Cerpen Abidah El Khalieqy (Jawa Pos, 1 April 2012)
KAMAR hotel jadi sunyi. Tiba-tiba saja, Komar dan Syamsu, dua penghuni kamar mewah nomor dua belas itu saling berpikir tentang kematian. Tentu banyak versi, banyak cara pandang yang bisa diulang untuk melihat kematian seseorang. Seperti keduanya, meski titik awal dan akhir telah ditemukan, masih juga berdebat untuk mempertahankan pendapatnya masing-masing. Sampai keduanya membisu, berdiam diri di antara kemewahan lampu merkuri.
Beberapa saat kemudian, Komar tak tahan dengan kebisuan dan memulai percakapan dengan nada bijaksana. Ringan saja kata-katanya, seolah sedang memberi nasihat pada murid-muridnya di sekolahan.
“Bagiku tak sulit mengenali kematiannya. Manusia bisa dilihat di akhir hayatnya. Karena sebaik-baiknya kematian adalah khusnul khatimah. Dan kematiannya menunjukkan hal itu. Ia dipanggil Tuhan saat sedang sujud di atas sajadah. Saat ia pasrah dan ikhlas jiwa raga melakukan kehendak-Nya. Keindahan apalagi selain dipeluk Kekasih saat kita ingin memeluk-Nya.”
“Tapi… bagaimana kalau ternyata dia itu seorang koruptor kelas kakap?” jawab Syamsu singkat.
“Koruptor atau bukan, kita ndak tahu. Karena ia tidak termasuk dalam DPO, tidak terdaftar sebagai DOT, belum pernah disidik oleh KPK, dan tidak bermewah-mewah dalam hidupnya. Orang tua yang meninggal itu bukan juga pensiunan pejabat negara, apalagi pernah menjadi ketua partai politik. Yang jelas orang kampung itu tahu bahwa ia telah mewakafkan sebagian dari tanahnya untuk membangun sekolah meski hanya untuk sekolah taman kanak-kanak.”
“Kalau ternyata pernah merampok, bagaimana?”
“Aku tak yakin ada manusia mau jadi perampok kecuali karena kebodohan. Kebodohan bisa dimaafkan jika ia taubat nasuha. Namun jika seseorang secara sadar dengan pengetahuan yang dimiliki dan tetap menjadi perampok, Tuhan pasti murka dan tak ada maaf bagi pelakunya!”
“Menurutmu, mungkinkah seorang perampok itu khusnul khatimah. Impossible!”
“Semoga ia khusnul khatimah.”
“Kau doa baginya?”
Syamsu kian bertanya-tanya. Komar mendelong meneliti wajah teman sekamarnya itu kalau-kalau bakal ditemukan keganjilan. Ada dorongan kuat untuk bertanya, namun gagal untuk diucapkan. Yang muncul justru sebaliknya, hanya bisa berdoa dalam hati semoga hal serupa tidak terjadi pada dirinya.
“Seperti banyak orang di kampungnya, apa salah jika aku ikut mendoakan?”
“Tidak juga. Tidak ada salahnya.”
“Jadi?” tanya Komar memburu.
“Kecintaan orang-orang dan doa mereka baginya bikin aku cemburu,” jawab Syamsu.
“Makanya jangan hanya bikin puisi. Sesekali bikin masjid atau sekolahan atau rumah yatim piatu, biar punya amal banyak.”
“Ya ndak harus begitu. Nanti dikira malah menipu malaikat, karena seringnya berbuat jahat lalu mengundang seribu anak yatim piatu, diberi makan dan amplop di depan wartawan infotainment ….”
Apa salahnya jika memang itu yang hanya bisa dilakukan. Ya… seperti tokoh-tokoh kita di negeri ini mengira gampang mencari khusnul khatimah. Mengira gampang mencari pintu surga, haha …!”
Syamsu tersipu-sipu. Mana bisa penyair membangun masjid, memberi makan dan amplop seribu anak yatim piatu, bisiknya dalam hati. Sementara Komar berusaha memahaminya dengan lapang dada. Sebagai guru, Komar sudah biasa memahami arti senyuman. Dan merasa bahagia bisa bertemu seorang penyair dalam sebuah acara dan sekamar dalam hotel berbintang lima.
“Tapi apa daya Pak Guru. Makan saja sulit, gimana bangun masjid?” Syamsu menambah kata dengan rasa hampa.
“Mudah aja, Bung Penyair. Kalau tak kuat bangun seluruhnya, kan bisa bangun fondasinya atau pintu-pintunya atau genting-gentingnya. Bahkan sebiji di antara genting-genting itu,” Komar menjawab tanpa tujuan untuk menyindir atau mengguruinya.
“Sedekah maksudmu?”
“Sedekah juga bisa, tapi itu tidak istimewa. Kalau amal jariyah itu baru super istimewa.”
“Haha… kayak martabak saja!”
“Sekarang ini banyak orang suka beramal, tapi tanpa jariyah…. Bukan amal jariyah maksudku, atau amal-amal lain yang termasuk amal fi sabilillah.”
“Apa jika begitu, kematianku bakal memperoleh banyak doa?”
“Mungkin. Lebih dari semuanya, amal-amalmu itulah yang bakal menggerakkan lidah banyak orang untuk mendoa bagimu.”
“Kini aku merasa begitu kecil. Swear!”
“Dibanding?”
“Ya, dibanding orang tua yang dipanggil Tuhan ketika sedang berada di atas sajadah itu, orang tua yang sedang kita bicarakan itu. Mungkin tak tamat SMA, tak pintar bikin puisi, tak pernah tidur di hotel seperti kita. Mungkin juga tak pernah naik pesawat namun masih sempat beramal jariyah dan menggerakkan lidah banyak orang untuk mendoakannya saat ia telah di alam barzakh.”
“Bukan hanya itu. Ia bakal dikenang banyak orang meski bukan penyair sepertimu. Bahkan penyair-penyair menuliskan kisahnya dan memperoleh inspirasi dari pola hidupnya yang unik di zaman ultra kibul ini.”
“Yeah, makin kecil saja diri ini rupanya….”
“Tak usahlah berkecil-kecil diri begitu, segera bangun masjid biar agak pede!”
“Nasihat bagus. Nantilah sepulang acara kita ini, separoh honorku bakal jadi karpet-karpet cantik di masjid.”
“Gitu dong, dan karpet-karpet itu bakal jadi puisi terindahmu saat di alam barzakh nanti, Insyaallah!”
“Begitukah? Tolong tulis cita-cita indahku ini, kalau-kalau tak sampai umurku seribu tahun lagi, hik hik hik….”
“Ye, mengapa tak kau tulis saja sendiri. Kau ini penyair beneran atau gadungan?”
“Gadungan atau bukan, rasa-rasanya nyawaku dah di tenggorokan, dan keringatku dah bau tanah, hahaha….”
“Welah, gagal dong dapat honor buat bikin karpet-karpet indah.”
“Ow! By the way, kapan honor kita terima ya? Masak nunggu keringat mengering?”
“Tuh! Ada yang ketuk pintu. Siapa tahu panitia yang datang.”
Benar ternyata. Dugaan itu tak meleset. Dua panitia datang membawa stopmap dan amplop-amplop tebal. Penyair dan guru itu senyum dikulum menyambut kedatangannya. Tak peduli teve sedang Breaking News tentang tokoh-tokoh besar yang ditangkap KPK. Usai tanda tangan dan kedua panitia hengkang, keduanya sibuk menghitung lembaran merah istimewa dalam amplop cokelat tua.
“Jangan lupa, separonya untuk karpen-karpet merah bergambar kubah masjid,” Komar membisik pada telinga Syamsu.
“Ah, terlalu banyak kalau separo. Ternyata honor kita besaaar!! Nanti tak muat karpet-karpet itu dijajar di satu masjid,” jawab Syamsu mulai ragu pada apa yang beberapa saat lalu telah diucapkannya.
“Jadi berapa persen untuk amal jariyahnya?” tanya Komar sembari terpana menatapnya tak percaya.
Syamsu terhenyak. Tampak merah padam wajahnya. Namun kecintaannya pada kata-kata masih tergambar jelas di urat lehernya. Mungkin saja ia sedang berpikir bahwa puisi juga termasuk amal jariyah selama masih ada orang yang membacanya. Namun lupa sama sekali jika di zaman ini nyaris tidak ada orang yang mau membaca puisi. Sementara Komar telah membagi dan menetapkan diri dalam hati, entah berapa persen dari isi amplop itu yang akan diberikan kepada tetangga yang membutuhkannya.
“Sori, Pak Guru, aku mau keluar dulu!” Komar menyela sehabis ganti pakaian dan menyisir rambut gondrongnya.
“Mau ke mana, Bung Penyair. Mau cuci mata atau cuci lidah?”
“Lidah penyair tak perlu dicuci, tak perlu dibersihkan. Lidah penyair itu sudah bersih sejak dari sononya, apalagi kata-katanya….”
“Kalau begitu mah, nabi namanya. Bukan penyair!”
“Penyair juga bisa jadi nabi, walau mungkin hanya sehari, hahaha…!!! Tenang saja, kita masih punya waktu semalam di kamar mewah ini. Masih bisa berdebat tentang kematian indah di atas selembar sajadah.”
Dasar seniman, baru saja dapat honor sudah muncul kata-kata besarnya. Tapi Syamsu tak mau menanggapi. Tak mau bincang-bincang soal begituan. Apalagi teman sekamarnya itu keburu keluar dengan langkah kaki seribu kuda. Lenyap tanpa bayangan. Begitu cepat menghilang seperti kilat di tengah hujan. Syamsu menduga, teman sekamarnya itu keburu pergi ke toko sepatu, karena katanya ingin segera mengganti terompah kakinya dengan yang baru. Katanya pula, terompah kaki itu penting bagi seorang penyair yang sering berjalan ke sana-kemari guna mencari ilham sejati.
Syamsu paham soal itu, tapi kenapa secepat kilat ia menghilang. Maka ia coba intip sekadarnya. Dari jendela kamar nomor dua belas, di lantai dua belas, pada sekitar jam dua belas, Pak Guru itu melihat Sang Penyair sedang berdiri di samping hotel. Beberapa saat kemudian masuk ke dalam taksi warna biru yang berhenti di sampingnya. Lalu melesat ke arah tikungan ibu kota.
Moga saja benar membeli terompah baru, kata Syamsu dalam hati. Kalau tak, ya ke sebuah masjid di pinggiran kota. Menyumbang karpet dan sajadah seperti yang pernah dijanjikan. Tapi jangan-jangan malah kebalikan, mengira jalan raya sebagai masjid dan toko sepatu, lalu tersesat di antara dua dunia. Entah di mana. (*)
.
.
Fitrawan
Keren…
Usul nih buat ka Zetta… kalau memungkinkan, lakonhidup jg memosting cerpen2 koran2 daerah.. Kan keren tuh kalau lakonhidup bisa jd pelopor dn referensi utama cerpenkoran di Indonesia
dawam
Lumayan. Tapi kok aku pernah baca sebelumnya, ya?! Apa pengasuh webset ini lupa hingga saya dikirimi cerpen serupa dua kali?! Atau cerpen ini pernah dimuat media lain?! Bingung aku.
Midun Aliassyah
Dengar-dengar dari teman fb, cerpen ini sebelumnya pernah dimuat di Kedaulatan Rakyat…..
erlinfortunela
emmmmmmmmm Kayaknya aku juga baca
apa bener di muat 2 kali ya?
tapi tetep thanks cerpennya bagus