Cerpen Rifan Nazhif (Suara Merdeka, 10 Juni 2012)
MAHMUNAH mengurut satu demi satu jari tangannya, seolah menghitung dan takut salah satu jarinya hilang. Dia menatap silau atap seng warung yang berjejer di hadapannya.
Sesiang ini belum ada seorang pembeli pun yang singgah di lapak dagangan Mahmunah. Bergulung lembaran sirih, daun gambir, pasta gambir, pinang muda yang telah dibelah-belah kecil, ibarat barang tak berguna saja.
Mahmunah tahu, bahwa dibanding rokok, barang dagangannya mungkin kalah menarik. Siapa coba yang senang menyirih? Orang-orang lebih senang mengulum gula-gula, atau menyedot sehingga pipi kempot, berbatang sigaret berbagai merek. Kendati sigaret berharga mahal, bahkan diembel-embeli memberi mudarat di bungkusnya—bisa mengakibatkan berbagai penyakit orang-orang tetap bengal mencintai sigaret. Bahkan dengan harga yang menyamai dua kilo beras per bungkusnya, mereka seolah tutup mata. Tutup telinga mendengar ocehan istri di rumah, misalnya, bahwa lebih baik membeli beras ketimbang sigaret.
Mahmunah memercik-mercikkan air ke atas daun sirih agar tetap terlihat segar. Seorang bocah yang melintas di hadapannya, dipanggil Mahmunah.
“Ada apa, Nek?” Bocah itu mendekat. Ingusnya berleleran. Dengan ujung lengan baju, si bocah mengapus leleran ingusnya.
“Pesankan aku segelas kopi kepada Mardiansyah. Sisanya, belikanlah barang sesukamu.” Mahmunah menggumpal lembaran uang, lalu menggenggamkannya ke tangan bocah itu. Secepat kilat bocah itu melesat menembus pasar yang lengang.
Menjelang terik menyengat ini, siapa pula yang masih mau bergumul di pasar. Pasar ramai hanya pada pagi hari. Karena pasar itu memang pasar pagi. Yang tetap bertahan menggelar dagangannya hanyalah pemilik warung atau pemilik toko. Tempat mereka tak tersentuh panas bila matahari seteriknya, atau tak tersentuh air bila hujan sederasnya.
Sekian menit, bocah itu datang sambil berlari, menjinjing kantung plastik berwarna hitam yang bergoyang-goyang kencang. Tampak berat isinya. Mahmunah menahan marah. Dia memesan kopi dalam gelas, bukan dibungkus plastik.
“Tak ada kopi, Nek. Bang Mardi sudah pulang. Istrinya melahirkan. Ini kubelikan goreng pisang lima buah. Sudah dingin. Sisanya telah kubelikan es cendol.” Bocah itu langsung menjelaskan tanpa memberi kesempatan Mahmunah meminta penjelasan. Karena semua sudah terjadi, bagi Mahmunah tak guna bermarah-marah. Dia hanya memendam sebal seraya melihat bocah itu melesat mendekati penjual mainan yang sedang menggulung dagangannya.
***
DI rusuk rumah, dengan pipi penuh, Mahmunah santai menyirih. Dia membiarkan Kidal, anak semata wayangnya, mengoceh sepetang ini. Sepertinya lebih enak menyirih ketimbang mendengar ocehannya. Perduli apa dia dengan Mahmunah, kalau setelah menikah sepanjang dua tahun, dia seolah melupakan Mahmunah. Kidal pulang sekadar mengambil apa-apa yang berharga di rumah untuk dipinjam. Padahal Mahmunah tahu, apa-apa yang berharga itu akan dijual Kidal.
“Buat apalah Mak berjualan sirih. Nggak zamannya lagi, Mak! Apa Mak tak bisa beralih berjualan sayuran, misalnya. Es krim. Baju-baju bekas. Atau sigaret?” Kidal duduk di bangku panjang sambil mengangkat sebelah kakinya. Dia menimang-nimang sebuah guci antik. Dia belum mengatakan ingin meminjam barang itu. Tapi sebentar lagi, setelah puas mengkhotbahi Mahmunah, dia akan mengatakannya.
“Aku telah kerasan berjualan ragam perlengkapan menyirih. Aku tak ingin beralih berjualan yang lain, apalagi mudarat seperti sigaret. Sudahlah, kalau mau pinjam guci itu, pinjam saja.” Mahmunah meludahkan daun sirih. Dia berjalan terseok menuju kamar. Kidal menyusul. Duduk di pinggir dipan melihat Mahmunah mengambil daun sirih yang baru dan menjejalkan ke mulutnya. “Apalagi yang kau tunggu? Pulanglah! Anak-istrimu menunggu.”
Antara malu-malu dan sedikit kesal, Kidal mengutarakan niat tambahannya mengunjungi Mahmunah, “Begini, Mak. Selain ingin meminjam guci, aku juga ingin meminjam uang. Mau berobat menantu, Mak!” Selepas malu-malu, wajahnya mengencang kembali. “Apa tak sebaiknya Mak berjualan tuak saja? Pembelinya banyak. Seperti Mak Bedah, sekarang sudah punya motor.”
“Masya Allah, Kidal! Hidup bukan sekali. Kelak di akhirat, seluruh perbuatan kita akan ditimbang. Berjualan tuak sama saja menjerumuskan diri ke jurang neraka. Supaya kau tahu, berjualan sirih itu bagiku bukan mau mencari uang saja. Juga mencari pahala. Sirih bisa dijadikan obat macam-macam. Untuk mimisan, diare, sakit gigi, alergi, batuk-batuk, keputihan. Istrimu kan pernah memakainya?”
“Iyalah, Mak! Uang yang mau kupinjam, mana?” Mahmunah mengambil uncang di dalam lemari. “Tak usah pinjamlah. Bikin pening kepala Mak. Pakai saja. Jangan lupa, obatkan istrimu. Nanti kau habiskan pula untuk foya-foya.”
“Makasih, Mak!” Kidal meraih tangan Mahmunah dan menciumnya. Lalu dengan wajah sumringah, bergegas meninggalkan emaknya itu. Emaknya memang baik hati, meski terkadang cerewet dan ngeyel. Tapi apa yang diminta anak, menantu dan cucunya, selalu dipenuhi, kendati tak seratus persen. Yang penting, mereka pulang tanpa tangan hampa.
***
HAMPIR putus asa Mahmunah setelah beberapa hari ini hanya sedikit pembeli yang singgah di lapak dagangannya. Tapi dia selalu menguat-nguatkan hati. Setiap yang berusaha dengah gigih, akan mendapat ganjaran dari Allah. Dan dia sangat percaya itu. Tak hari ini, esok lusa, rezeki pasti menghampirinya.
“Mak tak beli segelas kopi? Tadi aku lihat Bang Mardi belum pulang.” Bocah yang sering membantu Mahmunah, datang dengan wajah merayu. Mahmunah tahu, sebenarnya bocah itu ingin dapat upah untuk jajan alakadarnya. Hanya saja lapak dagangan Mahmunah yang sepi pembeli, manalah pula bisa beroyal dengan membeli segelas kopi lagi. Namun melihat wajah bocah itu, jatuh kasihan juga Mahmunah. Dia mengangsurkan beberapa keping seratusan ke tangan anak itu.
“Pergilah jajan.”
“Nenek mau makan apa?” Mata bocah itu berbinar.
“Pergilah!”
Bocah itu berlari dengan riangnya, hingga hampir menabrak seorang pemuda. Pemuda itu hanya menggeleng-geleng, lalu mendekati lapak dagangan Mahmunah.
“Jual sirih ya, Nek? Aku sudah pusing keliling pasar, tapi tak ketemu-ketemu penjual sirih. Mungkin kita sudah berjodoh.” Pemuda itu langsung tersenyum cerah.
Mahmunah sama, tersenyum cerah. Bulir-bulir rejeki seolah turun dari langit. Pemuda itu mengambil gulungan sirih di lapak dagangan Mahmunah. Dibukanya tali plastik pengikatnya. Dipilihnya lembar demi lembar. Mungkin agar bisa menemukan daun sirih yang masih hijau dan segar. Meskipun sesungguhnya, seluruh daun sirih yang dijual Mahmunah belum ada yang layu.
Pembeli adalah raja. Walaupun semua jualan Mahmunah diacak pemuda itu, tentulah Mahmunah tetap tersenyum cerah. Nasib penjual memang demikian. Terpenting pembeli tak urung membeli jualannya.
“Semua daun sirih Nenek bagus-bagus!” Akhirnya terpecah juga di mulut apa yang tiba-tiba melintas di hati perempuan tua itu. Sesabar-sabarnya penjual, terkadang kesal juga bila jualannya diacak semua. Bagus pemuda itu mau membeli. Kalau tidak? Sabar, sabar, Mahmunah. Batin kecilnya berbicara menenangkan.
“Nah, ini yang kubutuhkan!” Pemuda itu telah mengumpulkan dua lembar daun sirih.
“Senang menyirih juga ya, Nak?” Mahmunah merapikan daun-daun sirih yang berserakan.
“Bukan, ada perlu saja, Nek!”
“Kok hanya dua lembar?”
Pemuda itu tersenyum. Tanpa banyak berbicara dia merogoh uang sepuluh ribu rupiah dari saku celananya. Dia meletakkan uang itu ke telapak tangan Mahmunah. “Ambil sajalah kalau hanya dua lembar.” Mahmunah diliputi kebingungan. Tapi dia tetap melemparkan senyum yang ramah. Pemuda itu tak menjawab dan langsung bergegas pergi. “Nak, harga daun sirih seikat cuma tiga ribu. Kalau dua lembar…,” Mahmunah menggantung ucapannya. Pemuda itu telah menghilang di balik warung pecel lele.
Aneh-aneh saja. Sekali dapat rezeki, rezekinya nomplok betul. Allah memang mempunyai rencana sendiri untuk orang-orang seperti Mahmunah. Ketika Mahmunah terlara karena jualannya tak banyak yang laku, eh… tiba-tiba ada seorang pemuda yang begitu saja memberinya uang sepuluh ribu. Bagi Mahmunah, dua lembar daun sirih tak bisa dihargakan. Kalaupun bisa, paling seratus-duaratus rupiah.
***
MESKIPUN tak rutin setiap hari, paling tidak dua atau tiga kali dalam seminggu, selalu datang pemuda itu membeli daun sirih Mahmunah. Terkadang beberapa lembar daun sirih yang dia beli, dibayarnya dua puluh hingga lima puluh ribu rupiah. Pemuda yang aneh dan membingungkan.
Terkadang Mahmunah berusaha menolak uang pemberian pemuda itu. Bahkan Mahmunah sekali dua berusaha memberikan uang kembalian daun sirih yang dibeli pemuda itu. Alih-alih menerima uang kembalian dari tangan Mahmunah, pemuda itu malahan memberikan tambahan beberapa ribu rupiah lagi. “Ini rezeki Nenek!” Selalu begitu pemuda itu berucap.
Hingga dibebat oleh kebingungan yang menjadi-jadi, tak urung Mahmunah bertanya kepada pemuda itu pada pertemuan mereka yang kesekian kali.
“Namaku Albert, Nek! Maaf, setelah sekian pekan menjadi pelanggan Nenek, kita belum saling kenal. Aku dari dusun yang jauh dari sini.”
“Ya, tak apa-apa. Panggil saja aku Nek Mahmunah. Atau Nek Sirih.” Sesaat bisu. Hanya langkah orang yang lalu-lalang, meningkahi suasana pasar yang berkepul debu musim kemarau. Pemuda yang menyebutkan namanya Albert itu, asyik memilih daun sirih yang diinginkannya.
“Kerjaku sehari-hari sebagai dukun, eh… maksudku tukang mengobati.” Albert kembali membuka omongan. Sumringahlah wajah Mahmumah. Dia merasa selain beroleh uang, pahala juga ikut kait-mengait. Tebakan Mahmunah, Albert telah mempergunakan daun-daun sirih yang dibelinya untuk mengobati penyakit beberapa pasiennya. Mahmunah yakin itu.
“Nenek tahu sekarang, daun sirih itu akan kau gunakan membantu mengobati orang. Syukurlah! Sekali-sekali tak perlulah kau bayar barang yang kau beli dariku.” Mahmunah mengambil potongan pinang, dan mengulumnya pelan-pelan. “Tapi kenapa tak semua daun sirih yang kau beli? Kenapa harus dipilih-pilih pula?”
Albert berdiri. Dia menepuk-nepukkan dua belah telapak tangannya. Sambil membungkuk, dia menyerahkan uang pembelian daun sirih kepada Mahmunah.
“Aku hanya ingin mencari daun sirih yang bertemu ruas, Nek. Pasienku terkadang minta yang macam-macam. Paling sering sekarang, pasienku memintaku memelet orang. Nah, dengan sirih inilah yang manjur, Nek!”
Uang yang diberikan Albert, tiba-tiba jatuh dari tangan Mahmunah yang terkulai. Mahmunah merasakan tubuhnya lunglai. Sialan si Albert, daun sirih telah digunakannya di jalan yang salah. Mahmunah telah ikut kait-mengait dengan dosa. Dia bakal menjadi ahli neraka seperti yang ditakutkannya selama ini.
Mahmunah buru-buru menggulung dagangannya. Mahmunah buru-buru pulang ke rumahnya. Besok dan besoknya, dia tak lagi muncul di pasar. Berhari, berminggu, berbulan. Bila kau sekali waktu datang ke rumahnya, Mahmunah mungkin tengah sibuk membuat jamu pahit dari brotowali. Dia telah menanam brotowali di sekeliling rumahnya, menggantikan tanaman sirih yang sudah dibabatnya berbilang bulan lalu. Setidak-tidaknya brotowali tak dijadikan orang untuk mencelakakan orang lain. Begitu pikirnya. (*)
.
.
Rifan Nazhif menulis cerpen, puisi, esai, dan artikel di beberapa koran lokal maupun nasional. Tinggal di Palembang.
.
.
emakimut
Wah, selamat mas Rifan. Cerpennya dimuat lagi.
Bagus dan penuh hikmah, keteguhan nek Sirih patut diacungin jempol.
Nikmatus S.