Syahruddin El-Fikri

Kurban untuk Emak

0
(0)

Cerpen Syahruddin El-Fikri (Republika, 21 Oktober 2012)
Kurban untuk Emak ilustrasi Rendra Purnama
SEHARI menjelang Idul Adha, di sebuah pasar tradisional, seorang perempuan setengah baya datang tergopoh-gopoh. Pakaiannya lusuh. Keringat tampak membasahi bajunya. Bahkan, tas kresek (plastik) berwarna hitam yang dibawanya tampak mengilat karena tetesan keringatnya. Sepertinya, ia datang ke pasar tersebut dengan berjalan kaki.
Ibu ini langsung mendatangi seorang penjual hewan ternak yang bernama Sodikun. Kepada Sodikun, perempuan berusia sekitar 45 tahun ini bermaksud membeli seekor kambing jantan untuk dijadikan hewan kurban. Setelah mencari-cari hewan yang tepat, ia pun menanyakan harga hewan tersebut.
“Maaf, Bang, berapa ya harga kambing warna hitam ini,” katanya sambil menunjuk seekor kambing yang tampak begitu kuat dan gagah.
“Oh, yang itu. Harganya Rp 1,8 juta, Bu,” jawab Sodikun.
“Bisa kurang nggak, Bang? Bagaimana kalau Rp 1,2 juta saja?” tawarnya.
“Waduh, maaf, Bu, belum bisa. Jika memang berminat, saya jual ke Ibu Rp 1,6 juta untuk (kambing) yang ini,” ujar Sodikun.
“Saya bawa uangnya cuma segitu (Rp 1,2 juta), Bang,” lanjutnya lagi dengan harapan si penjual mau melepas kambing jantan itu.
“Belum bisa, Bu. Bagaimana kalau yang putih itu aja. Biarlah saya lepas Rp 1,550 juta untuk Ibu,” kata dia.
“Oh, gitu ya. Tapi, saya cuma punya segitu, Bang,” lanjut ibu tersebut.
“Ya, sudahlah. Buat ibu, saya relakan,” ujar Sodikun. Pikirnya, tidak mengapa hal itu dilakukannya karena modal yang dia beli juga segitu (Rp 1,2 juta) untuk kambing berwarna putih itu.
Setelah harga disepakati, si ibu ini langsung menyerahkan uang yang ia simpan dalam tas plastik hitam itu kepada Sodikun. Sodikun menghitung uangnya dan setelah pas, ia pun menyerahkan kambingnya kepada si ibu tersebut. Tak lupa, Sodikun menanyakan kepada ibu tersebut akan tujuannya. “Maaf, Bu, kambingnya mau dibawa pakai apa dan ke mana?”
Sambil mengelus-elus kambing berwarna putih itu, si ibu terharu. Tampak matanya berkaca-kaca. “Pakai angkot saja, Bang,” katanya.

Baca juga  Sebelum Pesawat Itu Jatuh

***

Sudah dua jam menunggu, tak jua ibu itu meninggalkan tempat Sodikun berjualan kambing. Angkot yang diharapkan bisa membawa kambing yang sudah dibeli itu tak kunjung tiba. Berkali-kali Sodikun memperhatikan ibu tersebut, yang tampaknya sudah sangat lelah menunggu.
Nggak ada angkotnya ya, Bu,” tanya Sodikun memecah kebuntuan.
“Oh, iya, Bang. Kasihan si Hanif menunggu di rumah,” ujarnya.
“Ya, udah Bu, biar saya antar ke rumah, pakai motor saya,” kata Sodikun.
“Terima kasih banyak Bang atas kesediaannya,” tutur si ibu.
Sambil mengeluarkan motor kesayangannya, Sodikun berpesan kepada Syarif, anaknya, agar menggantikannya berjualan kambing.
Akhirnya, berangkatlah Sodikun mengantar si ibu ini yang terpaksa menempatkan kambingnya di antara dirinya dan Sodikun.
Sekitar 25 menit perjalanan, tibalah keduanya di sebuah gubuk tua yang sudah hampir roboh. Atapnya tampak terkoyak di beberapa titik. Gubuk ini juga hanya beralaskan tanah.
Begitu tiba, si ibu langsung membawa kambing itu ke dalam. Di dalam rumah, terdapat seorang perempuan tua renta terbaring lemah di peraduannya ditemani seorang anak laki-laki berusia 10 tahun.
“Emak, liat nih apa yang Yanti bawa buat Emak?” kata perempuan bernama Yanti itu kepada sang emak.
Lamat-lamat, sang Emak membuka matanya. Ia gembira mendapati anak semata wayangnya sudah kembali. “Ini kambing buat kurban Emak besok,” lanjut Yanti.
“Ya Allah, terima kasih banyak atas anugerah-Mu. Akhirnya Komariah bisa bekurban juga. Terimalah kurban hamba, ya Allah,” tuturnya sambil menangis tersedu-sedu. Ia begitu bahagia.
“Yanti, anakku, terima kasih, ya. Kamu udah nyenengin Emak. Emak bahagia sekali. Karena sepanjang hidup Emak, baru kali ini bisa berkurban,” tutur Emak Komariah sambil memeluk hangat anaknya, Yanti, dan cucunya, Hanif. Ketiganya berpelukan mesra.

***

 Mendengar perbincangan itu, Sodikun pun tak kuasa membendung air matanya. Ia turut menangis menyaksikan kebahagiaan rumah tangga itu. Tak kuat lagi, ia langsung menghidupkan mesin motornya.
Entah mengapa, mesinnya tak jua lekas menyala. Buru-buru, Yanti mencegahnya. “Bang, tunggu sebentar. Ini uang ongkos ojeknya,” kata Ibu Yanti kepada Sodikun.
Nggak usah, Bu. Nggak usah, biar buat ibu dan keluarga saja. Saya ikhlas membantu ibu,” ujarnya bergegas pergi setelah motornya kembali menyala.
Di sepanjang jalan menuju ke tempatnya berjualan, tak henti-hentinya Sodikun menyeka air matanya yang terus membasahi wajahnya. Ia menangis terharu. Sebab, bila dilihat dari dirinya, keberadaan Ibu Yanti dan Emak Komariah jauh lebih miskin darinya, tapi mereka mampu menundukkan nafsunya. Menyembelih keserakahan dan keangkuhan untuk meraih ridha Allah. Sementara, dirinya tak bisa berbuat apa-apa, padahal dia lebih mampu. Keikhlasan dan ketulusan Ibu Yanti dan kesederhanaan Emak Komariah seakan menampar wajahnya yang penuh ambisi.
Setiba di tempatnya berjualan, Sodikun bergegas menemui anaknya. Ia juga bergegas membenahi hewan ternaknya. Ia pulang ke rumah, menemui Sumarti, istrinya. Kepada Sumarti, Sodikun meminta istrinya untuk merelakan seekor hewan ternaknya untuk dijual dan dijadikan kurban pada Hari Raya, esok.
Setelah mendapat penjelasan panjang lebar, Sumarti memahami keinginan Sodikun, suaminya. Ia pun merelakannya untuk membunuh hawa nafsu dan meraih ridha Allah.

Baca juga  Lakon Lama

***

 Idul Adha telah tiba. Pagi itu, dengan segenap daya dan upayanya, Emak Komariah memaksakan diri untuk ikut Shalat Idul Adha di Masjid Al-Ikhlas, di dekat rumahnya. Dengan tertatih-tatih, dibimbing Yanti, anaknya, dan Hanif, sang cucu, mereka mendengarkan khotbah yang disampaikan Imamuddin, sang khatib.
Dalam khotbahnya, sang khatib menjelaskan sejarah kurban dan tujuan dari berkurban. “Daging-daging unta dan darahnya itu sekali-kali tidak dapat mencapai (keridhaan) Allah, tetapi ketakwaan dari kamulah yang dapat mencapainya. Demikianlah Allah telah menundukkannya untuk kamu supaya kamu mengagungkan Allah terhadap hidayah-Nya kepada kamu. Dan, berilah kabar gembira kepada orang-orang yang berbuat baik.” (Q.S. Al-Hajj [22]:37).
Seusai melaksanakan Idul Adha, Emak Komariah, Yanti, dan anaknya, Hanif, membawa kambing putih untuk diserahkan kepada panitia kurban di Masjid al-Ikhlas. Kepada panitia, Emak Komariah menyampaikan maksud dan tujuannya untuk berkurban.
Arsyad, sang panitia, tertegun dengan ketulusan dan keikhlasan Emak Komariah untuk berkurban. Ia turut bahagia, kendati dalam hatinya menangis, karena tidak mampu meniru Emak Komariah yang miskin papa tetapi masih mampu untuk berkurban. Setelah menyerahkan hewan kurban itu, Emak Komariah tersenyum bahagia. Ia merasakan beban hidupnya begitu lapang.
Tepat pukul 10 pagi, tibalah giliran kambing putih milik Emak Komariah disembelih sebagai kurban. Dengan tersenyum penuh keikhlasan, Emak Komariah menyaksikan hewan kurbannya disembelih Ustaz Imamuddin. Bersamaan dengan tetesan darah terakhir, Emak tetap tersenyum.

***

Namun, perlahan-lahan tubuh Emak Komariah melemah, selemah napas sang kurban, kambing putih. Emak langsung lunglai dan jatuh ke tanah. Tapi, Emak Komariah tetap tersenyum. Yanti berusaha membangunkannya dengan dibantu warga sekitar. Tapi, Emak tak jua bangun. Hanya, bibir Emak Komariah terus tersenyum. Senyum itu seakan menunjukkan kebahagiaan Emak karena telah mampu mengalahkan keserakahannya. Senyum Emak mampu meruntuhkan tembok-tembok penderitaannya selama ini. Tapi, tak bangun lagi. Emak pergi dengan senyum bahagia.
Inna lillahi wa inna ilaihi rajiun. Ya ayyatuhan nafsul muthmainnah, irji’i ila rabbiki radhiyatam mardhiyyah. Fadkhuli fi ‘ibadi wadkhuli jannati. (Sesungguhnya kita semua adalah milik Allah dan akan kembali kepada Allah. Wahai jiwa yang tenang, kembalilah kepada Tuhan-Mu dengan keridhaan dan diridhai. Masuklah ke dalam golongan hamba-Ku dan masuklah ke dalam surga-Ku). (*)
 
 

Baca juga  Langit Tanpa Warna

 Depok, 11-11-2011

Loading

Average rating 0 / 5. Vote count: 0

No votes so far! Be the first to rate this post.

3 Comments

  1. dawam

    Cerpen yang menjadi “luar biasa lantaran dimuat Republika, koran yang sering jadi “jujukan” kaum Muslim untuk salah satu upaya memperdalam keislamannya. Saya usaha mati-matian untuk “masuk” Republika, namun belum berhasil.Tak ada tulisan saya yang dimuat, walau bila diberi kesempatan, INSYA ALLAH, saya bisa membikin kisah sekelas ini.

  2. nessa

    Sangat menyentuh dan menginspirasi. Besok juga bertepatan dgn Hari Raya Idul Adha:)

Leave a Reply

error: Content is protected !!