Lina Chan

Hari Tua

0
(0)

Cerpen Lina Chan (Republika, 4 November 2012)
USIAKU telah lanjut, 80 tahun kira-kira. Mungkin lebih. Aku tidak ingat betul tepatnya. Yang aku tahu, ketika melihat bayanganku di cermin, baru aku sadari betapa rapuhnya aku! Tubuh peyot, rambut tipis beruban, wajah keriput, kantong mata tebal, dan deretan gigi yang tinggal menyisakan separuhnya karena ompong dan keropos.
Kata orang, aku sudah mulai pikun. Aku sudah mulai ngelantur. Ngomong panjang lebar gak nyambung. Kadang ngomong sendiri, ketawa sendiri, dan katanya, aku sering menjerit-jerit tidak jelas, kemudian menangis sendiri. Tapi, aku tak merasa seperti itu. Seingatku, aku cuma sering bersenandung dan tanpa sadar telah bercucuran air mata.
Aku bukan nenek tua yang pikun. Aku cuma pelupa. Kadang aku lupa membedakan api dan air, kadang aku lupa membedakan nasi dan pasir, kadang aku lupa membedakan pagi dan malam. Sampai-sampai aku lupa namaku sendiri. Mungkin Aisyah, aih bukan! Namaku tak sebagus itu. Mungkin Fatimah… hmm bukan juga. Mungkin Shalihah, mungkin Halimah… bukan, bukan! Aku memang benar-benar pelupa. Aih, biar kunamai diriku sendiri. Ehm, bagaimana kalau Krisdayanti? Nama yang sangat bagus, seperti penyanyi terkenal yang menyanyikan lagu “Menghitung Hari”. Lha kok?! Mengapa hal seperti itu malah aku ingat?
Tapi, biar aku tegaskan sekali lagi, aku tidak pikun! Nyatanya aku bisa bercerita seperti ini. Dan, eh, barusan aku ngomong apa?!

***

Walaupun aku pelupa, aku suka bercerita. Aku bisa bercerita apa saja, mengingat-ingat hal-hal yang menarik yang bisa diingat, khususnya bercerita tentang aku dan untuk diriku sendiri. Seperti hari ini.
Rumahku tampak ramai sekali. Banyak anak kecil di sini. Tetangga sebelah menyebut mereka sebagai “cucu-cucuku yang manis”. Para tetangga senang sekali melihat tingkah anak-anak itu. Aku juga begitu. Mereka anak-anak yang lucu dan menggemaskan. Sayang, aku hanya sesekali ingat, tapi terlalu sering lupa. Saat aku bisa mengingat mereka sebagai cucuku, aku kadang lupa nama mereka dan kapan mereka dilahirkan.
Ah, aku memang pelupa. Yang aku tahu, anak-anak yang mungkin cucuku ini jumlahnya banyak sekali. Mereka berlari ke sana ke mari, bercanda ria, berteriak-teriak, bermain apa saja. Sungguh pemandangan yang sangat memusingkan. Tapi, di sisi lain aku senang mereka di sini. Banyak tawa yang terpancar.
Tapi, ngomong-ngomong, perutku keroncongan. Entah dari semalam atau dari kemarin aku belum makan. Aku lupa. Yang pasti, aku sudah sangat kesakitan. Apalagi, Chiko—salah satu cucuku yang entah nomor berapa—dengan santainya duduk di hadapanku sambil makan nasi goreng. Ah…. Aku ngiler dibuatnya.
Arghhhhh, aku sudah tidak tahan. Zaenab lama sekali mengantarkan makanan kepadaku. Tapi, aku harus sabar menunggunya. Mungkin dia masih sibuk mengurus anak-anaknya, pikirku. Maklum, dia anakku satu-satunya. Dia satu-satunya yang mengurusku, suaminya, dan anak-anaknya yang seabrek.

***

Entah sudah berapa lama aku menunggu Zaenab. Coba aku ingat-ingat, rasanya sudah berjam-jam aku di kursi goyang ini. Sudah beberapa film kartun kesukaan cucu-cucuku yang kutonton. Sudah beberapa tayangan infotainment juga yang kusimak dengan antusias. Selebihnya, aku tak ingat, mungkin aku tertidur. Aku baru terbangun setelah ada bunyi “jreng-jreng-jreng” yang mengentak dari sinetron kesukaanku. Aku ingat, berarti sekarang sudah pukul 07.00 malam. Astaga, aku belum makan.
Zaenab rupanya lupa memberiku makan hari ini. Jika kupikir-pikir, ini bukan kali pertama dia lupa. Dua hari yang lalu, tiga hari yang lalu, dan seminggu yang lalu pun dia begitu. Begitu terus beberapa bulan ini. Apa mungkin Zaenab ketularan virus “lupa” atau “pikun”?
Aku lapar. Aku tidak bisa tinggal diam seperti kemarin-kemarin. Kemarin, aku cuma bisa meringis, menangis pelan, sambil ngomel-ngomel gak jelas, lalu berteriak-teriak. Tapi, jika tangisanku diabaikan, aku hanya bisa diam sambil menerawang, lalu mulai menyanyi lirih.
Sekarang, aku harus paksakan tubuhku untuk mengambil makanan sendiri. Aku tak boleh cengeng dan manja. Dengan berat, aku angkat tubuhku, lalu berjalan tertatih-tatih menyusuri dapur.
Berkali-kali aku nyasar ke kamar mandi, dua kali ke kamar tidur cucu-cucuku, lalu akhirnya setelah tiga kali bolak-balik ruang TV, aku baru bisa menemukan dapur! Jangan ditanya mengapa? Jawabannya sudah pasti karena aku pelupa!
Rasanya penuh perjuangan untuk mendapatkan makanan. Rasa capek yang tak terkira tak kurasakan betul. Yang kupikirkan adalah bagaimana caranya membuat perutku merasa kenyang. Lalu, seperti orang yang kesurupan, aku membabi buta. Kubuka tutup saji di meja makan. Untungnya makanan yang ada masih banyak. Kuambil beberapa potong daging, kumakan dengan lahapnya. Agak lama memang. Maklum, gigiku tinggal bersisa beberapa. Dua buah tahu goreng kulahap juga. Sayur asem yang ada di mangkuk besar pun tak lupa kuminum langsung dari mangkuknya. Aku makan lahap sekali.
Aku belum bisa berhenti makan sampai akhirnya piring yang kupegang terlepas. Prangggggg!!! Piring yang kupegang terjatuh dan pecah. Memecahkan keheningan malam.
Beberapa detik kemudian, terdengar derap langkah menuju dapur. Rupanya, Zaenab terbangun. Tak lama kemudian, dia menemukan aku terduduk di kursi dapur dengan tangan memegangi potongan ayam yang berhasil kuselamatkan. Lalu, dia melihat sekeliling meja makan yang berantakan. Pecahan piring berserakan di mana-mana dan sisa-sisa kotoran makanan berhamburan di meja dan di lantai. Pandangan mata Zaenab beralih padaku. Ia memelototiku. Geram.
“Mak, Mak…. Kapan hidupku tenang, Mak?!!” Zaenab berteriak marah.
Aku hanya bisa diam sambil memegangi perutku yang keras karena kekenyangan. Lalu, aku bersuara pelan, “Emak lapar, belum makan dari pagi.”
“Mak sudah makan tadi pagi! Mak lupa? Kenapa Mak belum merasa kenyang juga, Mak?” Zaenab menggeram kesal. “Tadi pagi Mak sudah makan nasi goreng, siangnya Mak sudah makan nasi dan soto ayam, sorenya Mak juga sudah makan. Sekarang makan lagi? Terus bikin onar di dapur! Duh, Gustiiiiii….” Panjang Zaenab menggerutu.
Aku pura-pura mengerti sambil mengangguk-angguk, persis seperti anak dimarahi ibunya. Aku biarkan dia mengoceh sendiri, sementara pikiranku melayang, bingung, bertanya-tanya dalam hati, kapan aku makan? Sudah banyakkah? Kok masih lapar?
Zaenab yang sudah mulai ‘membaik’ akhirnya berhenti mengomel. Lalu, dia membersihkan ruangan tanpa memedulikanku.
Aih, aku tampaknya harus membantu Zaenab. Dia pasti sudah sangat ngantuk. Aku pun mencoba sebisa mungkin untuk membersihkan kotoran-kotoran yang ada di sekitar meja makan. Tapi, tunggu, perutku sakit sekali. Rasanya melilit. Mulas. Perutku rupanya mulai berkontraksi setelah aku makan banyak tadi. Aku harus segera ke toilet.
Dengan susah payah aku mencapai toilet yang ada di samping dapur. Jaraknya sangat dekat. Aku tidak perlu melewati Zaenab di depanku yang sedang fokus membersihkan dapur, cukup berjalan menyamping, di sudut kanan dapur. Tapi, perasaan mulas, sakit, dan lemas membuatku lama bergerak. Aku paksakan kakiku untuk berjalan secepat mungkin. Secepat yang kubisa untuk ukuran nenek-nenek. Tapi, aku tak kuat. Perutku serasa membuncah. Astagaaaaa… aku benar-benar tidak sanggup lagi. Di tengah jalan, berhamburanlah cairan kotoran-kotoran manusia berumur 80 tahun.
Zaenab pasti akan sangat marah. Dan, secepat yang kubisa, aku paksakan untuk bisa menuju toilet. Aku berharap masih ada waktu untuk bisa membersihkan kotoran-kotoran yang berceceran di lantai sebelum Zaenab melihatnya.
Aku berhasil masuk toilet, membersihkan badanku yang bau oleh kotoranku sendiri. Setelah itu, aku mengambil satu gayung air untuk membersihkan lantai. Aku bergegas. Terseok-seok aku berjalan, hingga akhirnya aku tersungkur. Air berhamburan dari gayung. Secepat kilat aku berdiri, mencoba membersihkan lantai dengan air yang tersisa. Tapi, Zaenab sudah berdiri di hadapanku dengan berkacak pinggang. Matanya menyala sangar. Kali ini tidak ada ampun.
Dia menghampiriku, mencengkeram kuat-kuat tanganku, lalu menarikku dengan paksa menuju kamar. Aku diempaskannya di ranjang. Badanku terguncang, sakit sekali. Aku meringis. Tapi, Zenab tidak mau peduli.
Dia beranjak meninggalkanku sebentar dan tak berapa lama kemudian, sapu lidi yang sudah ada digenggamannya dicambukkan ke badanku sekuat tenaga. Aku bisa melihat kemarahan yang sangat dari Zaenab. Satu kali cambuk aku merasa sakit, dua kali aku meringis, tiga kali aku menangis, empat kali aku menjerit, lima kali aku terdiam, tak ada rasa sakit. Lalu, setelah itu hening yang kurasa. Zaenab sudah selesai dengan kemarahannya dan pergi meninggalkanku.
Seketika, aku ingin menangis. Tapi, tak bisa. Aku cuma bisa merasakan ngilu yang sangat. Aku merasa menjadi manusia yang paling menyedihkan. Apalagi, di umurku yang sudah mencapai 80-an tahun, anakku—yang kuharap mengurusiku dengan baik—selalu membuat hatiku sakit.
Ini bukan pertama kalinya Zaenab memperlakukanku dengan kasar. Sejauh yang kuingat, dia juga pernah mengguyurku secara paksa ketika aku sudah seminggu tidak mau mandi. Dia juga pernah memukul aku dengan tongkat kayu ketika aku tak sengaja menjatuhkan vas bunga kesayangannya. Dia juga tak segan-segan menendangku jika aku benar-benar membuatnya capek. Jika aku kedapatan menangis karena sakit, dia tidak mau ambil pusing. Dia tinggalkan aku sendiri.
Tapi, aku benar-benar tidak bisa menangis sekarang. Entah karena air mataku sudah habis atau karena aku lupa bagaimana caranya menangis. Yang kutahu, suara tangisku tak merdu didengar, jadi percuma saja jika aku menangis, tak akan ada yang peduli. Aku bukan anak kecil, melainkan nenek-nenek. Suara tangisku tak akan semerdu anak-anak. Mungkin jika aku seperti cucu-cucuku, aku akan lebih diperhatikan. Senakal-nakalnya mereka, mereka adalah anak kecil. Wajar saja. Toh anak kecil. Sedangkan aku?
Aku adalah anak kecil yang terperangkap di dalam tubuh manusia yang tua. Pikiranku lebih mirip anak kecil yang tak tahu apa-apa dan cenderung nakal. Aku suka berbuat hal-hal yang tidak diinginkan, seperti memecahkan barang pecah belah, mengotori ruangan, membuat kegaduhan, dan lain-lain. Itu lantaran aku menjadi pelupa dan lambat bergerak. Tapi, mengapa Zaenab tidak pernah bisa mengerti perubahanku selama ini? Aku tidak lagi seperti manusia dewasa “normal” lainnya. Aku lebih lemah dari seorang anak kecil sekalipun.
Jika saja aku seperti 60 tahun yang lalu. Saat aku melahirkan Zaenab, aku masih sangat kuat. Badanku dulu masih sangat segar, tidak keriput seperti sekarang. Ketika itu, Zaenab kecil masih senang memanggil, “Mak, Mak, aku sayang Mak.” Saat itu, aku sangat terharu mendengarnya.
Lalu, ada apa dengan Zaenab dewasa? Mengapa sudah tak terucap kata sayang seperti dulu?
Apakah karena aku selalu membuatnya repot, membuatnya harus membersihkan dapur berulang kali, terpaksa membuatnya membeli perabotan pecah belah berlusin-lusin, meladeni aku ketika aku harus mandi dan makan, dan banyak lagi “kerepotan-kerepotan” lainnya? Tapi, tidakkah itu wajar? Aku juga pernah melakukan hal yang sama untuknya. Aku yang waktu itu mengidap penyakit jantung didiagnosis dokter terlalu lemah untuk hamil, bahkan untuk melahirkan seorang anak. Namun, dengan doa dan keyakinanku, aku berjuang mati-matian untuk melahirkan Zaenab. Dan, keajaiban terjadi, Zaenab kecil lahir dengan selamat.
Zaenab tumbuh menjadi gadis yang manis. Tapi, seperti anak-anak yang lain, dia juga melakukan kenakalan-kenakalan khas anak-anak. Dia pernah mengompol di kasur sampai kelas satu SMP, dia juga pernah buang air besar di celana, mengotori ruang tamu dengan jejak kakinya yang penuh lumpur ketika ia secara tak sengaja terperosok ke jalanan yang penuh lumpur, pernah memecahkan lukisan sekolah, pernah diskors karena sering bolos sekolah, dan kenakalan-kenakalan lainnya. Selama itu, aku tak pernah marah berlebihan kepadanya. Aku menasihatinya dengan perkataan lembut. Dan, suatu saat aku berharap dia akan melakukan hal yang sama kepada orang yang dikasihinya, terutama aku, ibunya yang mengasuhnya dari kecil.

Baca juga  Sarung untuk Bapak

***

“Ibu Maryam, kok melamun?” terdengar suara lembut dari seorang wanita muda di hadapanku. “Ini makanannya dimakan ya…. Ayo, saya suapi.” Wanita muda itu lantas mengambilkan sesendok nasi, siap disuapkan ke mulutku. Aku menurut saja.
Nah, begitu, makannya yang semangat dong…. Tapi, jangan banyak-banyak ya. Ibu kan mengidap diabetes, jadi porsi makannya harus teratur dan jangan kebanyakan. Harus kuat ya, Bu….” Wanita itu berkata lembut sekali. Aku menjadi trenyuh.
Sepanjang hari aku selalu dimanjakan olehnya. Sesekali ia memberikanku makanan ringan, menyetelkan film kesukaanku, dan mengambilkan apa pun yang aku mau. Aku bahagia di sini. Namun, sayang, aku nenek tua yang hidup sendiri, suami sudah tiada, dan wanita di hadapanku itu ternyata bukanlah Zaenab ataupun cucu-cucu kecilku. (*)

Penulis lahir di Kuningan, Jawa Barat, pada 20 Agustus 1987. Ia telah aktif menulis ketika kuliah di jurusan Sastra Indonesia Universitas Padjadjaran, Bandung. Dia senang menulis cerpen sejak kecil. Saat ini, ia bekerja sebagai editor bahasa di harian umum Republika.

Loading

Average rating 0 / 5. Vote count: 0

No votes so far! Be the first to rate this post.

9 Comments

  1. F. Daus AR

    Cerpen yang menarik, meneropong batin seorang tua yang terpisah dari akarnya. Lalu mengajak kita untuk bertanya perilaku manusia urban. Kira-kira begitulah pembacaan saya. Salut kepada penulis yang masih berusia 25 tahun

  2. dawam

    Walaupun belum terlalu tua, apa yang pada cerp[en ini membuat aku “takut” pula menghadapi hari tua yang sesusungguhnya memang sesuatu siklus umur manusia yang tak mungkin terhindarkan. Bisa kah anak cucu kita paham bahwa orangtua seusia ini memang ditakdirkan untuk “bikin repot” anak cucu?!

  3. cerpen yang bagus,. cuman di akhir2 maksudnya tuh gimana ya? serasa gak nyambung atao aku yang blum paham

  4. heri nurwanto

    selamat ya…
    Cerpen yg bagus…dn dalem tntuna.
    Berbagi bkin cerpen dunk..hehe

  5. yopi

    Terima kasih atas tulisannya
    Umak (ibu) saya sekarang mengalami hal yg disampaikan, smoga kami: anak, cucu n cicit2nya bisa merawat n membalas semua kebaikannya selama ini amin…

Leave a Reply

error: Content is protected !!