Cerpen Desi Puspitasari (Koran Tempo, 26 Agustus 2012)
SILVIE masuk dan meletakkan tas dengan wajah muram. Ia melepas jaket dan melipatnya menjadi semacam buntalan lalu menyoroknya masuk ke dalam almari. Ia mengganti sepatu kets dengan sepatu bertumit lima senti. Matanya melirik ke arah jam dinding. Lima belas menit lagi pukul tiga sore. Ia membetulkan sekali lagi kemeja dan rok spannya. Memeriksa riasan di wajah. Ketika membubuhkan beberapa tepuk bedak di wajah, ia melihat seseorang dari cermin kotak bedak. Ia menoleh. “Mau apa kau?”
Morris kaget lalu pura-pura membenahi tumpukan tas dan jaket. “Tidak.”
“Berhenti mengamat-amatiku!”
Morris tertawa tanpa suara. Ia segera berbalik membelakangi Silvie yang kembali membenahi riasan. Ia ketahuan. Tapi biar saja. Morris menyukai Silvie. SPG yang bertugas di bagian susu bayi. Wajah Silvie yang bulat dan putih dan berkulit halus yang dibubuhi perona cerah tampak begitu cantik. Tubuhnya yang montok—gemuk namun sekal—sering menjadi bahan canda kotor di antara karyawan laki-laki pengadaan barang.
“Jadi, Silvie di bagian mana sekarang?”
“Susu bayi.”
“Kenapa aku jadi membayangkan yang tidak-tidak?”
Mereka serempak terbahak. Di antara riuh pekerja yang sedang makan siang. Morris menoleh. Silvie melihat ke arah meja mereka. Ada sepoles saus tomat di ujung bibir. Seorang teman perempuan mengingatkan. Silvie berpaling dan meraba ujung bibirnya. Merasa diamati, jari Silvie berhenti. Ia kembali menatap ke arah meja Morris dan mendelik galak. Morris segera menundukkan kepala dan berpura-pura kembali turut dalam percakapan.
“Mati saja kau.”
Morris mengangkat bahu. “Aku hanya ingin tahu kenapa kau berwajah seperti itu? Sedang ada masalah?”
“Bukan urusanmu.” Silvie mengeluarkan skarf tipis dan mengalungkannya di leher. Disimpul berbentuk pita pada arah samping.
“Aku hanya berusaha untuk peduli,” kata Morris.
Silvie berhenti. Ia menatap Morris. Lalu memutuskan untuk sedikit bersikap lunak. “Skarfku hilang. Aku tidak bisa menemukannya hari ini.”
“Kau telah mengenakannya,” tunjuk Morris. Ia tetap berada di tempatnya. Tidak berusaha mendekat.
“Bukan yang ini. Yang satu lagi.”
“Apa pentingnya?”
“Skarf itu sudah kuanggap sebagai pengganti papaku. Il est mon père!”
“Ha?”
Silvie kembali menatap jam dinding. “Aku harus pergi.” Ia menutup pintu almari dan berlalu.
Morris bertugas di bagian sayur mayur. Jadi ia tidak memiliki banyak kesempatan untuk mengobrol dengan Silvie. Sambil mendorong kereta labu ia berpikir apakah sebaiknya ia mulai melupakan Silvie. Perempuan itu aneh karena menganggap sehelai skarf adalah ayahnya. Bagaimana penjelasannya?
Morris baru saja memindah kotak kayu berisi tumpukan kentang ketika Silvie melintas di dekatnya. “Hei, Silvie. Kau bilang skarf itu sudah seperti ayahmu?”
Silvie berhenti. “Ya.”
“Bagaimana bisa?”
Silvie tidak menjawab.
“Aku tidak mengerti.”
Silvie berlalu.
Keesokan harinya Morris mendapat jatah kerja pagi. Saat sore Morris tidak segera pulang. Ia sengaja berlama-lama menunggu sambil membaca buku. Kali ini Silvie datang lebih awal. Sepertinya ada perlu. Harus menyelesaikan laporan penjualan, mungkin.
Morris menyapanya.
Silvie berhenti membuka pintu almari. Ia menoleh ke arah Morris.
“Skarfmu sudah ketemu?”
Perempuan itu tidak menjawab. Ia melepas jaket, melipat sekadarnya hingga mirip buntalan, dan menyimpannya ke dalam almari.
“Ayahmu sudah ketemu?” ulang Morris.
Silvie mengamati Morris sambil menimbang. “Kalau aku memberitahumu, apa kau akan berhenti menggangguku?”
Morris merasa gembira. “Tentu saja.”
“Eh, eh, kau tetap saja di sana. Tidak usah mendekat,” cegah Silvie cepat. Ia melirik jam di dinding dan menyesal karena datang terlalu awal.
Morris menurut.
“Ayah dan ibuku bertemu saat pertengahan musim hujan. Saat itu malam pukul sebelas dan hujan turun deras. Ibuku pulang—”
“Kau punya rima yang bagus.”
Silvie menatap tidak mengerti.
“Lanjutkan ceritamu,” kata Morris.
“Ibuku pulang bekerja. Berjalan dari tempat kerja ke rumah kami. Waktu itu hujan terlalu deras. Ia tidak membawa payung dan terpaksa berteduh pada sebuah emper. Datang seorang laki-laki. Berteduh bersama ibuku. Udara semakin dingin. Mantel laki-laki itu telah basah sebagian. Jadi ia, laki-laki asing itu, mengulurkan sehelai skarf dan memberikannya pada ibuku. ‘Kalungkan pada lehermu supaya kau tidak begitu kedinginan.’”
Morris masih mendengarkan.
“Ibuku dan laki-laki itu menjalin cinta. Tapi saat ibuku hamil, laki-laki itu menghilang. Setiap aku bertanya di mana ayahku, ibu selalu menjawab, sambil menunjukkan skarf yang kemudian diberikannya padaku: ‘Aku dan ayahmu bertemu saat musim hujan, dan ia pergi saat musim panas. Ia memberikan kain ini padaku saat kami ketemu. Salah satu peninggalan ayahmu. Selain kamu.’”
Morris mengangguk.
Silvie belum berdandan tapi ia menutup pintu almari. “Aku harus pergi.”
“Silvie!” panggil Morris.
Silvie keluar melalui pintu ruangan dan tidak menoleh. “Berhentilah menggangguku, Morris!”
MORRISmembongkar celengan. Ia menghitung dan mengumpulkannya dengan rapi. Sepulang bekerja ia pergi ke butik pakaian di pusat kota. Saat di kereta, kepalanya penuh dengan bayangan-bayangan indah. Sejenak setelah mengamati harga barang-barang yang dipajang di etalase, Morris pergi ke ATM untuk menarik uang tambahan.
Pelayan butik, meski dengan pandangan tidak percaya dan sedikit meremehkan, menuntunnya ke bagian skarf. Ada berbagai macam motif di sana. Morris tidak berani menyentuh atau mengelus-elusnya. Bukan karena sikap si pelayan, tapi karena saking bagus dan halusnya kain-kain tersebut. Ia membayangkan kain berwarna lembut itu melilit menghiasi leher Silvie. Lalu Silvie berterima kasih. Sikapnya berubah menjadi sedikit lunak. Dan mungkin mencintainya.
Morris tahu, perkara Silvie akan balas mencintainya itu hanyalah angan-angan. Silvie berusia dua puluh lima, sedang ia baru delapan belas. Silvie tinggal di lingkungan yang sama dengan Morris. Daerah kumuh di wilayah selatan Perancis. Ada dua kemungkinan kenapa Silvie mengabaikannya padanya; rentang usia mereka (padahal Morris tidak mempermasalahkannya), dan fakta bahwa Silvie orang Perancis asli sedang Morris berkulit hitam dan keturunan Senegal. Bisa jadi Silvie mengabaikannya karena Morris berdarah ‘kotor’, meski mereka tinggal di lingkungan kumuh yang sama. Jadi Morris merasa mereka sebenarnya tidak ada bedanya.
Pelayan kasir menunggu dengan pandangan tidak mengenakkan. Morris mengeluarkan uang dan menghitungnya teliti. Ia meminta skarf halus itu disimpan di dalam sebuah kotak indah.
Meski akhirnya si pelayan mengucap merci dengan senyum khas terlatih, Morris sudah tidak begitu peduli dan memperhatikan. Ia keluar dengan perasaan riang.
MORRIS mengenakan jaket dengan cepat. Ia melihat ke arah jam di dinding. Pukul sepuluh malam lebih sedikit. Beberapa teman mengajaknya mengobrol, tapi Morris terlalu sibuk. Ia mengambil tas. Tangannya meraba kantung bagian depan untuk memastikan kotak skarf itu aman dan masih ada. Morris berlari keluar sambil berteriak pada teman-temannya, “Sampai ketemu besok!”
“Hei, Silvie!” Morris menyela begitu saja di antara teman-teman perempuan Silvie. “Aku ada urusan dengan Silvie, kalian pergi saja duluan.”
“Tidak! Tunggu!” seru Silvie menahan teman-temannya. Tapi mereka sudah terlanjur menjauh.
“Apa, Morris?” Silvie berhenti enggan dan melipat tangan di depan dada.
“Untukmu.” Morris mengulurkan kotak skarf.
Silvie memandang kotak itu dan Morris bergantian.
“Terimalah.” Morris kembali menyorongkan kotak dengan sedikit memaksa. “Kau bisa membukanya sekarang untuk melihat isinya.”
“Elizabeth?” Silvie membaca tulisan yang tercetak tipis di tutup kotak.
Morris mengangguk.
Silvie menatap skarf merah muda dengan pinggiran merah tua (yang bila dililit di leher juntaiannya akan tampak seperti kelopak mawar) dengan tidak percaya. Morris menunggu dengan perasaan berdebar. Namun Silvie hanya mengamati kain indah yang dilipat di dalam kotak tersebut. Menyentuhnya pun bahkan tidak.
“Cobalah,” kata Morris.
Silvie menutup kotak itu kembali dan menyodorkannya pada Morris. “Tidak, Morris. Aku tidak bisa menerimanya.”
“Tapi itu untukmu.”
“Kau bisa memberikannya pada Yvonne. Atau Marie. Marie sangat cantik. Kudengar ia menyukaimu. Tidakkah kau tahu ia sering—”
“Tapi kau yang kehilangan skarf! Terimalah!”
Kotak itu tertahan di udara. Ujung yang satu dipegang Morris, ujung yang lain dipegang Silvie. Masing-masing berusaha mendorong ke arah lawannya. Silvie memaksa kotak itu kembali, Morris memaksa Silvie mau menerima.
“Baiklah.” Silvie menerima dan menarik kotak itu ke arahnya.
“C’est voila.” Senyum Morris sangat lebar. Ia mengangguk. Lalu berpamitan dan berlari pergi.
SILVIE membuka pintu rumah dengan letih. “Malam.”
Suaminya membalas salam dengan menggumam. Bibirnya terkatup menahan sebatang rokok. Di meja makan sudah tersedia piring dengan sepotong roti di atasnya. Suaminya meletakkan telur dan sosis goreng di sebelah roti.
Silvie menarik rokok, mencium bibir suaminya, dan mengembalikan rokok itu ke tempat semula. “Maaf, kau jadi repot seperti ini.”
“Tidak masalah, Sayang.”
Silvie duduk dan meletakkan tasnya di atas meja.
“Aku akan membuatkan teh,” kata suaminya.
“Tidak usah. Terima kasih.”
Suaminya menggumam. Lalu ia menyimpan wajan kotor ke bak cuci piring. Ia duduk di sebelah Silvie. Sambil mereguk air putih, tangannya menarik keluar sebuah kotak hitam berukuran mungil dari tas yang terbuka ujungnya.
“Obralan di toko.” Silvie merobek roti.
Suaminya mengeluarkan skarf itu dan mengamat-amatinya. Ia teringat sesuatu. “Aku menemukan skarf lamamu. Terselip di sofa. Tertutup tumpukan pakaian kering yang belum diseterika.”
“Kau punya rima yang bagus,” kata Silvie.
“Apa?”
“Tidak. Jadi kau menemukannya?”
“Ya. Tapi kau sudah membeli yang baru.” Jari suaminya menyusuri garis tepi skarf. “Skarf tua dan kumal itu—”
“Dulunya bagus.”
“Seperti ini?”
“Ya.”
“Kau juga membelinya di obralan?”
“Tentu saja. Kau kira aku punya banyak uang untuk membeli sesuatu yang mahal?”
“Ya. Kau benar.” Suaminya mengangguk. “Tapi, kau yakin ini obralan? Bukan pemberian seorang laki-laki? Ya, ya, baiklah. Ini bukan cemburu, Silvie! Aku hanya bertanya!”
Silvie kembali menunduk menatap piring.
“Maafkan aku.” Suaminya tampak menyesal. “Hari ini aku belum juga mendapatkan pekerjaan. Ya—harimu melelahkan?”
“Seperti biasanya.”
“Segeralah beristirahat.”
Silvie mengangguk. Suaminya bangkit dan berjalan ke kamar tidur dengan langkah terseok. Kakinya timpang karena kecelakaan setahun lalu. Silvie menghabiskan makan malam sendiri. Ia teringat belum mengucapkan terima kasih pada Morris. (*)
Desi Puspitasari bermukim di Yogyakarta.
.
.
Leave a Reply