Fakhrunnas M.A. Jabbar

Pada Bulan Merah, Akankah Kau Pulang?

0
(0)

Cerpen Fakhrunnas M.A. Jabbar (Jawa Pos, 23 September 2012)

PELANTAR kecil di tepi laut itu kian rapuh dan ringkih. Ombak kecil masih berlarian. Saling mendahului dan berpacu. Teritip bertumbuh di tiap-tiap tiang kayu. Saling berhimpitan. Bak ukiran yang terpahat sendiri. Lengkung-lengkung berwarna hitam dan abu-abu di tiang-tiang itu membentuk mosaik yang begitu elok.
Di sela-sela mosaik itu selalu kulihat kilau kenangan bermunculan. Sekelabat wajah Zaini menyembul dengan senyum terkulum. Lelaki gagah dan berwibawa itu tak mudah lenyap dari pikiran dan perasaanku. Aku tiba-tiba jadi bergairah dan asyik-maksyuk tenggelam ke masa-masa silam itu. Cahaya lampu-lampu kapal di kawasan pelabuhan Sri Bintan Pura bagai mengepung kesunyian.
Memang, aku kian suka bersunyi-sunyi belakangan ini. Meski boleh jadi aku datang bersendirian atau ditemani Zami, anakku satu-satunya—berusia sepuluh tahun—buah pernikahanku dengan almarhum Usman. Seketika kutatap langit terbentang kala senja baru berlalu, warnanya kemerah-merahan. Biasanya,  sebentar lagi bulan merah akan menggelantung di langit tinggi Tanjung Pinang. Sejak dulu, tak kutahu pasti kenapa bulan itu bisa berubah jadi merah saga.
Suasana begitulah pernah kulewati bersama Zaini. Lelaki berkulit agak gelap dengan kumis lebat yang pernah berikrar akan memperistrikan diriku. Aku selalu berbisik bangga pada lelaki itu bahwa dirinya adalah jelmaan wira Melayu, Hang Jebat. Meski kemudian kutahu semangat kelelakiannya begitu jauh dari sosok sang wira.
Sewaktu aku menggesa dirinya membawaku kawin lari, Zaini benar-benar tak berdaya. Ia lebih suka berdiam diri dan pasrah. Tanpa berbuat sesuatu yang meyakinkan diriku. Sebab, dua puluh tahun berlalu, tak ada kabar berita darinya. Bahkan tanah perantauannya yang terakhir tak kutahu pula entah di mana.
“Pada bulan merah, aku pasti pulang!” hanya kalimat itu yang selalu terngiang di gendang telingaku. Kalimat itu juga yang diucapkan Zaini saat meninggalkan tanah Kawal yang merah terakhir kali. Butiran-butiran bauksit  yang memerah ikut bersaksi malam itu. Zaini di usia belia—masa itu—harus meninggalkanku. Ia hendak menimba ilmu di negeri jiran Tanah Semenanjung Malaysia yang letaknya hanya berseberangan pulau saja.
Entah apa yang terjadi. Sejak kepergiannya dan kulepas dari pelantar kecil di tepi Pulau Bintan, Zaini tak pernah berkirim kabar. Meski sepatah kata pun. Ia pergi bak batu yang jatuh di lubuk kelam. Pergi tanpa riak dan tenggelam di kedalaman sunyi. Sebulan-dua berlalu, aku masih berharap masa itu bakal ada kabar kerinduan dari lelaki yang kukasihi itu. Aku hanya menanti sebuah kesia-siaan belaka.
Bahkan sampailah penantian itu berbilang tahun—20 tahun hingga kini—Zaini raib begitu saja bagai kumbang putus tali. Hilang tanpa kendali. Andaikan  pula ia tersesat, mestinya aku tahu di mana rimbanya. Kalau pun ia wafat, aku berharap tahu pula di mana tempat kuberziarah.
Amboi, Zaini begitu melekat di jiwaku. Padahal, selama dua puluh tahun itu, irama hidupku silih berganti. Aku sempat pula menikah dengan Usman atas paksaan ayah dan emak. Bahkan, hubungan pernikahan itu telah membuahkan Zamzami—orang-orang memanggilnya dengan Zami. Perkawinanku dengan Usman ditakdirkan tak berkekalan. Di usia Zami genap lima tahun, Usman mengalami kecelakaan feri. Ia tenggelam bersama puluhan penumpang lain di perairan antara Batam dan Bintan.
Entah sumpah apa yang kuzalimi hingga aku harus kehilangan dua lelaki yang pernah dekat dalam hidupku. Lelaki pertama, Zaini yang hilang begitu saja. Meski bila aku harus berterus-terang, lelaki itulah kekaksih sejatiku yang tak akan pernah kulupa. Lelaki kedua, Usman yang berjodoh denganku setelah paksaan kedua orang tua yang membuatku tak berdaya untuk mengelakkan diri. Meski aku tak pernah mencintainya, keberadaan Usman tetaplah jadi ayah bagi Zami. Aku memperlakukannya sebagai suami yang harus kuhormati dan kujunjung sepenuh hati.
Ah, Zaini. Ya, selalu saja aku ingin bercerita panjang-lebar tentang lelaki tegas tetapi penuh kelembutan itu. Aku selalu menyanding-nyandingk an dirinya bagaikan Raja Ja’far, Yang Dipertuan Muda Riau terakhir yang pernah mempersunting dara molek, Engku Puteri Hamidah pada zamannya. Bayangan-bayangan indah yang kadangkala menjelma dalam mimpi-mimpi panjangku, selalu membuatku rela berdiri di pelantar kecil penuh kenangan itu.
Sungguh, Zaini adalah segalanya bagiku. Masa-masa belia hampir kami habiskan bersama. Mulai saat mengaji di madrasah di bawah asuhan Atuk Amran Sabil yang begitu pengasih dan penyabar. Hingga kami menjalani masa-masa bersekolah di bangku SMA. Inilah masa-masa penuh kenangan yang berjalin dengan kisah cinta kasih tak terlupa. Percintaan kami benar-benar jadi senandung sunyi yang berdenyar sayup-sayup sepanjang waktu hingga kini.
Meski hubungan cinta-kasihku dengan Zaini ditentang oleh ayah dan emak—keduanya sudah almarhum dan almarhumah—tapi kebengalan kami tetap saja tak mengapikkan kemarahan orang tua masing-masing. Kian hari, rasa cinta kami menghunjam di lubuk hati yang terdalam. Sampai-sampai Zaini selalu mendendangkan pantun Melayu yang hingga kini tak akan pernah kulupa:
 
Buah kelemak buah bidara
Sayang selasih diluruhkan
Buanglah emak buang saudara
Bila kekasih hati diturutkan
 
Biasanya bila Zaini sudah berpantun begitu, kami pasti tertawa bersama. Serasa diri kami bagaikan sepasang burung merpati yang sedang diamuk asmara. Sikap keras hati kami pula yang menyebabkan kisah cinta kami jadi buah mulut orang sekampung termasuk di sekolah kami.
Banyak hal yang membuat percintaan kami berkekalan di masa itu. Kami sama-sama menyukai sejarah. Titisan darah Melayu yang mengalir dalam nadi-nadi kami benar-benar menjadikan kami bagaikan Sultan dan Tuan Puteri yang bertahta di singgasana istana. Konon, diriku ini masih berkait-kelindan dan hubungan darah dengan pujangga Raja Ali Haji yang menghasilkan mahakarya Gurindam 12.
Bukan kebetulan pula ziarah cinta kami dihabiskan di tempat-tempat bersejarah. Sering kami mengunjungi Sungai Carang Hulu Riau yang kini hanya menyisakan  beberapa ruas tembok yang miring dan berlumut. Padahal di situ dulunya Istana Sultan Riau berdiri tegap. Di kawasan itu pula  kemegahan Kesultanan Melayu Riau-Johor-Pahang-Lingga (1673-1787) bertahta. Di sekelilingnya kini dipenuhi rerimbunan semak dan hutan bakau yang menyejukkan hati.
Zaini memang seorang anak muda yang pintar. Kepiawaiannya berkata-kata membuat banyak orang kampung yang menaruh harapan padanya. Boleh jadi, bila hidupnya gemilang, kelak ia bisa menjadi petinggi negeri. Semisal jadi bupati atau wali kota di tanah kelahirannya.
Tak terbilang pula kami menghabiskan waktu berkasih-sayang di Pulau Penyengat, pulau air tawar yang dijadikan sebagai mahar atau regalia kerajaan oleh Baginda Sultan Mahmud kala mempersunting Engku Puteri Hamidah yang masyhur itu. Pulau Penyengat pernah menjadi pusat pertahanan di bawah pimpinan Raja Haji Yang Dipertuan Muda Riau IV—kemudian masyhur dengan sebutan Raja Haji Fi Sabilillah gelar Marhum Ketapang. Ada pula masjid Sultan yang berwarna kuning dan dibangun dengan putih telur di situ. Engku Puteri adalah anak kandung Raja Haji.
“Pada bulan merah, aku pasti pulang!” kalimat ringkas Zaini itu selalu berulang-ulang merajut kesunyian diriku. Bila aku sudah larut dalam lamunan yang ditingkahi debur ombak keputihan, tak kusadari aku bisa menghabiskan waktu setengah malam. Angin laut yang dingin tak mempan mengejutkan lamunanku.
“Mak, kenapa Emak suka bersunyi-sunyi di pelantar ini?” ucap Zami membuyarkan lamunanku. Aku tersentak. Amat gugup menatap mata Zami yang penuh ingin tahu.
“Apakah Emak teringat ayah?” selidik Zami dalam bahasa tanpa basa-basi. Aku jadi teringat cara bertutur Zaini.
Aku hanya bisa berdiam diri. Lamban. Tak bermaya. Meski sebenarnya aku hendak berterus-terang kepada Zami bahwa kerinduanku hanya semata pada Zaini, lelaki yang tak pernah dikenalinya.
Aku tak mungkin berterus-terang pada Zami. Apa katanya bila sesungguhnya aku membayangkan seorang lelaki lain yang bukan ayah kandungnya. Tapi aku tak mungkin mengelabui hati dan perasaanku. Cinta-kasihku pada Zaini terpatri begitu dalam. Tak mungkin kulupa barang sekejap pun.
Ihwal Zaini sebenarnya bukannya tak pernah terbesut dari cerita-cerita orang sekampung yang juga merantau di negeri jiran itu. Tapi tak satu pun kisah-kisah itu yang bisa meyakinkan diriku. Seperti pernah dituturkan Wan Suib, sahabat karib Zaini setelah lima tahun kepergiannya. Konon, Zaini yang menyeberang menuju Johor dengan menggunakan pompong yang mengangkut orang-orang Riau Kepulauan—masa itu—sebagai TKI gelap, sempat disergap Polis Laut Diraja Malaysia. Zaini bersama belasan orang yang tak begitu dikenalnya dijebloskan ke lokap. Sudah jamak jadi pembicaraan, barang siapa yang sempat masuk ke lokap itu pastilah mendapat perlakuan tak pantas.
Seperti apa yang dialami beberapa orang sekampung kami. Hasyim, Galib, dan Rajak yang sempat disiksa selama ditahan di negeri jiran. Tahu-tahu waktu pulang terdampar di salah satu pantai Bintan yang tersuruk di ceruk-ceruk bakau. Keadaan ketiganya begitu memprihatinkan. Selain kondisi tubuh mereka yang jeging dan kumal juga senu atau hampir gila dan lupa ingatan. Memang tersebar luas di kampung pada itu, “pendatang haram” di negeri jiran biasanya diperlakukan tak manusiawi. Bahkan sampai-sampai disuntik “anjing gila” .
Kadangkala terbersit pula di relung pikiranku, jangan-jangan Zaini mengalami nasib senestapa itu. Andaikan hal itu betul terjadi, bagaimana boleh lelaki itu masih mempertahankan untai kenangan yang teramat sayang bila dilupa. Tidak! Aku tak hendak kehilangan wira Melayuku. Hatiku berteriak.
Entah sudah berapa musim bulan merah bergelayut di atas langit Penyengat. Aku hanya bisa memandang sang rembulan dari kejauhan. Beranda di sebuah rumah kecil di Kawal. Aku tetap mempertahankan kesendirianku. Selalu berharap Zaini pulang menjemputku. Bahkan, mempersuntingku kembali.
Entah angin apa yang bertiup. Wan Suib, karib Zaini yang dulu menjadi tali-baut hubunganku dengan Zaini, bersama istrinya Zuleha, selepas magrib datang ke rumah. Aku terperanjat karena sudah lama sekali Suib tak bertandang.
“Ihwal apa yang awak bawa, Suib?” sambutku.
“Aku dapat kabar. Tapi boleh jadi ini kabar baik sekaligus kabar buruk,” kata Wan Suib terbata-bata. Bagai menahan beban berat untuk berucap.
“Ihwal Zainikah?” desakku tak sabar.
Wan Suib mengangguk. Tak sabar, aku mencecar dirinya. Tanganku secara tiba-tiba mengguncang tubuh Suib. Aku betul-betul tak peduli pada Zuleha yang mendampinginya.
“Apakah Zaini sudah pulang? Di mana dia sekarang?” tanyaku tak habis-habisnya.
“Dengar dulu, Wan,” sahut Wan Suib yang sejak dulu memanggil namaku Wan Zuraida.
Wan Suib pun bercerita panjang lebar. Dirinya mengabarkan kepulangan Zaini beberapa hari lalu. Tapi kondisi Zaini begitu jauh berbeda. Ia pulang sudah jadi orang gila. Rambutnya kusut-masai. Ia benar-benar lupa ingatan. Tak seorang pun yang dikenalinya lagi. Benarlah kata orang bila sudah masuk lokap di negeri jiran itu, sudah bisa dipastikan tak akan selamat lagi.
Sewaktu aku memaksakan diri bertemu Zaini di rumah orang tuanya yang tak jauh dari Kawal, aku mendapatkan kekasih abadiku memang benar-benar gila. Wajahnya kurus cekung dan matanya menerawang. Hampa. Bahkan di saat aku memeluknya erat, Zaini bergeming. Tak sedikit pun ada tanda-tanda ia masih menyisakan kenangan indah masa silam kami.
Aku hanya bisa meraung. Menangis sejadi-jadinya. Sampai-sampai anakku, Zami, terheran-heran. Tak bisa memahami apa sebenarnya yang terjadi. Tapi aku tak peduli.
“Sudahlah, Wan. Berdoa dan bersabar saja bagi kesembuhan Zaini,” hanya kalimat itu yang bisa diucapkan orang-orang sekampung sekadar bersimpati pada diriku. Benarlah firasat burukku dulu bahwa kepergian Zaini ke negeri jiran hanya menjemput kenestapaan. Konon, kuperoleh cerita yang terpisah-pisah, Zaini tak sempat bersekolah apalagi bekerja karena ditangkap pihak polisi.
Meski hanya beberapa bulan di lokap tapi saat dirinya dilepas, kondisinya sudah jadi senu. Hidupnya luntang-lantung di kawasan kebun sawit di Johor. Bahkan pernah pula ia telantar di terminal bus Kuala Lumpur. Tak ada yang peduli. Hidupnya pun jadi orang usiran tanpa ada yang berbelashati. Tak banyak yang tahu bagaimana nasibnya selama belasan tahun lebih di rantau orang.

Baca juga  Dari Gigi untuk Gigi

***

Hari-hariku masih selalu berharap agar Zaini kembali hidup seperti sediakala. Meski dokter jiwa memperkirakan penyakit gila Zaini sudah sangat kronis. Sulit disembuhkan. Tapi aku tak pernah menyerah. Meski kedengarannya aku seolah-olah ikut jadi gila.
Kucoba membawa Zaini ke pelantar kecil di tepi pantai  yang penuh kenangan itu. Kebetulan bulan merah bertahta persis di atas Pulau Penyengat. Kukisahkan sesukaku pada Zaini bagaimana bulan merah itu selalu jadi saksi percintaan kami. Aku bercerita lepas begitu saja bagai orang gila.
“Zaini, pada bulan merah ini, kau sudah pulang. Masih ingatkah kau ucap janjimu itu?” ucapku tanpa berharap Zaini menyahuti.
Tapi selalu ada  harapan dalam hatiku. Bolamata Zaini tampak menatap lama ke bulan merah itu. Meski tak kutahu apa maknanya. Zaini terbatuk beberapa kali. Ajaib. Kurasakan bolamatanya basah. Air matanya mengalir hangat yang hinggap di jemariku.
“Zaini…!” kupanggil namanya kuat-kuat. Berteriak sesukaku. Meski Zaini tetap bergeming. Terus saja kuber-teriak. Berharap lelaki itu tersadar dan merajut kembali sisa kenangan yang lama berlalu.
“Zainiiiiiiiiiiiiiiiiii!” (*)
 
 

  Tanjungpinang-Pekanbaru, November 2010

 
Catatan:
Pelantar             =  pelabuhan kecil
Teritip                =  siput kecil air laut hidup berkoloni di tiang-tiang pelabuhan
Wira                   =  pahlawan, pejuang
Mengapikkan     =  mengacuhkan
tak bermaya       =  tak bersemangat
lokap                  =  ruang tahanan, penjara
ceruk                  =  sudut, pelosok
jeging                 =  kurus kering
senu                   =  setengah gila
tali-baut             =  mak comblang
bertandang      =  berkunjung
.
.

Loading

6 Comments

  1. Bagus. Hanya saja endingnya datar, menurutku.

  2. ahmad nusirwan

    lumayan.bisa menambah pengetahuan.

  3. Mungkin, kalau kata “Zainiiiiiiiiiiii!” di akhir cerpen ini tidak dicantumkan pun, pembaca masih bisa mengerti makna keseluruhan cerpennya. Oleh karenanya, kata itu terkesan mubazir.

  4. Bung Teguh, Nusyirwan, Edi, Nawraizza, Fiksikumini (?), terimakasih atas komentarnya. Semua aksara yang ada dalam kerangka kalimat dan frasa makin membuatku lebih pintar dan terjauh dari rasa sombong. Ucap kata Imam Ghazali “semakin bertambah ilmuku, makin terasa kekuranganku” selalu jadi suluh bagiku saat menulis di kegelapan….Salam buat semua,

Leave a Reply

error: Content is protected !!