Cerpen Miljenko Jergovic (Suara Merdeka, 05 Agustus 2012)
DI TAMAN kami, ada sebatang apel yang buahnya menerbitkan air liur siapa pun yang melihatnya dari jendela di lantai dua rumah tetangga kami. Tetangga kami, Rade dan Jela, sering pergi membeli apel di pasar untuk kedua anak perempuan mereka. Tapi itu sering tak berarti buat mereka. Selezat apa pun apel-apel yang dibeli tak akan lebih menggiurkan dari yang terlihat dari jendela rumah keluarga itu.
Tiap pagi, begitu Rade dan Jela pergi bekerja, kedua anak mereka akan melompati pagar taman untuk memetik apel yang sudah sangat ranum. Biasanya aku mengusir mereka dengan melemparkan bongkahan lumpur atau batu. Singkatnya, aku mempertahankan propertiku, lantaran alasan prinsip dan bukan karena terganggu atau lebih-lebih karena telah kehilangan apel.
Sebagai balas dendam, gadis yang lebih muda mengadu pada ibuku bahwa nilai matematikaku “F”. Walhasil, secara tak terduga ibuku datang ke sekolah dan membuktikan sendiri kebenaran pengaduan musuhku itu.
Beberapa hari berikutnya, dia menyiksaku dengan persamaan kuadrat. Semua urusan tentang xs dan ys itu bikin hidup serasa tak punya toleransi, jadi aku memutuskan akan membuat perhitungan dengan tetanggaku itu, semampuku, apa pun caranya.
Inilah yang kulakukan: aku menemukan tempat bersembunyi di taman dan sepanjang hari menanti kedatangan para pencuri itu. Akhirnya mereka muncul, seperti perkiraanku. Aku segera melompat dari rerimbunan dan menangkap salah seorang dari mereka dengan menggaet rambutnya dan segera membawanya ke rumah kami. Rencananya aku akan menguncinya di lemari makanan hingga ibuku pulang dari tempat kerja dan memberinya hukuman. Tapi gadis kecil itu melawan mati-matian, berteriak-teriak dan memukul-mukul. Pada akhirnya dia lolos juga, hanya meninggalkan di tanganku sejumput rambut dan sesayat kecil kulit kepalanya. Aku ketakutan, menghambur masuk rumah, dan mengunci pintu.
Sesaat kemudian, aku dengar Rade berteriak-teriak dari jendela rumahnya bahwa dia akan membunuhku. Dia juga melancarkan ancaman berulang-ulang pada ibuku yang membalasnya dengan tak kalah sengit. Seperti yang sudah diperkirakan, mereka melancarkan umpatan-umpatan dari jendela selama tiga atau empat jam. Ibuku menyebut Rade gangster dari Kalinovik. Dia menyebut ibuku wanita jalang yang tak tahu malu.
***
SELAMA 20 tahun berikutnya, mereka tak pernah bertegur sapa, meski aku bilang, dua gadis bersaudara itu tak lagi datang untuk mencuri. Setiap tahun, Agustus dan September datang dan berlalu, dan apel-apel semakin terlihat indah dan menggiurkan, tapi dua keluarga yang tinggal berdampingan tanpa saling berhubungan, bahkan untuk sekadar bersitatap sekilas.
Orang tuaku menua tanpa melupakan umpatan-umpatan keluarga Rade. Saat kedua gadis itu menikah dan pindah tempat tinggal, suasana di antara kami tetap sama.
Beberapa hari setelah perang dimulai, polisi mendatangi flat Rade dan Jela dan menemukan dua senapan berburu dan sebuah senjata otomatis. Tentu saja para tetangga lain jadi panik. Mereka mulai berspekulasi tentang siapa yang sedang diincar Rade untuk dibunuh, dan bagaimana caranya. Selama beberapa tahun dia memang tak keluar dari rumahnya. Selama itu, apakah dia sedang memancing calon korbannya ke dalam sebuah jebakan?
Jela masih selalu ke pasar untuk mengambil ransum bantuan dan air hingga suatu hari sebuah bom meledak 10 yard dari dirinya, dan membuatnya kehilangan sebelah tangan.
Tragedi itu membuat Rade keluar rumah agar bisa berkomunikasi dengan orang lain. Untuk kali pertama sejak bertahun-tahun lamanya, para tetangga melihat sosok Rade secara nyata. Hanya dalam beberapa bulan saja dia tampak menua, dan lebih menyerupai lelaki berusia 100 tahun saat dia berjalan membawa sepanci kecil sup dan tiga lemon kisut.
Dia mengunjungi rumah sakit sekali sehari, dengan mata menatap tanah saat berjalan, seolah-olah takut berjumpa dengan orang lain.
Selama perang pecah di bulan September, pohon apel kami memunculkan buah yang terasa lebih ranum dan lezat dari yang sudah-sudah. Ibuku bahkan berseloroh, pohon apel terakhir yang buahnya paling lezat hanya tumbuh di Taman Eden. Aku memanjat pohon apel, dan dari cabang tertinggi aku bisa melihat posisi pasukan Chetnik di Pegunungan Trebevic. Sambil bergelayutan, aku petik lusinan apel dengan antusiasme serupa Scrooge McDuck yang melempar-lempar uang ke udara dari kubahnya.
Ketika aku sampai ke tempat apel di ranting yang jaraknya hanya setengah yard dari jendela rumah Rade, tak hentihenti aku berusaha mencari keberadaan lelaki itu di dalam kamarnya.
Aku gemetar saat bergelayutan pada cabang pohon ketika mendadak Rade beringsut. Aku tak tahu kenapa tapi saat itu aku tak ingin dia berlalu dari tempatnya.
“Apa kabar, Paman Rade?”
“Hati-hati, Nak, kau terlalu tinggi. Jangan sampai jatuh….”
“Bagaimana kondisi Bibi Jela?”
“Baik, dia sedang berjalan-jalan dengan satu tangannya agar dia tetap merasa masih hidup. Para dokter bilang dia akan segera keluar dari rumah sakit.”
Kami bercakap-cakap dalam situasi seperti itu, hanya selama dua menit tapi kurasakan begitu lama. Dengan satu tangan memeluk cabang, satu tangan lagi mencengkeram tas penuh apel.
Mendadak aku kalut diliputi perasaan mual, dan itu pasti lebih buruk dari tragedi ledakan bom atau penemuan senjata di rumah orang. Dalam keadaan bergelayutan di pucuk pohon apel yang berhadapan dengan jendela rumah Rade, segala yang kuketahui tentang diriku sendiri dan orang-orang sekitar seolah-olah tak lagi berarti.
Rade melanjutkan omongannya, “Kau tahu, Nak, kalau kau kehilangan sebelah tangan, kau akan selalu merasakan kehilangan itu dalam waktu yang lama. Ini persoalan psikologis. Kau akan berusaha menipu diri sendiri dengan berpikir bahwa seolah-olah kau masih memiliki bagian tubuh yang hilang itu. Setiap hari aku memasak sesuatu yang bisa kubawakan untuk istriku, tapi sebenarnya sudah tak ada lagi kehidupan di situ.
Aku selalu melihat ke sup kacang atau sup bening, lalu melihat ke istriku dan berkata, ‘Jela!’ tapi dia tak merespons. Lalu dia bilang, ‘Rade!’ dan aku pun tak merespons. Kau paham, Nak? Kami masih hidup hanya dengan cukup saling bertemu satu sama lain dan hanya untuk menyimpulkan bahwa sebenarnya kami tak lagi punya kehidupan. Begitulah. Kadangkala aku melihat apel-apel itu dan kagum pada kehidupan yang tersimpan di dalam buah-buah itu. Mereka tak peduli pada semua ini. Mereka tak paham. Aku bahkan tak berani menganggap mereka.”
Aku menjulurkan badan ke jendela dan mengangsurkan tas apel. Dia memandangku, agak terkesiap, lalu mulai menggeleng-gelengkan kepalanya. Mendadak tenggorokanku tercekat. Ketercekatan itu semakin hebat manakala aku ingin menggerakkan bibirku. Selama setengah menit aku merasa lumpuh. Andai pasukan Chetnik mencariku, mereka pasti akan sangat kebingungan. Rade terlihat gemetar seperti seorang lelaki yang tak memiliki apa pun. Dia bahkan lalu menggigil bagaikan binatang yang ketakutan dan bersedih.
Pada hari berikutnya, Rade mengetuk pintu kami sambil mengucapkan ratusan kata maaf karena menganggu kami. Dia memberi kami sesuatu yang terbungkus kertas koran dan meninggalkannya dengan tergesa-gesa sehingga aku tak punya kesempatan berbicara padanya. Bingkisan itu berisi setoples kecil selai apel.
Tak lama setelah itu, Jela keluar dari rumah sakit. Suami dan istri itu kembali lagi hidup di dalam rumah dengan jendela tertutup. Rade hanya berani keluar untuk mengambil ransum bantuan. Suatu hari, saat berdiri berjajar dengan ibuku, dia membisikkan kata “Terima kasih” padanya. Ibuku membalikkan tubuh tepat saat mendengar Rade berkata, sekali lagi, bahwa apel-apel kami itu menyimpan kehidupan.
***
BEBERAPA bulan berikutnya, serombongan orang berseragam yang menyandang senjata mendatangi Rade dua kali, membawanya ke suatu tempat dan kemudian mengembalikannya. Para tetangga menyaksikan kedatangan dan kepergian misterius itu dengan menyingsingkan kain gordin, dan kadangkala mengintip lewat lubang kunci.
Mungkin karena merasa bersalah, mereka berusaha mengingat-ingat soal senjata-senjata yang disembunyikan Rade. Setengah lusin gossip kembali beredar bahwa kemungkinan Rade ingin membunuh seseorang. Yang lainnya hanya bergeming, seolah-olah menggunjingkan tetangga mereka akan membuat yang digunjing sakit hati. Dan yang jelas terlihat adalah mereka ingin mengambil sikap membenci Rade, tapi bagaimanapun itu tak mungkin.
Tak seorang pun tahu siapa yang membunuh Rade dan Jela. Mereka menghilang suatu hari, diam-diam dan tanpa penjelasan. Mungkin yang akan kukatakan ini keliru, tapi aku hanya ingat dua hal berkenaan dengan Rade yang malang: selai apelnya dan fakta bahwa tak sekali pun, bahkan di malam kelam, dia berusaha menjulurkan tubuh dari jendela untuk mencuri sebutir apel. (*)
.
Cerpen ini diambil dari kumpulan Sarajevo Marlboro karya Miljenko Jergovic, terbitan Archipelago Press (2004). Miljenko Jergovic lahir di Sarajevo pada 1966. Ia seorang penyair dan wartawan yang menulis untuk koran harian Oslobodjenje. Selain Sarajevo Marlboro, ia telah menulis lain kumpulan cerita serta dua novel: Buick Riviera dan Mama Leone. Karyanya telah diterjemahkan secara luas di seluruh dunia. Cerpen ini diterjemahkan dari bahasa Bosnia ke bahasa Inggris oleh Stela Tomasevic dengan judul “Theft”. Terjemahan ke bahasa Indonesia oleh Saroni Asikin.
.
.
Leave a Reply