Cerpen Sunlie Thomas Alexander (Jawa Pos, 30 September 2012)
Pada mulanya
CHINA kalah dari Inggris dalam Perang Candu [1], Agustus 1842. Akibatnya, selain harus membayar ganti rugi sebesar 21 juta US dollar dan membuka kembali pintu niaga, Hongkong pun terpaksa dipinjamkan sebagai daerah koloni Britania Raya selama 100 tahun. Dari 1897 hingga 1997.
“Itu semua karena lemahnya Pemerintah Dinasti Qing yang korup!” tukas kakekku dengan nada yang terdengar begitu geram. Serasa penuh sesal.
Ya, perjanjian damai memang telah ditandatangani di Nanjing. Sehinggaorang Inggris dapat tetap berdagang dan berkeliaran dengan bebas di Shanghai, Guangzhou, Xiamen, dan kota-kota pelabuhan besar lain. Namun dendam yang terlanjur menetas, toh terbawa sampai ke Nanyang [2]! Hingga ratusan tahun lamanya. Sampai sekarang….
Karena itu, jangan heran jika di Belinyu, kota kelahiranku di utara Pulau Bangka, bakalan kerap kau dengar ujar-ujar berbunyi “Thai phau ta Lun Tun!” lantang terlontar dari mulut warga Tionghoa. Yang bilamana diterjemahkan secara harafiah berarti: Meriam menembak London!
Oh, jangan salah. Perumpamaan itu tidaklah untuk memaki orang Inggris. Ungkapan itu justru ditujukan kepada sesama orang Tionghoa yang doyan berbual, atau semacam sindiran bagi mereka yang bermulut besar. Sebab sehebat-hebatnya meriam, takkan tembakannya sanggup menjangkau kota London.
Adakah kekalahan dalam Perang Candu yang menyakitkan telah membuat orang-orang Tionghoa suka memperolok-olok diri agar tak mudah takabur dan sesumbar? Entahlah. Yang jelas, kendati kini RRC yang telah menjelma negara adidaya bisa saja meluncurkan rudal nuklir ke ibukota Inggris, tetapi di masa silam tidaklah mungkin bagi China mengalahkan Inggris yang lebih canggih teknologi militernya.
Paling tidak, kisah kapal-kapal perang Inggris membombardir kota-kota pesisir China yang menyebabkan kurang lebih 30 ribu jiwa rakyat jadi korban kadung melekat sebagai aib “Negara Tengah”—yang pernah berjaya laksana cermin pantulan Kekaisaran Langit—dalam memori generasi buyutku. Lantas menjelma sakit hati yang diwariskan kepada generasi kakekku. Ya, meski akhirnya, sebagian dari mereka telah jadi perantau abadi di seberang lautan. Bermil-mil dari tanah leluhur kecintaan!
Umpama terlontar sampai jauh
NAMUN ibarat proyektil meriam yang dilontarkan, begitulah kiranya sebuah umpama lahir dan tersebar luas ke segala penjuru bumi. Dari wilayah kekuasaan Manchuria ke lorong-lorong tambang emas dan sepanjang jalur kereta api di Amerika utara hingga parit-parit timah dan kebun lada di Pulau Bangka. Dari Provinsi Guangdong ke China Town di San Fransisco sampai pasar ikan kota kelahiranku yang kumuh, becek, dan penuh sumpah-serapah.
Ah, saban kali tersebut ia di tengah gunjing para ibu di warung-warung dan tempat arisan. Maupun sembari mengupas bawang di dapur atau kala mencuci di samping sumur. Lengkap sudah dengan bumbu-bumbu dan kerap sumbang ditimpahi oleh derit timba!
“Hei, kau tahu si A Cen sekarang suka celoteh ke orang-orang kalau sebentar lagi dia bakal dapat menantu kaya? Memangnya lelaki dungu mana yang mau melirik anak gadisnya?”
“Anak gadisnya yang mana?” buru-buru bertanya yang lain.
“Alaaa, yang mana lagi? Si Siauw Jan! Yang dulu sekelas dengan anakku A Phing!”
“Yang pipinya kayak bakpao itu? Sudah sinting kali dia! Memang dipikirnya mata orang sudah buta apa? Dasar thai phau ta Lun Tun!”
Demikianlah, betapa bapak-bapak kami pun galib menggunakannya dalam senda gurau di kedai-kedai kopi. Sehingga keraplah pula ia terlontar di tengah panasnya permainan Catur Gajah yang tak jarang memancing emosi.
“Jangan senang dulu kau! Sekarang rajamu sudah kubidik, mau lari ke mana?” garang suara ayahku menggeser bidaknya yang bertuliskan kata “phau” ke sisi kanan sembari memajukan sebuah bidak prajurit ke depan untuk memanggul bidak meriam itu. Kulirik wajah Paman Ho yang memerah dan tampak terbelalak menatap papan permainan. “Hahaha!” ayahku tertawa bergelak, “katanya kau bisa kalahkan aku dalam tiga langkah! Mana buktinya?” lalu tercetuslah oleh beliau perumpamaan penuh sindiran itu, yang membuat wajah Paman Ho nyaris semerah Fung Ciu….
Tentu, anak-anak juga tak mau ketinggalan. Malah ujar-ujar itu sudah begitu akrabnya mereka pergunakan dalam keseharian. Ya, di antara keasyikan bermain, atau sebagaimana yang aku dan kawan-kawan lakukan semasa kecil: ledek-meledek sampai kadangkala perkelahian tak terelakkan!
Tanpa sangsi-bimbang, begitulah kami memunggutnya dari kakek-nenek, dari bapak dan ibu kami. Menerimanya seolah-olah warisan yang kelak akan kami turunkan kepada anak-anak kami. Dan seperti halnya di mulut bapak dan ibu kami, lidah kami pun begitu fasih melontarkannya pada setiap situasi. Terkadang halus menggelitik, seringkali keras menusuk. Seakan-akan ia hendak melengkapi perumpamaan lain yang tak kalah seringnya terucapkan: “Lidah itu setajam mata pedang!”
Demikianlah, Kawan, ujar-ujar itu terpelihara di kota kecilku sepanjang badan, sepanjang zaman. Dari generasi ke generasi. Awet ia berkat gosip dan gunjing, senantiasa dijaga dan dibesarkan oleh olok-olok dan canda. Bahkan terumpat begitu kasar sebagai caci maki dalam pertengkaran sengit antar tetangga. Ai, adakah ingin kau katakan, bahwasanya di kampung halamanmu ujar-ujar dan umpama, pepatah dan peribahasa juga tumbuh alangkah rimbunnya dipupuk oleh adat-kebiasaan?
Pamor si meriam besar
YA, kendati di bawah kekuasaan Britania Raya, Hongkong berkembang jadi pelabuhan peti kemas tersibuk di dunia, toh ujar-ujar yang bermula dari sakit hati kolektif itu tak juga lekang di kota kelahiranku. Seakan hendaknya ia menggenapi hasrat para penguasa Manchu untuk bertahta seribu tahun lamanya di daratan China. Duh, siapa tak kenal Hongkong? Bahkan berkat kebijakan “Satu Negara Dua Sistem” dan perlakuan status Daerah Administrasi Khusus sekembalinya ke pangkuan RRC pada 1997, ‘Bandar Harum’ ini tetaplah menjadi pusat keuangan, perdagangan, pariwisata, pelayaran internasional dan industri film terbesar di Asia.
Namun entahlah, mendengar “thai phau ta Lun Tun” terlontar, terkadang aku merasa pulau kecil itu seolah memikul kutukan nasib sebagai sumber cemooh yang tak berkesudahan: tak oleh bangsa Inggris, tak oleh bangsa-bangsa lain, tak oleh bangsa sendiri! Oh, pulau yang dipinjamkan kepada orang kulit putih sebagai ganti rugi perang…. Simaklah, betapa kini di kalangan remaja perkotaan pun kerap kau dengar celetukan sarat ejekan: “Ganteng dari Hongkong?”
Ah, inikah soalnya? Jika setiapkali nama Hongkong disebutkan—atau tatkala menerima e-mail dari temanku Sindhu yang mengadu peruntungan jadi BMI di sana, alih-alih teringat aktor-aktor laga setenar Jacky Chan atau Chow Yun Fat, justru aku terkenang pada Men Hiung, tetanggaku di Belinyu yang dijuluki Thai Phau Hiung lantaran kegemarannya berbual!
Seorang adik kakekku, Sukkung-ku, juga sering dipanggil Thai Phau Sam dan kerap disindir dengan ujar-ujar “thai phau ta Lun Tun”, terutama jika ia sudah bercerita pengalaman masa remajanya di jaman Jepang yang suka dilebih-lebihkan. Ia, katanya, suatu kali pernah nyaris dibekuk karena bermain mercon pas dua orang kenpetai lewat. Tapi sengit ia melawan.
“Kenpetai kate itu mau menamparku, kutangkis. Yang satu lagi kutendang tangannya waktu mau cabut pistol. Setelah itu aku lari dan ajak mereka main kucing-kucingan di lorong pasar. Aku perdaya mereka!” cuapnya dengan dada membusung dan muka yang tampak memerah oleh pengaruh arak.
Tapi, “Baru dengar suara ujung sepatu Jepang saja, ia sudah sembunyi di kolong ranjang! Bagaimana mau melawan?” bersungut-sungut ayahku berkomentar. Orang-orang hanya tertawa. Dan moncong meriam pun serta merta diarahkan padanya sebagaimana Kapten Charles Elliot mengarahkan meriam dari kapal-kapal perang Inggris ke kota-kota pelabuhan China….
Demikian pula Kim Hon, tetangga kami yang mengoceh kalau dirinya sering mendengar Dewa Kwan Kong di altar rumahnya bersendawa malam-malam. Sampai bersumpah-sumpah tukang ikan itu, tak ada yang percaya ocehannya. Apalagi tiga kali ia sempat ketangkap basah mengurangi timbangan ikan jualannya di lapak pasar.
Hm, sebetulnya masih beberapa orang lagi yang kukenal baik pernah menyandang gelar cemoohan ini. Namun, “tak ada meriam yang lebih besar dentumannya daripada Thai Phau Hiung!” ujar orang-orang geli. Sehingga setiap kata-kata yang meluncur dari mulutnya adalah proyektil meriam yang sanggup menjangkau London. Sesuatu yang mustahil! Hahaha! Begitulah orang-orang bermain amsal dan terbahak. Lalu, menyusullah ungkapan-ungkapan seperti “omong sepuluh dua benar” dan “besar bacot tak ada isi”, sampai peribahasa yang seyogianya nyaris semakna: “Tong kosong nyaring bunyinya!”
Toh, jangan salah. Kalau kebanyakan mereka yang suka berbual atau omong besar biasanya tak disukai dan dijauhi, Thai Phau Hiung tampaknya adalah pengecualian. Ia sebaliknya dianggap selalu memberi hiburan lewat bualan-bualannya yang bombastis—bahkan terkadang fantatis itu.
Saban pagi di kedai-kedai kopi, senantiasa mejanya dikerumuni orang-orang—tua-muda—yang dengan antusias mendengarnya berbual. Bahkan boleh dibilang, sebagian pengunjung kedai kopi memang sengaja datang untuk mendengarkan bualannya. Dengan senang hati mereka bergantian membayarinya kopi. Ai, tak jarang hingga bercangkir-cangkir!
Ya, sebagai meriam besar dengan pamor tak tertandingi di kota kecilku, ia memang seorang yang beruntung. Bukan saja kisah-kisah omong kosongnya digemari banyak orang, tapi juga karena ia punya begitu banyak waktu membual. Istrinya mengelola usaha kerupuk dan semua urusan ditangani oleh para pekerja. Sehingga, kau tahu, nyaris sepanjang waktu kerjanya hanyalah berleha-leha di kedai kopi, Kawan.
“Kalian tahu A Fuk pemilik gudang beras di Pangkalpinang?” biasanya ia akan membuka cerita usai menghirup seteguk kopi. Para pendengarnya serempak mengangguk dan senyum-senyum. Lantas ia pun memasang mimik serius, “Aku beritahu kalian satu rahasia ya? Tapi jangan cerita pada siapa-siapa. Dulu si A Fuk itu miskin, sepeda saja tak punya dia! Akulah yang menyarankan dia usaha beras, kukenalkan dia pada bos besar yang masih kerabat jauh istriku. Kalau bukan aku, takkan kaya raya dia sekarang!”
Atau yang lebih tak masuk akal: “Sebetulnya aku pernah diajak main film di Hongkong. Kenal aku dengan sutradara film-film Bruce Lee. Tapi kalian tahu, meskipun pandai akting, aku ini pemalu. Coba kalau mau, sekarang aku sudah kayak Lo Lieh dan Chin Kuan Thai!” hingga: “Lim Siauw Liong itu masih sepupu jauhku. Kalau ke Jakarta aku pasti mampir ke rumahnya.”
Demikianlah. Makin siang, makin banyak ngopi, makin seru celotehannya. Dan tentu kian ngelantur pula cerita-cerita yang keluar dari mulutnya. Sehingga seluruh kedai kopi dipenuhi oleh gelak tawa.…
Meriam tandingan, meriam sandingan
AH, apabila di kampung Sanak, beragam ujar-ujar dan umpama lahir dari alam, tumbuh sebagai kearifan lokal yang sedikit nakal: mengambil ibarat dari buah-buah dan pepohonan, menyaru tingkah binatang sebagai bangau, pelanduk atau kumbang, pun meraih rupa dan perlambang segala perkakas rumah tangga hingga kapal yang bertolak menuju haluan—dihidupi oleh adat bestari….
Bagi puak kami—yang tak apalah disebut bule sebagai Chinesse Overseas dan tak lekang dipanggil orang Melayu sebagai Singkek!—barangkali telah jadi takdir semata mendapatkan ini ujar-ujar dari tragisnya peristiwa di masa silam. Toh, di Bangka, melebur ia akhirnya dengan bahasa-budaya-tradisi Melayu bersama sekian banyak idiom-kosakata lain dari bahasa tutur kami, Hakka (lazim disebut Khek juga)….
Ya, di kota kelahiranku, di pulau kecil ini, bakalan kau temukan betapa berlimpahnya kosakata kamidiserap berkat intimnya pergaulan. Dari istilah penambangan semisal sakan (talang timah), chiam (bor), tailing (tempat cuci biji timah) sampai kosakata seperti kamkai (tanggung), soi (sial), sauki (keranjang), dan cikok (kantong kertas) yang sehari-hari karib terucap oleh mulut Melayu di rumah, toko, jalan, dan tambang-tambang.
Seakan begitu ringan sepucuk meriam yang dibawa kakek-nenek kami dari tanah moyang itu diterima jadi bagian olok-olok dan penggunjingan. Hm, kendati diam-diam sedikit bergeser makna dan lafadz oleh kesalahpahaman dan kakunya lidah. Tapi tanpa niat memplesetkan, seperti yang sering terjadi dengan kata-kata serapan di mana-mana, begitulah “thai phau” bersalin kiasan di mulut Melayu dari sang pembual menjadi “thaipao”—gelar buat siapa saja yang suka bicara congkak, Kawan.
Karenanya tak perlulah heran, jika di kampung-kampung Melayu sering kau dengar kata itu tercetuskan. Adakah ini perlambang betapa harmonisnya kehidupan antar suku di kampung halamanku tercinta? Ya, sebagaimana karibnya Thai Phau Hiung dan Mang Amran berteman.
Ai, tak berhak aku mengiyakan atau menyangkal. Hanya bisa kukatakan, bahwa keduanya memang cukup sering tampak semeja di kedai kopi A Fui di simpang pasar lama atau di warung kopi-es putar “Kutub Utara” di pertigaan bioskop Gelora yang kini telah menjelma sarang walet: karib dan kompak, meski kadang saling ngotot-ngototan.
“Klop sudah, cocok benar! Satu tukang pamer, satu mulut besar! Kayak sepasang meriam tua peninggalan Belanda di depan tangsi polisi!” tukas orang-orang terkekeh.
Hanya saja, tak seperti Thau Phau Hiung yang serupa Muhammad Ali, dicemooh sekaligus dirindukan—sehingga sehari ia tak tampak di kedai kopi, orang-orang mulai kasak-kusuk kehilangan dan bertanya-tanya ke mana gerangan si mulut besar—Mang Amran sebetulnya kurang disukai sebagaimana halnya Kim Hon. Baik oleh orang Tionghoa maupun Melayu. Bahkan, acapkali ia mendapat kesulitan karena sifatnya yang suka bersombong pada orang-orang itu. Di Kampung Tengah, tempat tinggalnya, hampir ia tak punya seorang teman. Jarang ia diundang ikut tahlilan dan kalaupun nimbrung dalam kegiatan sosial, orang-orang memilih tak berada di dekat-dekatnya. Hanyalah memandang wajah mertuanya Haji Ramlan saja, para tetangga sudi datang jika ia punya hajatan. Tapi apa kata Mang Amran?
“Mereka dengki padaku. Biasalah watak Melayu, tak suka tetangga senang. Coba lihat aku. Punya motor tiga, rumah besar, punya banyak sahang, anakku kuliah di Jawa. Mereka kredit motor saja tak lunas-lunas!” tajam menyinggung perasaan. Padahal semua orang mafhum, jika bukan menikah dengan Nur Azizah, anak Haji Ramlan, takkan ia bisa hidup senang dengan kepandaiannya yang cuma bisa jadi tukang semen.
Pembawaannya yang angkuh itu bahkan terbawa sampai ke urusan ibadah. Sekali ia bersedekah, bisa sebulan diomongkan. Haji Ramlan sang mertua, bukannya tak pernah mengingatkan kalau itu riya’—bisa membatalkan ibadah. Namun Mang Amran hanya bersungut-sungut dan makin menjadi-jadi perangainya.
“Aku ini memang tak terlalu paham soal agama. Tapi setiap malam aku selalu sholat tahajud. Subuh-subuh waktu kalian masih mendengkur, sudah basah badanku oleh wudhu!” ucapnya keras di depan orang-orang. Maka adalah lumrah sebutan ‘thaipao’ pun kian gencar terlontar, di belakang punggung atau terang-terangan di depan muka sekalian. Tentu, dengan desis geram.
“Kalau mau ber-thaipao, ke kedai kopi di pasar sana kau! Cari teman kau si A Hiung itu! Jangan banyak bacot di depanku!” bentak Pak Mahmud suatu hari naik pitam karena Mang Amran membanding-bandingkan anak mereka.
Ya, di kedai-kedai kopilah kemudian ia menemukan tempat, sekaligus kawan untuk bersombong yang sepadan….
Nasib Sepasang Meriam
MERIAM pertama kali digunakan di China sebagai artileri mesiu paling tua yang menggantikan persenjataan seperti mesin serbu. Pertempuran menggunakan senjata ini yang pertama kali terdokumentasi berlangsung pada 28 Januari 1132, ketika Jenderal Dinasti Song, Han Shi Zhong menggunakan Huo Chong—begitulah meriam pada masa itu dinamakan—untuk merebut sebuah kota di Fujian. Diperkirakan ilustrasi meriam pertama dibuat pada 1326. Pada 1341, dalam puisi karya Xian Zhang berjudul Masalah Meriam Besi, tertulis bahwa bola meriam yang ditembakkan dapat “menembus jantung atau perut manusia atau kuda, bahkan dapat menembus lebih dari satu orang sekaligus.”
Toh, sebagaimana kisah Marco Polo mencuri bubuk mesiu, sejarah kemudian mencatat Barat-lah yang mengembangkan teknologi ini lebih jauh pasca Perang Salib lalu melakukan ekspansi-kolonisasi ke berbagai penjuru bumi. Namun masa berganti masa, teknologi militer yang kian canggih terus diciptakan untuk memenuhi nafsu serakah manusia: tank, mortil, rudal…. Meriam pun ditinggalkan teronggok di depan museum, benteng-benteng tua, tangsi polisi dan tentara sebagai artefak sejarah atau pajangan hiasan belaka. Ya, begitulah kiranya nasib senjata berat yang dibanggakan dan ditakuti pada jamannya itu, tak di darat tak di lautan.
Karena itu—setiap pulang ke kota kelahiranku kini—haruskah kuamsal nasib Thai Phau Hiung serupa betul dengan sepasang meriam tua di depan tangsi polisi yang tinggal sepucuk, berdebu dan kian karatan? Sejumlah orang yang aku tanya cuma menggeleng, tak paham benar ke mana perginya pasangan meriam itu. Yang jelas, setelah Mang Amran meninggal karena sakit beberapa tahun silam, kata orang-orang, tinggallah Thai Phau Hiung membual sendirian di kedai kopi. Tak lagi dikerumuni banyak pendengar seperti bertahun-tahun silam.
Ah, kutaksir umurnya sekarang mungkin sekitar 70-an. Kepalanya telah ubanan dan badannya tampak jauh lebih ceking. Namun suaranya masih terdengar cukup lantang. Apalagi jika sesekali membual kalau dirinya masihlah punya pertalian darah dengan Komisaris Komisaris Lim Tse-Hsu, sang pahlawan Perang Candu yang dihormati sepanjang zaman!
“Komisaris Lim itu masih sepupuan dengan buyutku. Ibunya dengan ayah buyutku kakak-beradik. Jadi bukan kebetulan kalau kami semarga. Betul, aku tak bohong!”
“Hei, sudah siang Suk! Itu kopi terakhirmu. Pulanglah,” tegur A Nen, putra sulung A Fui yang sekarang meneruskan usaha kedai kopi ayahnya, agak kesal. Tapi, kau tahu, bukan Thai Phau Hiung namanya kalau tak punya ‘pantat ketan’, lengket di kursi kalau sudah asyik berbual! (*)
Belinyu-Jogjakarta, Juni-September 2012
Catatan kaki:
[1] Perang Candu berlangsung dari 1839-1842 antara China (Dinasti Qing) dan Britania Raya.
[2] Nanyang secara harafiah berarti Negeri-negeri Selatan (sebutan untuk Kepulauan Nusantara).
[3] Dalam filosofi kosmis konfusianisme, China dianggap sebagai pusat dunia. Karena itu, nama resmi negara China, Chung Kuo (ejaan Hokkian: Tiongkok) secara harafiah berarti “Negara/ Kerajaan Tengah (Pusat)”, dan orang China disebut Chung Hwa (Tionghoa).
[4] Atau Ang Ciu (Arak Merah).
[5] Kapten Charles Elliot adalah Kepala Pengawas Perdagangan Inggris di Guangzhou, Guangdong. Ia ditunjuk Kantor Masalah Luar Negeri Britania Raya menggantikan Sir George B. Robinson pada Juni 1836. Pada 29 Agustus 1842 setelah perang sengit selama 3 tahun, ia berhasil memaksa Dinasti Qing menandatangani Perjanjian Nanjing di atas kapal perang HMS Cornwallis.
[6] Lim Tse-Hsu atau Lin Zexu (1785-1851). Setelah diangkat sebagai komisaris tertinggi, ia dikirim ke Guangdong untuk menghentikan impor opium dari para pedagang Inggris. Lebih dari 20.000 peti opium disita dan dimusnahkannya pada 3 Juni 1839. Hal inilah yang melatarbelakangi meletusnya Perang Candu.
[7] Paman (bahasa Hakka).
rian
Baca na bete..
Bingung..!!