Cerpen Eka Maryono (Koran Tempo, 14 Oktober 2012)
Berikan aku cahaya, katanya, sesuatu yang dapat membantuku melihat kebenaran.
SEJAK cahaya menghilang dari desa kami, dia selalu meminta cahaya. Jadi aku kisahkan padanya tentang Blind Snakes, ular yang menyerupai cacing tanah panjang. Mereka hidup di liang bawah tanah, dan tidak dapat menggunakan matanya yang sangat kecil untuk melihat, tapi mereka bisa merasa apa yang ada di sekelilingnya. “Kita harus seperti ular itu,” kataku. Dia membantah. Katanya, “Blind Snakes tidak dapat melihat karena memang buta. Sedang kita punya mata yang dapat melihat. Hanya saja tidak ada cahaya.”
Dulu desa kami selalu bercahaya. Matahari begitu benderang dan bintang-bintang sangat gemerlapan. Belum lagi kerlip kunang-kunang yang bahkan lebih bersinar ketimbang cahaya bulan. Ya, waktu itu desa kami bahkan sangat terang di malam hari. Cahaya ada di mana-mana, sampai ke sudut desa yang paling terpencil sekalipun. Cahaya menjadi bagian yang tidak terpisahkan dari hidup kami.
Aku masih ingat masa kecil dulu. Kami menangkap dan menendang-nendang cahaya, melemparkannya ke udara, bahkan terkadang kami mengapung di dalamnya. Aku sendiri sering membawa cahaya pulang, menuangkannya ke dalam bak mandi, kemudian berendam berjam-jam di sana. Seringkali ibu memergoki kelakuanku. Kalau sudah begitu, ibu pasti menjewer telingaku. “Nanti kamu masuk angin,” hardiknya. Tapi ibu sendiri selalu membedaki wajahnya dengan cahaya tanpa takut angin menyusup ke dalam kulitnya.
Cahaya tak pernah pergi. Kami tumbuh bersama cahaya. Ketika kami remaja dan mulai mengenal cinta, kami menulis surat cinta di atas selembar cahaya. Semburat merah muda membayang ketika kami mengikat cahaya di kaki burung dara, dan ketika terang bulan mulai berpendar, burung dara akan menyampaikan cahaya itu kepada kekasih yang dituju. Cahaya memang sangat memesona, maka kami juga belajar merangkainya menjadi benda-benda indah, kemudian memberikannya sebagai hadiah pada orang yang paling kami sayangi.
Sampai suatu hari, datang orang-orang dari luar desa. Mereka menebangi pohon-pohon di hutan dan menanami ladang-ladang sesukanya. Sejak itu kami tak punya apa-apa kecuali cahaya. Semua telah mereka rampas. Kami bahkan tak bisa sembarangan mengambil biji yang jatuh dari pohon, karena jika melakukan itu, kami bisa dituduh mencuri.
Kami tak mampu melawan mereka. Kami hanya bisa menangis di setiap senja yang sendu tapi mereka membuang air mata kami ke sungai atau meniupnya hingga membumbung ke langit abu-abu. Maka kami memilih diam dan menjahit mulut dengan cahaya, tapi mereka biarkan mulut kami dipenuhi luka. Bahkan ketika kami membakar diri dengan cahaya, mata mereka tetap saja buta, tak mau melihat terang yang ada. Hingga suatu hari, kami mulai membuat tali dari cahaya dan menggantung diri dengannya. Setelah itu cahaya padam selamanya.
Sekarang kegelapan menyelimuti desa. Tidak ada cahaya. Tidak ada terang. Semua padam. Bahkan kunang-kunang ikut menghilang. Untuk pertama kali dalam hidup ini, kami takut pada gelap, melebihi takut pada mati.
“Raksasa memakan cahaya kita… raksasa memakan cahaya kita,” ratap ibu sambil menarik-narik rambutnya, “dia memakan cahaya supaya kita tidak bisa melihat kebenaran.”
Ibu kemudian menangis berjam-jam lamanya, sedangkan bapak yang semakin tua hanya termangu sambil bibirnya mengulum-ngulum rokok yang tidak mau menyala.
“Tidak. Aku rasa cahaya hanya sedang marah,” kata bapak lirih. “Dia marah karena kita pakai untuk bunuh diri.”
Itulah terakhir kali aku melihat mereka. Tidak ada lagi yang bisa dilihat sejak gelap benar-benar menguasai desa. Kami bahkan tidak bisa melihat jari-jari tangan sendiri. Tiba-tiba semua menjadi asing. Kami berjalan tanpa arah demi mencari cahaya sampai akhirnya terpisah. Jalanan dipenuhi jerit tangis anak-anak yang tersasar dan teriakan ibu-ibu yang kehilangan anaknya. Semua orang mencari-cari cahaya. Semua orang tercerai berai dalam gelap.
DIA adalah gadis yang ramping namun tegap berisi. Rambutnya panjang melebihi pinggang dan tebal bagaikan ladang gandum. Pipinya ranum dan selalu merah ketika tersipu, dengan sedikit lesung pipit yang akan bertambah cekung jika tersenyum. Leher jenjangnya terlihat indah jika dia menengadah, warnanya putih susu dan setiap saat memancarkan keharuman yang memaksa setiap lelaki untuk melirik. Laki-laki yang melihatnya akan berdesir dalam hati, “Ah, cantiknya.” Lalu laki-laki itu akan tersenyum padanya dan dia akan membalas senyuman itu hingga membuat laki-laki tersebut gelisah dan terjaga di malam hari. Aku tak pernah berhenti memikirkannya dan baru merasa tenang jika menatapnya dari kejauhan.
Dia jelas sangat berkelas. Itu tampak lewat suaranya yang nyaring dan anggun. Suaranya seperti burung bulbul sedang jatuh cinta yang nyanyiannya dapat menyembuhkan luka. Aku tak mengira bisa bertemu lagi dengannya. Suara dan aroma tubuhnya yang memanggilku. Adalah semacam ironi bila kami bisa sedekat ini. Dulu dia tak pernah membalas surat cinta yang setiap minggu kukirim di kaki burung dara, tapi sekarang dia membutuhkanku untuk menemaninya mencari cahaya. Memang ada kebahagiaan di balik penderitaan, demikian pula sebaliknya.
Tapi sayangnya dia terus meratap minta cahaya secepatnya ada. Rengekannya membuatku gusar. Bagaimana mungkin cahaya dapat cepat ditemukan, sementara untuk berjalan pun kami tertatih-tatih. Tanpa matahari lumut tumbuh di mana-mana, muncul rimbun di ranting pepohonan, melekat pada dahan-dahan, merambat di jalan beraspal dan pinggir selokan, bahkan mekar di telapak kaki kami. Lagipula tak seorang pun ingin terperosok dalam lubang di tengah kegelapan yang pekat ini.
Akhirnya aku jadi ingat ratapan ibu bahwa cahaya dimakan raksasa agar tidak ada lagi kebenaran yang dapat dilihat. Mungkin ibu benar. Maka setelah dongeng Blind Snakes tidak berguna untuk menenangkan hatinya, aku mulai bertutur tentang raksasa.
“Raksasa memakan cahaya kita,” kataku.
“Benarkah?” suaranya bernada sendu.
“Ya, dia memakan kebenaran yang seharusnya dapat kita lihat dengan mata telanjang.”
“Aku butuh cahaya agar kebenaran ada dan mereka memakannya?”
“Tenanglah, kau masih punya nurani. Biarkan raksasa memakan cahaya. Selama nuranimu masih menyala, maka masih ada sisa kebenaran yang bercahaya dalam hidupmu.”
“Aku tidak mengerti….”
Dia mulai menangis dan tak bisa berhenti.
KEGELAPAN lantas menyebar dengan cepat ke desa-desa lain. Kepanikan terjadi di mana-mana. Ribuan orang dievakuasi menuju kota. Namun gelap pun menyambar sampai ke kota-kota. Akhirnya seluruh tempat terseret pusaran malam yang sangat panjang. Jutaan orang terombang-ambing di tengah gelap yang berbisa, seolah mengapung dalam ruang hampa. Tak ada lagi tempat yang bisa dituju. Tak ada tempat yang tak kehilangan cahaya. Negeri kami benar-benar menjadi gelap, dingin dan mencekam. Mungkin seperti ini rasanya terjerembab dalam lubang kubur paling terdalam.
Kini cahaya menjadi sangat berharga di negeri kami, negeri yang kehilangan cahaya, dimana hanya ada kabut kelam sebagai gantinya. Di saat seperti ini orang rela menukar miliknya yang paling berharga demi sepotong cahaya. Hampir setiap hari ada saja suara-suara yang menawarkan cahaya, dan kami berbondong-bondong mengikuti suara itu, sampai suara tersebut mengembus pelan-pelan meninggalkan rasa kecewa. Hingga suatu hari, seseorang benar-benar muncul dengan sepotong cahaya di tangannya.
Hanya sepotong cahaya, tapi segera menjadi magnet yang memanggil-manggil. Suara-suara bermunculan dalam kesenyapan. Kami larut dalam keterpanaan. Di depan kami seolah terhampar laut yang begitu luas dan ombaknya menggulung tubuh kami ke tengah samudera yang dipenuhi rahasia. Darimana dia mendapat cahaya?
Di sepotong cahaya itu bayangan diri kami memantul. Bayangan yang juga memanggil-manggil dan memecah gulungan ombak di tubuh kami menjadi serpihan buih. Selalu pada akhirnya, ada pedih tertahan saat kita kembali ke masa lalu. Ingatan yang berulang-ulang dan memudar pelan-pelan seperti buih ombak yang menghilang.
Berikan aku cahaya, katanya, sesuatu yang dapat membantuku melihat kebenaran.
Keheningan lantas menghilang berganti keriuhan ala pasar malam. Orang-orang berlomba ingin memiliki cahaya. Mereka menawarkan uang, kalung emas, cincin berlian, jam tangan impor, bahkan baju dan celana yang sedang dipakai. Yang lainnya tidak memiliki apa-apa lagi kecuali tubuh mereka sendiri. Maka mereka pun mulai memotong-motongnya.
Ada yang memotong tangannya, kakinya, telinganya, hidungnya, bibirnya, bahkan mencungkil satu biji matanya. “Ambillah mata ini, aku masih punya setengah lagi untuk melihat cahaya darimu,” kata seorang lelaki. Suaranya serak. Mungkin udara lembab telah membuat paru-paru dan kerongkongannya rusak.
Bau amis luruh bersama kucuran darah. Aku terpaku dengan pemandangan ini. Setelah sekian lama hidup dalam gelap, cahaya tidak lagi membawa bahagia tapi ngeri yang ngilu dan miris. Lihatlah, mereka menjadi tidak sabar dan sekejap saja menjadi liar. Mereka berkelahi di atas genangan darah demi memperebutkan cahaya, hingga cahaya yang cuma sepotong itu pun jatuh terbenam dalam kubangan darah.
Padam.
Namun bau darah yang serupa aroma daging segar ternyata lebih menggairahkan ketimbang cahaya. Darah membangkitkan naluri yang sangat purba. Naluri kerakusan yang selama ribuan tahun membuat orang saling membunuh. Sejak itu mereka tidak lagi mencari cahaya tapi memburu sesama manusia. Negeri kami sekarang dikuasai makhluk-makhluk pengisap darah. Makhluk-makhluk yang selalu lapar dan dahaga.
Barangkali hanya aku dan dia yang tetap setia mencari cahaya dengan mengendap-endap dalam sunyi agar selamat dari tikaman taring mereka. Siapa yang dimangsa akan berubah jadi pemangsa. Kami tidak ingin jadi vampir yang mengisap darah sesama.
“Benarkah nurani tidak pernah jahat kepada makhluk hidup?”
“Ya, selama nuranimu masih menyala.”
“Sayangnya… nurani tersembunyi dalam hati, bagian tubuh yang paling gelap. Bagaimana dia bisa bercahaya sedang dia sendiri terbungkus dalam senyap?”
Aku tidak menjawab. Sejujurnya aku hanya ingin menenangkan hatinya dengan kata-kata, selebihnya aku tidak mengerti.
“Aku ingin terang yang menghangatkan, cahaya yang dapat membantuku melihat kebenaran.”
“Kau akan dapatkan semua itu. Bersabarlah. Kebenaran ada dalam hatimu. Kau hanya perlu menunggu.”
Aku mendekapnya, membiarkan panas tubuhku menghangati hatinya. Tubuhku seolah bergetar, seperti ada lingkaran badai yang menyentak-nyentak dalam dada. Lantas dia mengangkat kepalanya dari dekapanku, mengusapi wajahku dengan nafasnya yang selembut beludru. “Aku ingin selamanya bersamamu mengarungi kegelapan ini,” katanya.
Ah, kami cuma sepasang manusia yang muram di antara gelap dan gemeretak ranting-ranting pepohonan. Kemudian dengan penuh gairah dia melumat bibirku. Antara mimpi dan malam, aku merasai taring kami bergesekan hingga memercikkan bunyi seperti suara sendok dan garpu di atas meja makan. Aku seperti mati. Selebihnya sunyi.
Gelap memburaikan nafsu purba yang selama ini kami hindari. Nafsu akan anyir darah. Darah yang mengalir dari leher harum yang berjenjang indah. Siapa yang dimangsa akan jadi pemangsa. Haruskah kami menjadi vampir yang mengisap darah sesama?
Ketika gelap dan hening mencapai puncaknya, gelombang laut pasang di dada melayarkan kami ke negeri teramat jauh. Sejauh itu pula taringnya berlayar dan menancap di urat nadi leherku. Sedikit perih tapi melegakan. Dan tiba-tiba aku merasa sangat lapar dan dahaga.
Di negeri kami, nurani memang sudah mati. (*)
dawam
Cerita yang sangat bagus. Sayang untuk bisa mencernanya kita diharuskan untuk “menelan” sederet kata yang puitis sekali. Agak bingung juga.