Cerpen M. Shoim Anwar (Jawa Pos, 17 Juni 2012)
.
.
SELAT Malaka mengirimkan ombaknya yang renyah di Tanjung Dawai. Pasir terasa keropos ketika ombak menggerusnya di telapak kaki. Di sini kutemukan tiga dunia: laut menghampar, langit membentang, dan daratan menyatu dalam lengkungan waktu. Sebuah wilayah perbatasan, seperti antara hidup dan mati, di mana keinginan dan kenyataan menjadi romantisme yang kadang menakutkan. Perjalanan panjang kutempuh seperti nenek moyang menjalani hidup sebelum alam menimbunnya.
Halidah semoga telah berada di Lembah Bujang di sebelah utara sana. Jarak masih membentang panjang. Aku harus melewati wilayah-wilayah Kampung Nelayan, Huma, Sungai Pial, Kechik, Merbok, lalu belok ke timur melalui Kampung Paya dan Singkir Darat. Lembah Bujang masih jauh dari jangkauan. Jalanan nyerong ke selatan melalui Kampung Badong, Tanah Merah, belok ke timur lagi melalui Kampung Simpang Tiga Pasir dan Belau. Udara akan terasa bertambah dingin karena rimbunan dan pohon-pohon besar betambah banyak. Semakin ke utara semakin menanjak menuju Bukit Batu Pahat sebelum akhirnya sampai di Lembah Bujang. Tapi aku belum sampai di sana.
Dulu, sebelum situasi menjadi demikian ramai, aku masih sangat mudah untuk bertemu Halidah sebagaimana ternak-ternak kami yang bebas keluar-masuk perbatasan. Tempat tinggal kami dulu sama-sama di dekat perbatasan. Deretan pohon-pohon kelapa dan asam yang tua seperti menjadi saksi bahwa wilayah ini dulunya di bawah satu kuasa. Darah kami masih serumpun. Wajah-wajah kami, bahasa, kebiasaan, dan keyakinan pun masih menunjukkan hal itu. Konflik-konflik berbau separatis di wilayah selatan negeri Halidah ikut kami rasakan seperti nasib kami sendiri. Kami selalu bertukar kabar. Penjagaan di wilayah perbatasan makin ketat karena kami dianggap memberi dukungan politis.
Dalam pertemuan budaya yang diberi nama “Angin Timur Laut” di Pahang beberapa tahun lampau, delegasi dari negeri Halidah selalu menyatakan bahwa pernyataannya yang berbau politis adalah off the record, demi keselamatan dan keamanan. Wilayah Narathiwat, tempat Halidah sekarang, terasa makin jauh dipisahkan oleh kawasan Todeng, Paluru, Kawa, Sungai Kolok, dan Pasemat sebagai batas negeri. Sekarang kami tak bebas lagi bertemu. Tembok-tembok dibangun untuk memisahkan kami. Penjagaan menjelang Stasiun Rantau Panjang di negeri sendiri juga ketat. Aku berharap, semoga Halidah telah menyeberangi perbatasan hingga kami dapat bertemu di Lembah Bujang.
Para tentara di perbatasan makin garang. Penduduk di pedesaan sering bersitegang dengan mereka ketika hendak menggiring kembali ternak yang menyeberang. Bagi penduduk urusan ternak adalah perkara remeh temeh sehari-hari, tapi bagi tentara hal tersebut terkait kedaulatan negara. Para penduduk di perbatasan sering dicurigai macam-macam, seperti tuduhan melindungi para separatis hingga sering terjadi penggeledahan, memasukkan barang-barang secara gelap, atau kecemasan munculnya bentrokan antar tentara penjaga perbatasan kedua negara. Penduduk juga tak bisa mengejar mereka yang berbuat jahat yang sengaja berlari melintasi perbatasan.
Perkerabatan tak boleh putus meski bumi telah dikapling atas nama negara. Suatu ketika bapak ingin berkunjung ke Bibi Sitti. Begitu kakinya hendak melangkah masuk, tentara penjaga perbatasan menghadangnya.
“Mengapa kami harus dipisah dengan sanak keluarga?” tanya bapak.
“Tugas kami adalah menjaga keamanan negara,” jawab tentara.
“Bukankah kau anak Tuan Thammarat?”
“Ya.”
“Tetangga Tuan Saowalak?”
“Betul.”
“Sebelah timur Tuan Suprom?”
“Benar, Bapak.”
“Kita pernah bertetangga. Kami saling mengenal.”
“Bapak harus lewat pos dan tunjukkan surat-surat.”
Bapak tak bisa berkunjung ke rumah Bibi Sitti. Negeri tetangga yang telah di depan mata tak bisa menerima kehadiran bapak apa adanya. Keberadaan negara makin lama dirasa makin mempersempit ruang gerak.
Pada kesempatan tertentu sungai-sungai sering menjadi jalan yang baik untuk melintas. Ketika arusnya sedang tenang, beberapa penduduk yang ingin bertemu saudaranya di negeri tetangga menyelam ke dalam sungai dan muncul kembali ketika sudah sampai di negeri tujuan. Tentara penjaga perbatasan akhirnya mengetahui. Seiring dengan sering terjadinya huru-hara dan ledakan bom di negeri utara, beberapa penduduk yang menyeberang perbatasan dengan cara menyelam ada yang ditembaki tentara hingga tewas. Tentara-tentara yang ditugaskan itu tidak lagi dari orang-orang yang punya ikatan dengan kami seperti dulu, tapi didatangkan dari tempat jauh yang tak kami kenal. Tapi kami juga tahu, para tentara bertindak tidak dengan jiwa, namun berdasarkan perintah yang harus dilaksanakan.
Akulah manusia yang paling bersedih. Salah seorang penduduk yang ditembak tentara saat menyelam itu adalah bapakku sendiri. Jasad bapakku terhanyut dan ditemukan terdampar di Lembah Bujang. Di punggungnya ditemukan tiga butir peluru menancap. Persis seperti peluru yang digunakan tentara. Kami mengutuk tindakan itu. Jasad bapakku diusung beramai-ramai dalam kondisi mengenaskan. Sementara burung-burung gagak beterbangan di Lembah Bujang. Sebagian lagi menyambar-nyambar ke arah usungan. Mungkin mereka telah mencium bau jenazah. Kami rela lubang di punggung bapakku dibuka untuk dipertunjukkan pada wartawan sebagai protes kami.
Sekitar tiga bulan keudian ditemukan jasad serupa di Lembah Bujang. Tiga buah butir peluru juga masih menancap di punggung lelaki itu. Kesedihan kami makin meruap. Jasad terakhir yang ditemukan itu adalah orang tua Halidah. Mungkin lelaki itu juga ditembak saat menyelam ke negeri kami. Masya Allah, cobaan apa lagi yang harus kami tanggung. Antara orang tuaku dan orang tua Halidah telah bersahabat lama. Dulu kami juga sering saling berkunjung. Antara orang tua kami sudah terbangun ikatan. Lembah Bujang menjadi persinggahan terakhir bagi mereka bedua. Seperti juga para nenek moyang kami.
Melihat Halidah aku teringat Nur Fauziah. Melihat Nur Fauziah aku teringat Halidah. Dua perempuan yang masih berkerabat itu membuatku tidak mudah untuk memilihnya. Wajah Halidah dan Nur Fauziah memang mirip. Yang membedakan adalah tahi lalat agak besar yang ada di pipi kanan Nur Fauziah. Aku, Halidah, dan Nur Fauziah adalah teman sepermainan. Waktu masih anak-anak kami sering bersama, mencari kupu-kupu di tepi kebun, berlarian di pematang mengejar belalang, hingga bermain lumpur saat hujan tiba. Kami juga mengaji di surau yang sama. Urusan warga negara tidak menjadi persoalan dalam perkara surau karena kami hidup berdekatan dan umumnya masih punya ikatan kerabat.
Perasaan menyukai wanita muncul padaku ketika mengaji di surau mulai dipisahkan antara laki-laki dan perempuan. Waktu itu kami mulai duduk di sekolah lanjutan tingkat pertama. Sejak itu perasaan senang selalu muncul ketika bertemu Halidah dan Nur Fauziah yang selalu bersama. Makin lama makin kuat, bahkan sebelum bertemu dengannya aku sadar harus berpenampilan menarik agar mereka menaruh perhatian padaku. Memakai baju terbaik dan berlama-lama membuat gaya rambut di depan cermin menjadi hal penting. Aku selalu mencari kesempatan agar dapat berpapasan dengan mereka. Perasaan-perasaan aneh, antara senang dan malu, makin sulit kulukiskan.
Nur Fauziah akhirnya pindah ke Yala karena ayahnya bertugas di sana. Ada perasaan kecewa dengan kepindahan Nur Fauziah. Halidah terasa makin sempurna di mataku. Aku makin ingin sering ketemu. Hubungan orang tua kami yang akrab menjadi peluang buatku. Demikianlah hal itu berlangsung dan usia kami makin bertambah. Hingga suatu ketika, saat Halidah punya keinginan melihat Lembah Bujang, aku diminta menemaninya. Orang tua kami tampaknya tidak keberatan. Lembah Bujang menjadi sangat penting karena di tempat itulah aku menyatakan rasa cinta pada Halidah. Dia pun menyambutnya. Jiwaku jadi berdenyar-denyar selalu.
Aku mulai rajin menulis surat untuk Halidah. Ungkapan-ungkapan perasaan terasa lebih bebas kuutarakan padanya. Balasan-balasan Halidah juga terasa menghanyutkan perasaanku. Surat-surat Halidah yang kusimpan di bawah kasur terus kubaca berulang-ulang meski aku sudah hafal isinya. Garis-garis lipatannya menipis dan hampir putus karena terlalu sering dibuka dan dilipat kembali. Surat-surat kami sudah bicara soal angan-angan hidup mendatang, bahkan jumlah anak kelak dan nama-namanya pun ada di dalamnya. Kadang terasa lucu karena kami belum jadi suami-istri. Halidah selalu menulis suratnya dengan bahasa yang sama denganku sebagai bahasa rumpun kami. Lembang Bujang menjadi tempat yang kami tuju ketika ada kesempatan pergi bersama.
Perlakuan pemerintah pusat terhadap penduduk perbatasan makin tidak memuaskan. Pembangunan di segala segi seperti dinomorduakan. Akibatnya, pendukung partai pemerintah di sekitar wilayah perbatasan makin mengecil dan berganti mendukung partai oposisi yang selalu menjanjikan perubahan mesti kami tahu bahwa itu banyak bohongnya. Hidup di perbatasan ternyata sering menimbulkan masalah. Itulah yang dirasakan oleh keluarga Halidah sehinga mereka pindah menjauh dari perbatasan, sekaligus untuk melupakan peristiwa terbunuhnya sang ayah.
“Kita makin jauh,” kata Halidah saat dia hendak diajak pindah.
“Jarak tak kan bisa memisahkan kita,” kataku.
“Sebentar lagi mungkin dibangun tembok pemisah.”
“Dalam jiwa tembok tak pernah ada artinya.”
“Lalu apa arti semuanya?” mata Halidah memandangku, bening berkaca. Ada degup melindap di dada.
“Tak ada yang berubah.”
“Berapa lama kita bisa bersua?”
“Setiap waktulah.”
“Bagaimana mungkin?” tampak kecemasan pada wajah Halidah, kedua alisnya mengerut ke tengah.
“Asal jiwa tetap terjaga.”
“Sungguh jauh Gurun Sahara, tak terukur dipandang mata. Kalau raga jauh terpisah, bagaimana cara bersua?”
“Gurun Sahara jauh di mata, lebih dekat Sungai Pattani. Meski raga jauh terpisah, tetap kucari tambatan hati.”
Sungai Pattani dan Sungai Talubin yang panjang dari negeri utara terus mengalir ke selatan, sebagian anaknya melewati Lembah Bujang, hingga bermuara di Selat Malaka dan Laut Cina Selatan. Nenek moyang kami telah bermigrasi dan menurunkan anak cucunya di lembah-lembah yang subur. Museum arkeologi di Lembah Bujang adalah saksi yang menyimpan berbagai artefak nenek moyang kami. Bagian-bagian tulang tubuh, patung, batu-batu runcing, pecahan tembikar dan guci, serta benda-benda kuno dipajang dalam etalase, seperti memajang kehidupan kami. Penggalian yang cermat terus dilakukan terhadap situs-situs yang diberi tanda petak-petak, materialnya diayak untuk memisahkan dengan tanah biasa. Semua yang ditemukan dicermati, seperti mencermati jejak kehidupan kami sendiri. Begitu berharganya nilai fosil-fosil itu, lebih berharga dibanding kehidupan kami saat ini.
Kami memilih bertemu di Lembah Bujang karena tempat ini memiliki beribu kisah dalam sejarah. Aku seperti Adam yang berkelana mencari Hawa, menaiki bukit dan gunung, merayapi ngarai dan lembah, serta menyeberangi sungai dan rawa-rawa. Kupanggil-panggil namanya, kuseru-seru keberadaannya hingga suara parau tak lagi menggema. Perjalanan dan pencarian yang mahapanjang. Hal yang sama mungkin dilakukan oleh Halidah sebagaimana Hawa. Ke arah utara aku terus melangkah. Dan Halidah pun terus melangkah ke arah selatan. Di Lembah Bujang kami ingin mempersatukan rindu.
Burung-burung gagak bertenggeran di pucuk-pucuk pohon. Mereka berkaok-kaok menyeru koloninya. Di antara mereka mungkin ada yang telah lama memeram rindu sehingga perjumpaan menjadi dambaan. Tak seberapa lama tampak ada yang beterbangan mendekat. Mereka berkaok-kaok makin marak. Di wilayah-wilayah yang ramai burung-burung gagak itu telah kulihat bertengger di tiang-tiang listrik dan atap-atap bangunan. Sebagian ada yang mengais-ngais di tepi saluran air. Sekarang burung-burung hitam itu bergolak di atas pohonan. Mungkin rebutan pasangan. Halidah makin membayang di mata. Akulah burung gagak yang tampak sendiri di pucuk pohon itu, terkucil dari koloni dan berkaok-kaok menyayat hati.
Tempat yang kami janjikan untuk pertemuan dengan Halidah sebentar lagi ada di depan mata. Aku melangkah gontai. Aroma Lembah Bujang makin terasa. Beberapa saat kemudian tedengar tembakan tiga kali, disusul suara burung-burung gagak di jauh sana. Aku menghentikan langkah, menahan nafas sebentar. Rasa cemas menghampiri. Wajah Halidah makin menguat dalam diriku.
Air mengucur deras di Lembah Bujang. Sungai itu melewati bidang datar berbatu. Bening sekali, jelas dan jernih. Lumut-lumut di dasar sungai menampakkan warna seperti batu cadas. Luncurannya sangat kuat dan jatuh ke lembah curah berdinding batu. Di sana terbentuk telaga. Buih menyebar menjauh dari air yang jatuh, terus mengalir mengikuti lekukan sungai ke bawah sana, seperti ular raksasa yang menerobos lembah. Perdu-perdu merimbun. Pohon-pohon besar tumbuh dengan kokoh mencengkeram Lembah Bujang. Di dataran yang telah ditata oleh tangan-tangan manusia, pohon-pohon palem berjajar dan tumbuh membesar seperti pilar-pilar penyangga langit, buah-buahnya matang berwarna merah jatuh menggelasah ke tanah, berbaur dengan guguran bunga dan buah tanjung. Luncuran air sungai terdengar mendesau dalam kesunyian.
“Halidaaah…!!!” aku menyerunya. Suaraku menelasak ke lembah-lembah, sebagian memantul ke dinding-dinding batu dan kudengar kembali seperti suara peri dunia yang gaib. Aku berhenti beberapa saat. Kuarahkan pandangan ke segala arah. Lembah Bujang masih seperti sedia kala. Sementara matahari telah longsor ke akar langit.
Kesenyapan menyelimut, mengambang seperti kabut tipis di puncak-puncak dinding batu. Di lembah itu nenek moyangku menebarkan benih keturunannya. Sementara terdengar suara burung kedasih yang melengking, lalu berganti merintih-rintih. Kutapaki batu-batu di tepian sungai. Dingin dan sepi. Lumut-lumut basah sepanjang sejarah. Pemandangan di kejauhan mulai melemah, kabur bersama halimun. Suara-suara binatang malam mulai terdengar dari perdu-perdu dan rimbunan di tepi aliran air.
Tiba-tiba aku terjingkat. Di tebing sungai dekat perundakan aku melihat ada lelaki tua mirip bapakku bertelanjang dada membopong seorang perempuan. Aku menggosok-gosok sudut mata. Rambut panjang perempuan itu luruh ke bawah dan meneteskan air seperti baru saja diangkat dari dalam sungai. Lelaki tua mirip bapak itu berjalan ke semak-semak di tepi sungai, lalu menghablur dan lenyap. Aku masih sadar. Ini bukan mimpi. Siapa gerangan lelaki tua dan perempuan basah kuyup yang dientas dari dalam sungai itu?
Seekor burung gagak sekonyong-konyong terbang menyambar-nyambar di atas kepalaku. Sambil berkaok-kaok dia bertengger di tebing sungai tempat lelaki tua mirip bapak tadi berdiri. Burung hitam itu seperti mencari-cari sesuatu, pandangannya liat, naluri penciumannya seperti memerintahkan ada sesuatu yang perlu ditemukan. Sekarang pandangannya tertuju ke arah lenyapnya lelaki tua tadi, lehernya digerak-gerakkan seperti mencermati sesuatu yang tengah dilihat. Sambil berkaok melengking gagak itu menerobos semak-semak ke arah lelaki tua membopong perempuan tadi. Lalu lenyap.
Dadaku tersentak-sentak. Suara tembakan, burung gagak, lelaki tua mirip bapak, tubuh perempuan basah kuyup dibopong, semua mengepungku. Tulang-tulangku terasa rontok. Tubuhku meleleh. Lembang Bujang makin meremang dibalut kabut. Semak-semak dan pohonan tampak seperti kumpulan raksasa menyambut malam tiba.
“Halidaaah…!!!” (*)
.
.
Lembah Bujang, 2008-2012
.
.
Leave a Reply