Aris Kurniawan

Pencabut Uban

0
(0)

Cerpen Aris Kurniawan (Suara Merdeka, 16 September 2012)

BANYAK sekali jenis pekerjaan di dunia ini. Tapi, orang dengan pekerjaan sebagai pencabut uban mungkin hanya dapat kau temui di desa kami. Dialah Inay, perempuan lajang berusia lima puluhan. Perempuan yang membuat desa kami jadi ikut disebut-sebut dalam perbincangan di warung-warung kopi. Hampir seluruh warga desa kami pernah menikmati ketangkasan jari-jari tangan Inay mencabuti uban warga desa kami. Kepiawaiannya mencabut uban memberi kami hiburan sangat berharga, yang membuat kami mampu melupakan sejenak beban hidup kami sebagai buruh tani yang makin berat saat kekeringan melanda seperti saat sekarang.
Saban hari, sejak pagi sampai menjelang magrib, Inay berkeliling dari rumah ke rumah menawarkan jasanya mencabut uban. Telapak kakinya yang tebal karena tak pernah bersandal dengan tekun menapaki jalanan desa kami yang berdebu kala kemarau dan berlumpur kala hujan. Namun tak akan pernah kau temui kesedihan pada parasnya yang hitam. Bibirnya yang tebal selalu menyunggingkan senyum jenaka. Rambutnya yang selalu dipotong sangat pendek serta badannya yang kukuh, sepintas membuat sosoknya terlihat seperti laki-laki.
Dia berjalan melewati persawahan dan perkuburan desa yang sepi untuk mencapai rumah-rumah kami. Rumah yang hampir tak pernah absen didatanginya adalah rumah Lurah Kurdi. Begitu saja Inay menyelinap melalui pintu gerbang yang memang tidak dikunci. Lalu duduk menggelosoh di teras keramik rumah paling megah di tengah rumah-rumah warga desa kami yang berdinding anyaman bambu. Inay tak perlu mengetuk pintu atau mengucap salam. Si empunya rumah, kadang Bu Lurah, kadang Lurah Kurdi, bahkan anak-anak mereka yang masih muda-muda, akan muncul dan langsung menarik jok plastik berkaki pendek untuk diberikan kepada Inay. Dengan sigap Inay menyambut jok itu untuk didudukinya, sementara empunya rumah langsung duduk menyerahkan kepalanya kepada Inay.
“Akhirnya datang juga kamu, Nay. Sudah gatal sekali kepala ini rasanya. Jangan ke mana-mana kamu, Nay. Seharian kamu cabuti uban saya, satu helai uban seribu perak,” itulah sapaan rutin Lurah Kurdi untuk Inay. Lurah Kurdi selalu menepati ucapannya meski Inay tidak pandai menghitung uang dengan benar.
Itulah sebabnya rumah Lurah Kurdi boleh dibilang pelanggan utama Inay. Meski saban hari Inay datang ke rumah itu, selalu saja ada penghuni rumah yang minta dicabuti ubannya. Malah tak jarang seluruh penghuni rumah berebut ingin lebih dulu dilayani Inay. Seakan-akan uban di kepala mereka tumbuh dengan cepat dalam semalam hanya untuk dicabuti Inay keesokan harinya. Namun, karena tak mungkin Inay mencabuti uban di kepala mereka secara bersamaan, terpaksa mereka harus antre. Siapa yang muncul dan menyodorkan jok lebih dulu, dialah yang mendapat giliran pertama.
Meski diantre, Inay tetap menangani setiap kepala dengan lembut dan telaten yang kadang bikin gemas orang yang mengantre. Sebaliknya bagi yang sedang dicabuti ubannya akan makin merasakan kenikmatan yang luar biasa. Inay memang tidak hanya mencabuti uban, tapi juga helai-helai rambut yang berukuran lebih tebal yang konon biang pembawa gatal di kulit kepala, tapi juga memijat dan menggaruk-garuk kulit kepala yang berketombe. Jari-jarinya yang besar-besar mampu mencabut uban sampai ke akarnya sekalipun panjang uban hanya satu senti.
Di rumah pelanggan satu ini, selain menerima upah lebih besar, Inay kerap dihidangi makanan dengan lauk yang lezat-lezat usai menyelesaikan pekerjaannya. Bagi Lurah Kurdi dan keluarganya upah yang mereka berikan cukup setimpal dengan pekerjaan Inay. Selain mendapatkan kenikmatan dicabuti ubannya, mereka mendapat bonus tambahan berupa gosip-gosip menggelitik yang dicerocoskan Inay saat jari-jari tangannya lincah beraksi mencabuti uban. Seraya terkantuk-kantuk mereka menyimak berbagai gosip yang tuturkan Inay penuh semangat.
“Jadi, Si Kapid diusir istrinya?”
“Duitnya sudah ludas, mana ada perempuan bersuami pengangguran? Mau pulang ke mana lagi sekarang dia,” cerocos Inay.
“Lo si Kapid kan masih punya banyak saudara,” begitulah cara Bu Lurah terus memancing-mancing gosip lebih lanjut, sambil menunggu giliran digarap ubannya.
“Saudara-saudaranya mana ada yang mau menerima dia. Warisan dari Wak Kaji semua dia yang habiskan untuk kawin cerai. Rasain. Pemalas dia itu. Tak bisa cari duit. Rokok saja minta. Tak sudi aku ngasih rokok ke dia. Enak saja.” Inay makin bersemangat. Orang yang dicabuti ubannya kadang sampai tertidur bagai anak kecil dibuai dongeng ibunya.
Lain waktu Inay mencerocoskan Daripah, tetangga sebelah rumahnya, yang dia bilang memelihara monyet siluman untuk pesugihan. “Lihat saja mukanya mirip monyet!”
“Kamu pernah lihat monyet siluman itu, Nay?”
“Semua orang juga tahu. Ingat kematian Mang Kurjan? Itu kan tumbal pesugihannya,” tukas Inay.
Inay pun dengan cepat jadi tersohor ke seantero desa. Mulut para pelanggannya menjadi iklan paling ampuh mengukuhkan dia sebagai pencabut uban jempolan yang kehadirannya selalu dinanti setiap keluarga di desa kami. Bahkan, kini pelanggannya terus meluas sampai ke desa-desa sebelah. Kalau sehari saja Inay absen, orang-orang di desa kami merasa seperti ada yang hilang. Hambar. Berbagai acara gosip di televisi maupun tukang salon keliling tak dapat menggantikan tempat Inay di hati mereka.
Maka, saban hari Inay tak pernah punya waktu berdiam di rumah. Ia terus berkeliling mencabuti uban para pelanggannya seraya menyebar gosip paling asyik di telinga warga desa kami. Hari ke hari dompetnya pun makin menggembung penuh berisi uang.
“Banyak pesanan, Mak,” sergah Inay dengan bangga setiap Emak menasihatinya supaya beristirahat di rumah barang sehari. “Uangmu kan sudah banyak, Nay,” seru Emak. Tapi bukan Inay namanya kalau dapat dicegah. Bagi Inay bekerja mencabuti uban orang-orang bukan hanya untuk mendapatkan upah, tapi lebih dari itu, sebagai cara untuk mencari kesenangan dengan membuat pelanggannya terkantuk-kantuk sambil menyimak gosip-gosip yang entah bagaimana caranya ia dapatkan. Bagi orang yang tahu mengambil hati Inay, yaitu dengan cara menyanjung-nyanjung dirinya, Inay kadang tak menagih upah.

Baca juga  Makam Pohon Mangga

***

KONON, menjadi pencabut uban bermula sejak Inay sembuh dari sakit yang hampir merenggut nyawanya saat ia masih duduk di kelas V SD. Seorang yang masih kerabat dengan Emak yang dikabarkan punya pesugihan hendak menjadikan Inay tumbal. Namun, setelah sembuh dari sakitnya ingatan Inay tak lagi utuh. Ia kerap melamun dan cengengesan sendiri. Tak jarang ia mengamuk tanpa sebab. Lalu jatuh kejang-kejang dengan mulut meneteskan liur yang menjijikkan. Kemampuannya membaca huruf dan menghitung angka-angka lenyap dari tempurung kepalanya. Perkembangan otak dan emosinya mundur 10 tahun ke belakang dan berhenti di sana tanpa bisa ditarik lagi ke depan. Emak sudah habis-habisan membawanya berobat ke orang pintar. Hasilnya tak ada. Orang bilang sebagian rohnya sudah jadi tumbal.
Kebiasaan ngamuk tanpa sebabnya lama-lama memang berkurang, tapi berganti jadi gemar keluyuran ke rumah-rumah tetangga. Meminta uang kepada mereka. Sekali waktu entah siapa mau memberinya uang tapi dengan syarat harus mencabuti uban di kepala orang tersebut.
Inay tinggal bersama Emak dan seorang adiknya telah bersuami di rumah mereka di pinggir persawahan tenggara desa. Rumah tangga adiknya ini kadang pula Inay gosipkan ke mana-mana.
“Adik saya itu pemalas, gak mau kerja, bisanya bikin anak saja,” dia bilang.
“Kan ada suaminya yang cari duit.”
“Alah kerja apaan nebang tebu, upahnya kecil. Anak-anaknya kalau pengin jajan mintanya ke aku.”

***

TIGA hari ini Inay tidak berkeliling ke rumah kami. Kami pun mulai bertanyatanya cemas. Uban di kepala kami seakan tumbuh makin cepat dan gatalnya bukan kepalang. Tak ada lagi gosip-gosip menggelitik yang menghibur kami. Hidup jadi terasa makin berat. Ketika pada hari kelima Inay tak kunjung muncul, beberapa orang di antara kami mulai bergerak mendatangi rumahnya. Tapi kami tak mendapati Inay di rumahnya. Emaknya yang makin terlihat renta bilang, Inay pergi ke kota mencari kerja. Tentu saja kabar ini membuat kami merasa sangat sedih dan terpukul. Seakan harapan satu-satunya kini hilang pula.
“Kenapa tidak kaularang, Emak,” ujar kami menyesalkan kepergian Inay sambil membayangkan kerja apa Inay di kota. Kami pun pulang membawa perasaan hampa, sehampa hasil panen lantaran pertanian kami diserang hama dan kekeringan yang melengkapi kesedihan kami.
Kepergian Inay dari desa kami diikuti peristiwa yang baru kali itu terjadi di desa kami. Warga desa berunjuk rasa di depan balai desa lantas berarak ke rumah Lurah Kurdi lantaran lurah kami itu mengorupsi dana bantuan dari pusat. Kami menuntut Lurah Kurdi dipecat dan dipenjarakan. Sejumlah polisi dan pejabat kabupaten turun ke desa kami dan mengamankan Lurah Kurdi dan keluarganya. Lurah Kurdi akhirnya dibawa dan ditahan di kantor polisi.
Namun, beberapa bulan kemudian, orang-orang desa kami yang pulang dari kota bercerita, Lurah Kurdi membuka salon khusus mencabut uban dengan Inay sebagai pegawainya.
“Pelanggannya orang-orang bermobil bagus,” demikian kabar yang dibawa orang-orang desa kami yang pulang dari kota. (*)
 
 

Baca juga  Kota Ini Memberiku Kesedihan Terbaik

Gondangdia, Agustus 2012

Aris Kurniawan, lahir di Cirebon, 24 Agustus 1976. Menulis cerpen, reportase, esai untuk sejumlah penerbitan. Bukunya yang telah terbit Lagu Cinta untuk Tuhan (Kumpulan cerpen, Logung Pustaka, 2005), Lari dari Persembunyian (Kumpulan Puisi, Komunitas Kampung Djiwa, 2007).

.
.

Loading

Average rating 0 / 5. Vote count: 0

No votes so far! Be the first to rate this post.

Leave a Reply

error: Content is protected !!