menjelma monumen berlapis emas: di bahunya mengepak dua sayap indah, dan sepasang kakinya masih tetap tersimpan dalam selubung…
 .
DI NEGERI kami, tubuah setiap gadis hanya terdiri dari sepasang kaki. Mereka sungguh tidak peduli lagi bagian tubuh yang lain—dari pinggang sampai kepala. Tak terbayangkan, bagaimana rasanya hidup hanya dengan kaki. Kaki, kaki. Tanpa tubuh yang utuh. Tanpa perut. Tanpa dada. Tiada berpunggung. Tiada berbahu. Sepasang tangan ditanggalkan. Rambut disingkirkan. Wajah mereka? Entah ditaruh di mana?
Ajaib! Ya, ajaib! Bagaimana tidak, gadis-gadis kami telah membuktikan bahwa mereka berhasil memasyhurkan negeri kami hanya dengan kaki mereka.
Maka, jika suatu waktu kalian berkunjung ke negeri kami, dan cuma mendapati kaki-kaki yang hilir-mudik, itulah senyata gadis-gadis kami. Lalu, lelaki-lelaki dari mana-mana negeri, tak putus-putus melancong ke negeri kami. Ya, tengoklah, sambil menjinjing aneka cindera mata, barisan para lelaki di pintu gerbang negeri kami menyaru ular raksasa yang mulutnya menganga, sekonyong-konyong hendak melumat negeri kami. (*)
.
.

Baca juga  Pintu

Griya Sakinah Medan, 2011-2012

Hasan Al Banna lahir di Padangsimpuan, Sumatra Utara, 3 Desember 1978. Buku cerita pendeknya Sampan Zulaiha (2011). Kini berkhidmat di Komunitas Home Poetry, Medan.

.

.

Loading

Average rating 4.5 / 5. Vote count: 2

No votes so far! Be the first to rate this post.

8 Comments

  1. Ajib bener. Seksama kata perkata supaya tak terlewati. Kutemukan juga maknanya.

  2. Justru saya malah nggak paham apa maksud cerpen ini. Mungkin terlalu puitis ya?! Atau , saya yang bodoh? Bisa jadi.

  3. Saya adalah penggemar karya2 hasan Al Banna, tapi seperti gan dawam, kali ini saya tak paham cerpen ini…..

  4. cerpen ini menggambarkan budaya gadis-gadis kami tahun2 belakangan ini.
    ya.. di medan dan kampung-kampung sekitarnya.

  5. izky

    menurut saya cerpen ini menggambarkan seseorang yang ingin membawa perubahan pada masyarakat.Seseorang yang menyuarakan hak hak perempuan yang begitu dibatasi. Yang cuma kerja di dapur, kasur,dan sumur. Lalu seseorang datang mencoba membebaskan perempuan dari budaya lamanya, yaitu cuma berada dalam rumah dengan meneriakan ” Jangan berpangku tangan! Jangan menyimpan kaki!”. Namun akhirnya kebebasan itu berkembang kebablasan atau malah disalah artikan

  6. MEMBURAI KAKI YANG AJAIB
    (terbitkan pada Rubrik Art & Cultur Harian Medan Bisnis (Minggu,22 Juli 2012)
    Oleh: Syafrizal Sahrun
    Gadis-gadis di negeri kami hanya terdiri dari sepasang kaki? Pernyataan yang mengejutkan. Lantas siapa perempuan yang doktrinnya diagungkan dan dijadikan monumen? Inilah pernyataan yang akan menghuni benak kita setelah mencicipi cerpen “Kaki Yang Ajaib” milik Hasan Al Banna yang terbit di Koran Tempo edisi minggu, 20 Mei 2012.
    Kaki adalah organ penting bagi manusia. Tapi cakap-cakap tentang kata penting, apa yang tak penting dari tubuh manusia? Mungkin tak ada kalau kita piawai memahaminya. Kali ini saya terinspirasi membicarakan maksud dari kaki yang ajaib itu dengan ketajaman pisau saya.
    Saya turunkan paragraf pembuka pada cerpen tersebut:
    “Di mana-mana negeri, hampir dipastikan, tak akan kalian temukan gadis-gadis yang hanya terdiri dari sepasang kaki. Namun, negeri kami adalah pengecualian! Tepat sekali, gadis-gadis di negeri kami cuma terdiri dari sepasang kaki. Ou, tentu, silakan kerat julur lidah kami kalau-kalau kisah ini semata bualan.”
    Di dalam kaki yang ajaib ini, cerpenisnya memastikan selain “di negeri kami” tak ada negeri lain yang memiliki gadis-gadis yang hanya terdiri dari sepasang kaki. Kalau tidak percaya, si pencerita mempertaruhkan lidahnya untuk dikerat—amat berani. Apa yang melatar belakangi keberaniannya? Ternyata setelah diselidiki jalan pikiran sebab latar belakang sosialnya, benarlah agaknya apa yang dia cakapkan.
    Beberapa tahun belakangan ini, memang terlampau sering kita lihat kaki gadis-gadis kita dipamerkan disegala tempat. Dipamerkan dengan kesengajaan pemiliknya agar gelar seksi di anugrahkan kepadanya. Siang maupun malam, panas maupun hujan keliatannya tak menyurutkan gadis-gadis kita untuk mengenakan pakaian yang ‘super’ mini—khususnya celana pendek. Yang dikatakan pendek di sini hanya setengah jengkal di bawah pangkal paha. Ou, sungguh menggairahkan.
    Seiring perkembang zaman, gadis-gadis kita juga termotivasi lepas dari belenggu adat istiadatnya. Lebih menyukai keterbukaan—keterbukaan dada dan paha. Haha, lucu memang jika kita kaji kultur kita. Sebagian dari kita, begitu menggilai gaya hidup barat, bahkan ada juga yang menuhankannya. Apa yang diporomosikan oleh orang-orang barat melalui media-media informasi yang ada di negeri ini, langsung saja ditelan bulat-bulat, dengan sedikit sekali pertimbangan. Termasuk gaya berpakaian.
    Bukan menyalahkan media informasi, tapi pembinaan kepada generasi kita begitu sangat menyedihkan. Di sekolah khususnya, pembelajaran tentang etika hampir tidak ada. Pembelajaran agama, jamnya semakin menyempit. Bukankah pembelajaran itu sangat mendukung dalam menumbuhkan kesadaran akan siapa kita sebenarnya.
    Sudah bukan rahasia lagi memang ketika kita bicara tentang sepasang kaki. Ya sepasang kaki. Sekarang ini gadis-gadis kita lebih suka memamerkan kakinya di mana tempat. Sudah tidak memperdulikan nilai-nilai adat dan budaya ketimuran yang semakin dianggap kolot. Gadis-gadis kita lebih suka memakai celana yang sampai memperlihatkan pangkal pahanya ketika duduk, bahkan terkadang celana mereka hanya sebatas pangkal paha, lantas bagaimana jika mereka duduk? Waw, hanya demi dibilang seksi.
    Wah, apa benar demikian? Padahal ketika kaum adam melihat yang demikian akan menambah kesukaannya kepada gadis-gadis kita, tapi bukan menghargainya melainkan berpikiran kotor—bagaimana bisa mencicipi setiap lekuk gadis-gadis kita. Ya, demikianlah nasib sebagian gadis-gadis kita sekarang. Selalu menganggap dengan mempertontonkan bagian tubuhnya yang semestinya disembunyikan, itulah itulah modernisasi.
    Jika demikian, apakah gadis-gadis kita dahulu, yang menutupi auratnya tidak seksi? Apa pengakuan seksi hanya dipandang dari tubuh yang ternganga? Entahlah, jika itu kita perdebatkan, pastilah berjibun juga alasan yang membenarkan.
    Di ceritakan juga bahwa gadis-gadis yang dimaksudkan, kecantikannya jauh api dari panggang. Tubuh gadis-gadis itu juga tidak begitu semampai atau lekuknya tidak seperti gitar spanyol. Haha, geli mendengarnya. Hanya mengandalkan sepasang kaki yang terburai untuk mengundang nafsu jalang. Betapa sedihnya kita harus merelakan harga diri yang sudah terinjak makin diinjak.
    Dari Sudut Lain
    Setelah membaca cerpen milik Hasan ini, saya teringat gadis-gadis di kampung yang sering saya lewati. Seperti yang diceritakan itulah—mereka teramat gemar memakai celana yang hampir memperlihatkan seluruh kakinya. Malah mungkin gadis-gadis itu mulai sungkan dan malu bila menutupi kakinya—tak peduli siang atau malam, panas atau dingin.
    Lahirlah istilah Bondon Cilik (Boncil) untuk menggelari gadis-gadis seperti itu. Wah, malah jadi anggapan miring tentang gadis-gadis kita ini. Hei, jika kita kaitkan dengan istilah Boncil, mungkin saja cerpen ini arahnya menceritakan tentang pelacur. Perempuan separuh baya yang di maksud adalah germo. Banyak kita lihat bahwa germo adalah memang tak se-cantik gadis-gadis jajaannya. Itu di istilahkan perempuan yang kakinya selalu tertutup, doktrinnya diagungkan dan dijadikan monumen oleh gadis-gadis itu. Tidak itu saja, istilah lain untuk menggambarkan germo itu juga banyak kita jumpai jika kita jeli.
    Dengan demikian, jagalah gadis-gadis kita. Sebab gadis-gadis kita adalah cerminan budaya bangsa.
    Percut, 4 Juni 2012

  7. saya mengerti maksud isi cerpen setelah dijelaskan pak ijal tentang isi cerpen di atas tempo hari,dan saya tertarik akan cerprn ini.
    hehe

Leave a Reply

error: Content is protected !!