Cerpen Ernita Dietjeria (Koran Tempo, 9 September 2012)
“SEPOTONG frittata membuat papimu jatuh cinta padaku,” bisik Mami di telingaku semenjak aku kecil. Sejak itu pula, setiap membuat frittata, Mami selalu mengajakku ke dapur.
“Perhatikan baik-baik cara Mami membuat frittata,” katanya sambil mendudukkan aku di kursi makan.
Usai mengenakan celemek, Mami akan menyiapkan potongan bawang bombay dan asparagus, jamur, brokoli, tomat, daging asap, dan keju parut serta memecah beberapa butir telur ayam di dalam mangkuk kaca.
“Untuk menghasilkan frittata yang empuk dan lezat, kau harus memakai telur bersuhu ruangan,” sahutnya seraya mengocok kuning dan putih telur hingga menyatu sempurna.
“Jangan memakai putih telur terlalu banyak sebab frittata akan keras dan alot seperti karet,” sambungnya sambil meletakkan sebuah penggorengan datar beroles mentega di atas api kompor.
Meski tak sepenuhnya paham, aku berusaha menyimak setiap gerakan dan perkataan Mami. Terkadang aku jenuh berada di dapur yang panas dan berbau asap. Tapi tekanan suara dan gerak jemari Mami yang lincah memaku pantatku pada kursi dan sepasang mataku padanya.
Mami melakukan semuanya dengan begitu mudah. Semudah ia menangkap partikel oksigen di udara untuk bernapas. Tak secuil pun keraguan aku temukan dalam geraknya. Ia begitu yakin dan percaya diri mengolah frittata kebanggaannya. Aku berani bertaruh, jika sepasang mata Mami dibebat sehelai kain hitam, ia tetap mampu mencipta frittata lezat.
Saat mentega di dalam penggorengan berdesis, Mami memasukkan potongan bawang bombay dan menumisnya hingga layu. Setelah menambahkan potongan sayur, daging asap, dan mengaduknya hingga rata, Mami menuangkan telur dan membumbuinya dengan sejumput garam, merica, dan oregano kering. Begitu masakan setengah matang, ia menaburkan keju parut di atasnya.
“Langkah terakhir adalah memanggang frittata hingga permukaan telur berwarna keemasan, pertanda ia matang sempurna,” katanya sembari memasukkan penggorengan berisi frittata ke dalam oven.
Ketika frittata matang, aroma menggiurkan memenuhi dapur. Pada saat yang sama, Papi akan muncul di dapur. Ia tak pernah lupa mencium bibir Mami dan pipiku yang montok.
“Mana frittata kesukaanku?” Senyumnya selebar kucing Cheshire di kisah Alice in the Wonderland.
Mami tertawa renyah. Wajah bundarnya cemerlang seperti frittata dalam penggorengan. Ia akan memberi potongan frittata terbesar untuk Papi. Lalu kami menyantap hidangan sedap itu bersama-sama sambil berbincang dan bercanda seolah langit di atas kepala kami akan senantiasa biru cemerlang.
DI usiaku yang kedua belas, saat sang bulan mendatangiku pertama kali, buru-buru aku melaporkannya pada Mami.
“Sekarang kau seorang gadis, bukan bocah lagi. Saatnya kau belajar membuat frittata,” kata Mami sambil membelai rambutku.
Sejak itu, aku ikut beraksi di depan kompor, mencipta frittata di atas penggorengan datar. Sejujurnya, jika boleh memilih, aku lebih suka membuat brownies dan tiramisu yang manis. Tapi aku malas berdebat dengan Mami. Lagi pula, setelah kupikir-pikir, tak ada salahnya belajar membuat frittata. Siapa tahu suatu saat nanti aku bisa menjadi seorang ahli frittata dan membuka sebuah restoran frittata di kota kami.
Setelah berkali-kali praktik di dapur, keterampilanku semakin terasah. Suatu hari, saat hasrat bereksperimen tak tertahankan lagi, aku memakai telur bebek untuk membuat frittata.
Sialnya, Mami memergoki ulahku. “Kau tak boleh mengubah apa yang sudah ditetapkan. Pamali!” hardiknya sembari melotot padaku. “Sampai kapan pun frittata dibuat dari telur ayam, bukan telur bebek!”
Diam-diam aku mengamini perkataan Mami. Saat mencicipi frittata itu, hampir saja aku memuntahkan seluruh isi perutku. Frittata telur bebek itu terasa alot seperti daging ayam kampung. Baunya amis seperti ikan lele. Detik itu juga aku berjanji tak akan mengubah resep yang telah ditetapkan oleh Mami.
Selanjutnya, hari-hari kami berjalan tenang. Dapur tetap hangat dan semerbak oleh asap dan aroma frittata. Saat hari ulang tahun Papi yang kelima puluh tiba, dapur menjelma kuning keemasan seperti frittata istimewa bikinan Mami.
Jauh hari, Mami telah merancang sebuah surprise party. Sepulang kantor, Papi dikejutkan oleh nyanyian dan tepuk tangan teman-temannya yang telah berkumpul di rumah kami. Kebahagiaan terpancar di wajahnya. Berkali-kali ia mencium dan memeluk Mami. Kebahagiaan itu menjadi berkali lipat saat Mami muncul dari dapur dengan frittata bertingkat dua bertabur serbuk keemasan. Lilin warna-warni tertancap di atasnya. Tamu-tamu menatap takjub kue ulang tahun luar biasa itu.
Saat Papi bersiap meniup lilin, Mami berbisik, “Ucapkan dalam hatimu nama ia yang kau cintai.”
Sejenak Papi memejamkan mata. Bibirnya bergerak-gerak mengucapkan sesuatu. Aku tak tahu apa yang diucapkannya. Tapi kulihat Mami tersipu-sipu seperti seorang remaja yang tengah kasmaran.
Usai acara tiup lilin, Mami membagikan potongan kue frittata kepada kami. Papi menikmatinya dengan lahap seperti seorang bocah kelaparan. Saat piring Papi kosong, Mami langsung menambahkan lagi potongan frittata dengan sukacita.
“Jika kekasihmu kenyang, ia akan jatuh cinta dan patuh padamu seperti anak kucing,” bisik Mami padaku.
Aku sangat terkesan pada pesta ulang tahun Papi. Aku mulai paham, frittata adalah berkah bagi keluarga kami. Frittata membuat ranjang Mami dan Papi selalu nyaman. Makanan kuning keemasan itu menjaga perapian keluarga kami tetap hangat.
Kekagumanku pada Mami pun bertambah-tambah. Sebab frittata bergizi bikinannya, Papi tetap sehat dan bugar. Wajah lelaki itu berseri-seri. Tiada kerut-merut yang berani mampir di kulitnya. Tak selembar uban pun mengintip dari balik rambutnya yang tebal. Daya ingat dan ide-idenya semakin cemerlang. Tak heran karier Papi di kantor semakin melejit.
Namun suatu hari aku tersentak. Segala kebaikan yang ada pada Papi tidak dialami Mami. Mami semakin layu seperti potongan bawang bombay yang ditumis dengan mentega. Kemana pun melangkah, Mami selalu berselubung asap frittata. Tubuhnya meruapkan aroma bawang bombay dan kuning telur. Mami tampak letih dan kusam. Beberapa kali aku memergoki tangannya gemetar saat mengocok telur dan membumbui frittata.
Tamparan terkeras kurasakan ketika suatu hari Papi menyantap frittata bikinan Mami tanpa senyum. “Keasinan,” gerutunya.
Gila! Sejak kapan frittata Mami kelebihan garam? Aku mengatupkan bibir sambil menduga-duga alasan Papi berkata seperti itu. Aku juga ikut menikmati frittata bikinan Mami, dan demi Tuhan, aku tak merasakan sesuatu yang ganjil. Frittata Mami tetap frittata terenak di muka bumi.
Gerutu Papi hanya awal bagi suatu peristiwa yang lebih buruk. Minggu berikutnya Papi cuma menghabiskan separuh frittata yang ada di piringnya. Dan saat musim hujan tiba, Papi hanya memandangi piring berisi frittata di hadapannya. Ketika frittata itu mendingin, Papi mengangkat gelas, meneguk tuntas air bening di dalamnya, lalu pergi dan tak pernah kembali lagi.
Berhari-hari Mami dan aku hanya termangu di dapur yang berubah sedingin es. Kami terpaksa memakai baju hangat saat menginjakkan kaki di dapur. Aku bahkan sempat terserang batuk dan demam berhari-hari sebab tak kuat menahan hawa dingin yang menggelayut serupa halimun di langit-langit dapur.
Begitu pulih, aku segera mendatangi kantor Papi tanpa setahu Mami.
Papi tak berubah. Tubuhnya gagah. Wajahnya tetap cemerlang. Tak secuil pun kesedihan kutemukan di sana.
“Papi, pulanglah. Mami kangen padamu,” pintaku sambil bersusah payah menahan tangis.
Papi bungkam sembari memberi punggungnya padaku. Tatapannya menembus jendela kaca lebar di ruang kerja.
“Papi cinta Mami, kan?”
Papi membisu.
Aku bertambah gusar. Kutendang kursi di dekatku. “Papi, jujurlah! Apa yang sebenarnya kau ucapkan sebelum meniup lilin ulang tahunmu yang kelima puluh?” jeritku marah.
“Frittata,” jawabnya datar.
Aku tersedak. Tubuhku terhuyung, nyaris jatuh membentur lantai. Buru-buru aku pulang ke rumah dan menemui Mami di dapur berbalut baju hangat kelabu.
“Mi, Papi ternyata tidak mencintaimu. Papi cuma mencintai frittata bikinanmu,” laporku lesu.
Sejenak Mami bungkam serupa patung es. Ia seperti ingin mengucapkan sesuatu, namun hanya getar yang tampak di bibirnya. Sepasang matanya berkaca-kaca. Lantas ia bangkit dan melangkah pelan menuju kamar. Empat hari ia berkurung di sana. Pada hari kelima, ia kembali berada di dapur, mengolah frittata dalam balutan baju hangat biru seolah tak terjadi apa-apa.
“Percayalah,” katanya padaku. “Aroma frittata ini akan membawa Papi kembali pada kita.”
BERTAHUN-TAHUN sudah Papi meninggalkan aku dan Mami untuk hidup bersama seorang perempuan yang konon adalah pembuat frittata terlezat di kota kami.
Dapur kami tetap dingin meski api kompor kerap menyala. Aku telah melewati masa remaja dan Mami bertambah tua dan keriput.
Seperti yang sudah-sudah, aku tetap setia membuat frittata. Namun meski aku mendesak berkali-kali, tak sekali pun Mami mengizinkan aku membuat frittata istimewa seperti yang disantap Papi pada ulang tahun kelima puluhnya.
“Bersabarlah,” pesannya padaku. “Akan tiba saatnya kau membuat frittata istimewa.”
“Kapan saat itu tiba, Mi?”
“Tepat di usiamu yang kedua puluh lima, kala kau telah sempurna menjadi seorang perempuan.”
HARI istimewa itu tiba dan rencanaku telah matang sebelum titik-titik embun meleleh di pucuk dedaunan. Tak ada pesta khusus. Aku hanya ingin berada di dapur seorang diri berbalut baju hangat merah muda.
Suasana terasa istimewa meski dapur tetap beku dan kelabu. Tubuhku terasa ringan seperti juga tangan, kaki, bahkan kepalaku.
Debar halus meletup di dada saat kucampur semua bahan pembuat frittata dan kupanggang dalam oven. Saat frittata menjadi kuning keemasan, aku mengangkatnya dari dalam oven dan meletakkannya di atas meja makan.
Frittata berkedut-kedut. Pori-porinya mengembang dan mengempis, menyemburkan asap tipis yang meliuk dan menari-nari di tengah dapur.
“Kau sungguh sempurna.” Dadaku naik turun menyaksikan frittata begitu hidup dan menggiurkan.
Segulung asap bergerak cepat menerebos jendela dapur. Segulung lagi meliuk pelan, membentuk tirai bergelombang serupa ombak. Aku termangu, entah berapa lama, hingga tirai asap buyar oleh sosok lelaki yang melangkah pelan ke arahku.
Aku terpana. Lelaki itu begitu menawan. Wajahnya sempurna. Tubuhnya tinggi dan tegap. Hangat merayapi lenganku saat kutatap cahaya rembulan di matanya.
“Frittata itu tentu lezat sekali,” ucapnya seraya melangkah mendekati meja.
Aku lekas mengangguk. “Duduklah,” undangku seraya meraih sebilah pisau lantas memotong frittata dan menaruh sepotong di atas piring.
“Cicipilah.” Kusodorkan potongan itu ke hadapannya.
Air liur menetes dari sudut bibirnya. Tanpa mengucapkan apa-apa, ia menyantap hidangan di depannya seperti bocah kelaparan.
Aku tersenyum mendengar decaknya menjelma kidung merdu di telinga yang menggetarkan dada, dinding, dan langit-langit dapur. Kepulan asap beringsut menipis lalu sirna di balik waktu yang seolah mengambang. Satu, dua, tiga butir keringat muncul di keningku. Tawaku lepas saat kubuka baju hangat yang telah menahun membungkus tubuhku. (*)
Iowa City, musim panas 2012
Ernita Dietjeria lahir di Pekanbaru, Riau. Menempuh pendidikan terakhir pada program Pascasarjana Ilmu Politik Universitas Indonesia. Kini tinggal di Iowa City, Amerika Serikat.
.
.
fawaizzah
wow!