Cerpen Adam Gottar Pierre (Suara Merdeka, 27 Mei 2012)
TOGOG tertegun memandang kerangka binatang di depannya. Otaknya yang dungu bertanya-tanya, binatang apa gerangan yang memiliki tengkorak dengan gigi bertaring seperti binatang buas. Apakah ini kepala harimau, singa, serigala, beruang, kuda, rusa, atau anjing hutan? Ia mereka-reka dengan kepalanya yang lonjong mirip buah cempedak.
Kendati telah mencoba membuat uraian sederhana mengenai onggokan tulang-belulang berlumut yang sebagian sudah terlilit akar pohon beringin itu, namun belum sepatah jawaban pun yang bisa disimpulkannya, untuk meyakinkan diri, bahwa rongsokan tulang-belulang itu bukan barang haram atau najis. Padahal ia ingin sekali memungutnya sebagian untuk membikin tasbih.
Sudah lama sekali Togog ingin punya tasbih dari tulang atau batu. Terlebih-lebih kalau tulang unta, seperti milik Haji Saad, tetangganya, yang selalu ditentengnya ke mana-mana, termasuk saat naik angkot atau berjualan ayam di pasar, Haji Saad akan selalu membawa tasbihnya, seraya menghitung butirannya dengan ujung telunjuk dan jempol, sebagai bukti bahwa ia sedang berzikir kepada Allah.
Alangkah senangnya Togog kalau memiliki tasbih seperti itu. Mungkin saja ibadahnya akan bertambah rajin. Kalau selama ini shalatnya sering ngadak (bolong-bolong), tidak jarang dalam sehari ia hanya mengerjakan shalat Magrib atau Zuhur saja, mungkin dengan memiliki tasbih dari tulang unta, shalatnya akan menjadi bertambah rajin. Karena tentu merasa malu kalau tidak shalat, sementara tasbihnya dari tulang unta, yang berasal dari negeri Nabi. Sedangkan mereka yang tasbihnya terbuat dari kayu atau bahan sintetis saja, bahkan banyak juga yang tidak punya tasbih, shalatnya tetap rajin. Apalagi yang punya tasbih dari tulang unta, binatang tunggangan Nabi Muhammad ketika hijrah ke Madinah itu. Mungkin akan dapat menjadi motivasi bagi dirinya untuk selalu taat beribadah kepada Allah.
Tetapi, untuk memiliki tasbih tulang unta bukan perkara mudah. Hanya mereka yang pernah ke Mekah waktu melaksanakan ibadah haji atau jadi TKI, tentu gampang untuk memperoleh tasbih tulang unta. Sementara bagi Togog, lelaki sakit-sakitan, yang kini tengah mengadu nasib sebagai penambang emas tradisional di kawasan pegunungan Meriji itu, tentu tidak gampang untuk mendapatkan tasbih tulang unta. Karena pulau Lombok bukanlah jazirah Arab penghasil unta.
“Tapi, jika bukan tulang unta, tulang kerbau atau sapi pun jadilah. Yang penting tulang. Bahkan tulang kuda juga tidak ada-apa, kalau memang itu yang ada,” pikirnya. Karena selain mengendarai unta, konon Baginda Nabi juga pernah menunggang kuda, yaitu saat pertempuran di Bukit Uhud. Togog berusaha mengingat-ingat sepotong riwayat yang pernah didengarnya dari pembaca hikayat di malam maulid itu.
Ia masih tertegun memandang tengkorak binatang di depannya. Pikirannya simpang-siur atau bercabang-cabang.
“Tulang apa kira-kira, ya? Syukur-syukur kalau tulang kuda. Tapi kuda giginya tidak bertaring. Bagaimana kalau ternyata ini tulang harimau, serigala, atau anjing? Ah…!” Togog bingung. Tapi sejurus kemudian wajahnya terlihat berseri, “Oh, iya ya, ingat saya sekarang. Ini tulang kijang. Kijang…!” gumamnya, sembari beringsut mendekati onggokan tulang yang sebagian tertimbun humus itu.
Togog pun mulai memilah-milah serpihan tulang binatang yang sebagian telah mengeropos itu, lalu mengambilnya dua tumpuk kecil dan memasukkannya ke dalam karung, dan membawanya pulang ke kemahnya di seberang danau.
***
DASAR orang urban, tidak mampu membedakan jenis-jenis tulang binatang. Padahal jelas, rusa atau kijang bukan jenis binatang yang memiliki taring seperti harimau atau macan. Melainkan hewan pemakan tumbuhan, dari famili cervidae, dengan sepasang tanduk panjang bercabang-cabang seperti dahan pohon. Tanduk kijang juga banyak terdapat di rumah-rumah warga di Lombok. Mereka akan memajangnya sebagai hiasan dinding yang diletakkan di atas pintu rumah.
Setelah mengambil dua genggam tulang, terutama gigi atas dan bawah, termasuk taringnya, Togog kembali ke kemahnya di bawah pohon bungur di seberang danau. Ia menunda rencananya untuk membelah sebungkah batu besar di bawah pohon lontar, yang menurut petunjuk mimpinya—setelah membakar kemenyan dan berzikir hingga terbit fajar—batu sebesar gajah itu memiliki kandungan emas sebanyak 16 kilogram. Oleh karenanya pagi-pagi sekali ia sudah berada di lereng Bukit Tetong, yang masih terlindung pohon-pohon besar berusia ratusan tahun. Tapi, di tengah jalan matanya memergoki onggokan tulang binatang, yang menerbitkan kembali keinginannya untuk memiliki seuntai tasbih dari tulang, sehingga terpaksa mengurungkan rencananya untuk membelah batu. Nampaknya tengkorak binatang itu lebih menyita perhatiannya, ketimbang khayalan muluk tentang 16 kilogram emas seperti yang dijanjikan oleh mimpinya.
***
DENGAN menggunakan pisau dan pusut, bor kecil dari kawat baja, Togog mulai membuat butir-butir tasbih dari serpihan tulang, yang menurut perkiraannya adalah tulang rusa.
Tangannya begitu terampil dan cekatan dalam memainkan pisau kecil yang ujungnya mengkilat seperti perak, sehingga dalam waktu singkat serpihan gigi binatang itu telah berhasil dibulatkannya seperti biji kecipir. Ia bermaksud membuat seuntai tasbih pendek, yang butirannya berjumlah 33, sesuai dengan jumlah bacaan yang disunatkan (dianjurkan) dalam wirid.
Setelah semua butiran berhasil dibulatkannya, Togog mulai melubanginya dengan ujung pusut. Gagang pusut yang terbuat dari bambu itu dijepitnya dengan kedua telapak tangan, lalu diputar bolak-balik di permukaan butiran calon biji tasbih, hingga ujung kawat baja yang runcing menembus butiran berbentuk bulat itu. Begitu seterusnya, berkali-kali, hingga 33 butir tasbih berhasil dilubanginya dengan hasil mendekati sempurna. Tak ada butiran yang cacat, atau lubangnya miring. Semua butir dikerjakannya dengan baik. “Alhamdulillah….” Togog lega.
Pekerjaan semacam itu memang tak sulit bagi pria berdarah Negro-Bugis, yang lahir dan besar di bekas kota pelabuhan Ampenan, Lombok, ini. Empat tahun bekerja sebagai tukang ukir kayu di sebuah art shop milik warga Itali di pantai Senggigi, telah membuatnya cukup piawai dalam hal ukir-mengukir. Tak hanya kayu tentunya, tapi juga dari bahan material logam seperti perak, tembaga, dan kuningan, bahkan batu paras. Tangan Togog sudah cukup terlatih.
Mengenai kemahirannya mengukir ini terdapat sebuah kisah yang membuat namanya populer. Suatu hari, menjelang tahun baru, seorang selebritas dari Jakarta, memesan patung tokoh sakti Togog (dalam wayang Jawa) pada pria berkulit hitam ini. Sungguh mengejutkan. Karena ternyata tak sampai setengah hari, Togog telah berhasil membuat sebuah patung Togog sebesar botol bir. Patung itu sangat ekspresif. “Seperti bernyawa saja,” kata orang. Sehingga para turis asing ingin sekali membelinya dari tangan penyanyi dangdut yang wajahnya sering muncul di telivisi itu.
Tapi, tentu saja ia tak berniat menjualnya. Terlebih-lebih setelah mendengar komentar banyak orang tentang keindahan patung itu. Keinginan untuk mengoleksinya semakin menggebu. Dan ia ingin segera memboyongnya pulang ke Jakarta.
Sejak itulah Togog, yang bernama asli Tekku Kusla Bago ini, oleh teman-temannya mulai sering dipanggil Togog. Sebutan Togog diambil dari nama tokoh patung yang dibuatnya, yang kemudian membuat namanya tersohor sebagai pematung, di kawasan wisata pantai Senggigi. Meskipun demikian, sampai sekarang Togog masih tetap hidup miskin dan sebatangkara, di sebuah gang sempit di kawasan Gomong Lama, Mataram, hingga ia mencoba mengadu nasib sebagai penambang emas. Alasan lain, karena fostur tubuhnya yang kurus dan bongkok memang mirip sekali dengan tokoh Togog dalam wayang Jawa.
Setelah merangkai butir-butir tasbihnya dengan seutas tali nilon, lalu menimang-nimangnya di tangan dengan perasaan senang—karena telah memiliki seuntai tasbih dari tulang—tiba-tiba saja kerinduannya pada Tuhan membuncah seperti ombak Teluk Sepi. Rasa rindunya yang mendadak muncul karena memiliki tasbih baru—dengan aroma tulangnya yang masih segar dan menyelinap masuk ke paru-paru—membuatnya tiba-tiba ingin shalat saat itu juga. Apalagi selama setahun lebih menjadi gurandil di daerah pegunungan ini, jarang sekali ia mengerjakan shalat. Bukan berarti rasa rindunya pada Tuhan telah pudar atau menguap ke langit, karena terkalahkan oleh kemilau emas 22 karat. Bukan. Sama sekali bukan. Tapi, medan yang sulit dan rasa malas pada dirinya itulah penyebab utamanya.
Dengan langkah tertatih-tatih, tungkainya yang ringkih, menuruni tebing sungai yang terjal dan berbatu kerikil. Beberapa kali ia terpeleset dan hendak terjatuh ke jurang, tetapi untung masih bisa dihindarinya dengan lekas berpegang pada ranting pohon asam di sekitarnya. Hasratnya yang begitu kuat untuk sholat, telah memaksa Togog turun ke sungai di bawah sana untuk berwudu. Karena air danau di depan pondoknya telah tercemar limbah merkuri , yang bersumber dari sejumlah mesin gelondongan di lereng bukit.
Para gurandil yang tengah memecah batu di tebing sungai, tampak terheran-heran menyaksikan Togog berwudu. Karena saat itu waktu baru menunjukkan pukul 10.21 Waktu Indonesia Tengah, belum waktunya untuk Shalat Zuhur. Tapi, rupanya Togog tidak peduli, karena keinginannya untuk shalat sudah tak terbendung. Rupanya, tekadnya yang begitu kuat untuk menunaikan shalat itulah yang telah membuatnya mampu bertahan sampai di atas, ketika mendaki jurang untuk kembali ke pondoknya, setelah berwudu, sehingga Togog terpaksa menempuhnya dengan cara merangkak atau merayap seperti biawak. Dan beberapa kali hendak jatuh tergelincir ke jurang, tapi berhasil dihindarinya dengan cara berpegang kuat-kuat pada akar pohon asam di sekitarnya.
Togog tengah bersujud, ketika seorang rekannya masuk ke dalam pondok dan langsung menjatuhkan sekarung batu dari pundaknya, menimpa kaleng-kaleng kosong dan botol-botol plastik hingga menimbulkan bunyi berkerompang di belakang punggungnya. Namun, tak sedikit pun mengusik kekhusyukan Togog yang sedang bersujud.
“Sembahyang apa, Gog, pagi-pagi begini?” celetuk rekannya, yang tampak masih kecapaian setelah memanggul sekarung batu dari lereng bukit.
Tapi, celoteh temannya tak digubrisnya. Ia terus saja shalat. Setelah menyelesaikan yang empat rakaat, dilanjutkannya lagi dengan shalat dua rakaat. Berzikir sebentar dengan tasbih barunya. Lalu sholat lagi. Zikir lagi. Begitu seterusnya. Karena kelamaan berzikir, akhirnya ia tertidur pulas sambil duduk di atas sajadah, sementara jari-jari tangannya masih terus bergerak memainkan butir-butir tasbih.
***
ESOKNYA, pagi-pagi sekali, Togog sudah berada di masjid, sebelum imam dan khatib Shalat Jumat tiba. Jangankan imam dan khatib, marbot masjid saja masih belum bangun, karena tadi malam sebagian waktunya dihabiskan untuk Shalat Tahajud, seperti yang biasa dilakukannya pada setiap malam Jumat. Tapi, Togog sudah datang lebih awal, dan langsung duduk di deretan syaf terdepan, tepatnya di depan mimbar atau podium. Setelah melaksanakan shalat dua rakaat, ia langsung duduk dan mulai berzikir dengan tasbih tulangnya, yang terus-menerus berputar di tangannya.
Entah sudah berapa ribu kali Togog menyebut nama Allah dalam wiridnya, saat orang-orang mulai berdatangan ke masjid untuk mengikuti Shalat Jumat. Melihat tasbih tulang di tangan Togog, secara diam-diam mereka sangat mengaguminya. Karena dalam benak mereka langsung muncul anggapan, bahwa tasbih di tangan Togog pasti terbuat dari tulang unta. Kata “tulang unta” itulah yang menjadi sumber ketakjuban. Karena kata itu akan mengingatkan mereka pada kota Mekah. Sedangkan kota Mekah akan mengingatkan mereka pada Kakbah. Kakbah akan langsung mengingatkan hati mereka pada Allah. Itu makanya tasbih tulang akan selalu menarik perhatian mereka, karena dikira tulang unta, yang berarti mengingatkan mereka pada Allah.
Usai shalat Jumat, Togog tak langsung pulang ke pondoknya di gunung, melainkan tetap duduk berzikir di dalam masjid. Untaian butir-butir tasbih terus berputar di tangannya. Semakin lama semakin cepat. Hingga ia sendiri lupa, sudah berapa juta kali nama Allah disebutnya, hingga tubuhnya jatuh terkulai di karpet masjid. Ia tertidur sangat pulas, sementara butir-butir tasbih terus berputar di tangannya.
Dalam tidurnya ia bermimpi menuntun seekor celeng, membawanya berputar-putar seperti orang thawaf mengitari pilar masjid berkubah emas. (*)
.
.
Mataram, 2010
.
Catatan:
Nguk-nguk: Nama plesetan dari babi/celeng di Lombok.
Meriji: Nama gunung di Lombok. Kalangan pemakai bahasa Indonesia menyebutnya “Mareje”.
Gelondongan: Mesin penghancur batu (istilah setempat).
Marbot: Orang yang ditugaskan menunggu masjid atau langgar.
.
.
dawam
O. Gitu . Tulang celeng yang haram ternyata mampu menghipnotis Togog untuk “mendekat’ kepada Allah. Semoga mimpi ketemu unta yang mengajaknya mengelilingi Ka’bah untuk towab.
erlinfortunela
Tak ada Yang Tak mungkin Di atas Segala KUasa-NYA
Adam Gautar Parra
mbak Erlin, terima kasih komennya. Boleh saya minta alamat akun FB-nya (Adam Gautar Parra)