Cerpen Akira Adhisurya (Suara Merdeka, 18 November 2012)
PERNAHKAH terselip keinginan pada diri kita untuk, betapa pun kecilnya, kembali ke masa lampau, menghidupinya lagi seperti masa kini? Tanpa kita sadari itulah yang sebenarnya terjadi ketika kita melangkah ke dunia maya. Itulah salah satu esensi Facebook yang sekarang nyaris dimiliki siapa saja asal dia tidak buta internet. Bukankah jejaring sosial ini mempertemukan kembali para pelaku masa lampau? Selain teman masa kini dan teman yang belum pernah ditemui, seorang pemilik profil Facebook pasti juga kembali bersua dengan teman masa lalunya. Tidak jarang pula perjumpaan di alam maya Facebook berlanjut dengan pertemuan yang sebenarnya: para pelaku masa lampau akhirnya kembali bergaul di masa kini.
Layak kutegaskan, pertemuan yang berikut kututurkan bukanlah gagasanku. Itu ide Wati tak lama setelah kuberitahu tentang kedatanganku. Dalam salah satu pesannya, dia sudah kirim ratusan pesan sejak satu setengah tahun bergaul lewat Facebook denganku, adik kelas bekas asistenku ini mendesak-desak untuk bertemu secepatnya, karena 10 hari kemudian dia akan pulang kampung dan itu berlangsung selama sebulan lebih.
“Aku datang sama-sama Yumi ya, masih kenal kan?” Wati akhirnya menghubungiku lewat telepon antarbenua.
“Masih dong, bagaimana bisa melupakan Yumi?” Aku pura-pura tetap tenang, walau darah tersirap dan jantung riuh berdegup mendengar nama itu disebut.
Baru belakangan kutahu, walau tak seangkatan, Wati ternyata kenal, bahkan bersohib kental dengan Yumi. Setelah menikah dengan Sawamura Yoshio, tapi tetap memilih bernama Dyah Sekarwati, ia tinggal mengayuh sepeda kalau ingin bertemu Yumi. Mereka tidak hanya sekota tapi juga selingkungan di wilayah Kansai, Jepang Barat.
Lebih dari itu, ini mungkin yang mendekatkan mereka, keduanya (pernah) punya hubungan dengan pria asing, Wati dengan Sawamura dan Yumi dengan aku, walaupun akhirnya jalan hidup masing-masing berbeda. Betapa tidak? Mereka naik ke pelaminan. Sedangkan aku? Yumi yang begitu cantik dan cerdas itu kutinggal saja, karena ketika pindah ke Amsterdam sebagai akademikus pemula, kupilih orang lain. Baiklah akan kututurkan kisahnya. Dalam perkara Yumi, pena ini selalu ingin menggoreskan banyak cerita.
Setelah pembicaraan telepon dengan Wati, aku tak pernah lagi secara khusus berupaya bertanya soal rencananya ke Kyoto untuk menjengukku. Dia berharap bisa cepat-cepat ketemu Yumi yang baru saja kembali ke Jepang setelah satu setengah tahun bekerja di luar negeri. Kontak dengan Wati, seperti yang sudah-sudah, hanya melalui Facebook.
Aku sendiri tenggelam dalam pelbagai kesibukan kerja dan mengurus keberangkatanku. Mulai dari soal visa, tiket pesawat, sampai masalah izin tinggal di Belanda yang ternyata akan harus diperbaharui supaya aku bisa kembali ke Amsterdam. Belum lagi urusan flat di Kyoto yang butuh penanganan khusus, karena flat di perumahan internasional Oubaku sudah penuh.
Dalam keadaan seperti ini, aku hanya menjawab beberapa pertanyaan Wati. Tak pernah kuajukan satu pun pertanyaan padanya. Padahal betapa banyak yang ingin kutahu soal Yumi: siapa pasangan hidupnya, berapa anaknya, bekerjakah dia, seperti yang selalu dia inginkan dan masih banyak lagi. Wati pasti bisa memuaskan dahaga yang satu ini.
Menyusul pembicaraan telepon itu, kuduga Wati cuma berolok-olok ketika bertanya adakah diriku masih kenal Yumi. Tapi beberapa hari kemudian pikiranku berubah. Sama sekali tak terdengar nada sindiran pada cara Wati bertanya, tak pula kudengar isyarat nakal bahwa ia tahu aku pernah begitu dekat dengan Yumi.
***
KALAU kupikir-pikir, Wati sendiri juga baru pindah ke Kobe tahun 1992, beberapa tahun setelah hubunganku dengan Yumi kandas. Layaklah untuk disimpulkan: Wati memang tak tahu aku dan Yumi nyaris menikah. Yang lebih penting lagi, ini berarti Yumi, walaupun begitu dekat dengannya, tidak pernah memberi tahu Wati betapa dulu dia sempat begitu dekat denganku.
Maukah Yumi menerima ajakan Wati menemuiku di Kyoto? Soal ini aku sering tercenung. Kalau memang tak ingin memberitahu hubungan yang pernah ada antara dia dengan aku, Yumi pasti akan menerima ajakan itu, kecuali kalau dia ada urusan lain. Itu pertimbangan optimistisku. Bukan tanpa alasan, satu setengah tahun bersanding dengannya, aku yakin Yumi selalu optimis dan pragmatis.
Yang jelas pada suatu malam, ketika sedang menyusuri profil dan foto-foto baru Wati pada Facebook, mataku tertancap pada nama Kitada Yumi, salah satu teman facebookWati. Kembali jantungku ribut berdegupan. Kubuka profil itu, tapi tentu saja tak bisa, karena aku tak berteman dengannya.
Yumi jelas tidak menggunakan Facebook untuk unjuk diri, apalagi nampang. Ia tak akan mengizinkan orang lain—yang bukan sahabat—untuk menjenguk profilnya. Lain sekali dengan orang Medan kenalanku yang sekarang tinggal di Groningen itu. Dia bentangkan profilnya untuk umum, teman atau bukan, termasuk semua fotonya. Pada profil Yumi hanya tampak satu fotonya. Itu pun tak bisa dibesarkan. Walau begitu bisa terlihat Yumi sudah berubah dari yang pernah kukenal, nyaris 25 tahun silam. Sekarang raut muka dan sorot matanya lebih memancarkan wibawa dan rasa percaya diri.
Haruskah kukirim permintaan menjadi teman? Atau mungkin kirim pesan dulu? Dalam bahasa apa? Bahasa Inggris atau bahasa Indonesia? Pernah kudengar, ketika hubungan kami berakhir, Yumi pergi ke Indonesia, menjadi guru bahasa Jepang pada sebuah SMA. Entahlah, tak bisa langsung kuputuskan. Malam sudah larut dan kantukku sudah terlalu berat untuk bisa mengambil keputusan pelik ini. Dengan meraba-raba, karena mata sulit dibuka lagi, kumatikan komputer untuk melangkah terhuyung-huyung ke tempat tidur, tanpa kurasa perlu gosok gigi dulu. Aku langsung terlelap, tak ditegur lagi karena dia yang terbaring di sisiku juga sudah di alam mimpi.
***
YUMI memanggil-manggil, sementara aku telungkup dalam selokan dengan tangan terikat ke belakang dan mulut tersumbat. Bagaimana bisa menjawab panggilan itu? Aku hanya bisa bergerak-gerak dan berupaya mengeluarkan suara dari mulut yang tersumbat. Tentu saja Yumi tak bisa mendengarku.
Mimpi seperti itu membulatkan tekatku: begitu bangun segera kukirim permintaan pertemanan pada Yumi. Diterima syukur, tidak juga tak apa. Begitu pikirku, seraya bergegas mengayuh sepeda ke tempat kerja. Mimpi membuatku kesiangan. Hari itu aku sibuk seharian di laboratorium, sehingga tak ada waktu lagi bagi internet apalagi Facebook. Ketika malamnya sampai di rumah, itulah yang pertama-tama kulakukan, melihat Facebook. Bisa jadi senyuman lebar menyungging di bibirku mendapati permintaanku diterima oleh Yumi.
Belum lagi lepas sepatu atau ganti pakaian, langsung kubenamkan perhatianku membuka-buka profil Yumi. Sendirian setiap Rabu malam, aku bisa terus asyik tanpa ada desakan berbuat lain. Dari foto-fotonya tampak ia banyak bergaul dengan orang Indonesia, yang perempuan sebagian berjilbab, yang pria biasa-biasa saja, tidak berbaju koko atau berjanggut. Siapakah mereka? Jumlah temannya tidak banyak, tidak sampai seratus orang. Satu-satunya teman berbarengan kami adalah Wati. Pada bagian info juga tidak banyak keterangan, kecuali alamat emailnya. Dugaanku terbukti: Yumi bukan orang yang menggunakan Facebook untuk nampang dan unjuk diri. Kesanku, jejaring sosial ini hanya digunakannya untuk berhubungan dengan kenalannya, terutama orang Indonesia.
Apalah mesti kuperbuat? Haruskah kugoreskan pesan pada dindingnya, haruskah kukirim pesan pada kotak suratnya? Bagaimana sebaiknya menyapa Yumi? Untung kulihat dua hari sebelumnya dia ulang tahun, beberapa pesan yang ada di dindingnya berisi ucapan selamat. Betapa bodoh diriku tak ingat lagi hari ulang tahunnya! Segera kutulis ucapan serupa, ditambah terima kasih karena sudah mau berteman, dalam bahasa Inggris. Kami memang bertegur sapa dalam bahasa itu. Aku tak bisa bahasa Jepang, dia, waktu itu, tak bisa bahasa Indonesia, kami tergantung pada bahasa ketiga. Inggrislah jadinya.
***
DUA hari kunanti, tak ada jawaban. Aku mulai resah: jangan-jangan ini balas dendamnya karena dulu, ketika belum ada surat elektronik atau fax, dia sering lama menanti suratku. Memang sering kutunda-tunda membalas suratnya. Kalau kulihat-lihat profilnya, dan ini sudah berkali-kali kulakukan, sebenarnya Yumi memang tidak membalas pelbagai ucapan selamat yang terpampang pada dinding facebook-nya. Jadi sulit dikatakan itu merupakan balas dendamnya terhadapku.
Kebetulan hari itu kuterima alamat flat yang akan kuhuni kalau, dalam beberapa hari, aku tiba di Kyoto. Flat itu terletak di Jyodoji, bilangan Sakyo, dekat kuil perak Ginkaku-ji, Kyoto Barat. Ini memang masih di sekitar kampus pusat, artinya jauh dari Kampus Uji, tempat kerjaku. Terbiasa dengan keramaian Leidseplein di jantung Amsterdam, aku ogah menyepi ke pinggiran Kyoto. Ke kampus Uji tidak terlalu sulit, sejam sekali ada bus bolak-balik ke sana dari kampus pusat. Bagaimana kalau kukirim pesan berisi alamat itu kepada mereka berdua, Yumi dan Wati? Bahkan alamat asli dalam aksara Kanji? Tanpa pikir panjang lagi itu kulakukan.
Ketika bangun esok paginya, sebelum ke kamar kecil, komputer kunyalakan dulu. Pancingan mengena! Yumi bereaksi, dalam bahasa Inggris ia berterima kasih atas pemberitahuan itu, dan kepada Wati, dalam bahasa Indonesia, dia menyatakan hanya bisa tanggal 3 Juni. Sekembali dari kamar kecil, kudapati pesan Wati, setuju dengan tanggal itu. Tentu saja itu soal rencana pertemuan denganku, jadi Yumi akan datang! Kali ini jantungku serasa melonjak, mungkin karena bosan harus terus berdegup. Kurasa aku harus bertindak sopan, jadi kutanyakan dulu ada apa tanggal 3 Juni itu.
Sejak saat itu mulai terjalin kontak dengan Yumi, tidak secara pribadi, tapi selalu bersama Wati. Aku tak berani menyapanya sendiri, misalnya dengan mengirim pesan langsung padanya. Apa yang mesti kugoreskan? Sesuatu tentang masa lampau? Darinya juga tak kuterima pesan khusus. Semua pesan yang dikirimnya selalu ditujukan pada Wati (Wati-sama, sapaan pembuka surat dalam bahasa Jepang) dan aku (Dewa-sama).
Ketika kuberi tahu alamat Kyoto itu, Wati langsung menjawab dengan memberitahu nomor telepon genggamnya. Kemudian kujawab pula dengan nomor ponsel Belandaku serta alamat kantorku, Kagaku Kenkyu-Jo, artinya Institut Penelitian Kimia, Universitas Kyoto. Aku berjanji akan memberitahu nomor telepon kantor, begitu kuketahuinya.
Jujur saja, kepada Yumi dan Wati aku juga ingin pamer: bukan sembarangan kalau seseorang bisa diterima sebagai peneliti tamu pada salah satu lembaga penelitian tertua (didirikan tahun 1926) dan bergengsi Jepang ini. Apalagi di masa lampau salah seorang penelitinya pernah meraih Hadiah Nobel Kimia. Memang belum ada orang sebangsa yang memperoleh kehormatan ini, tapi terus terang itu juga bukan ambisiku. Mana mungkin aku yang meniti karier di luar negeri ini bisa meraih kehormatan setinggi itu? Aku cuma berharap pengalaman Jepang ini akan sedikit mengobati rasa bersalah karena sepanjang karier aku terus-terusan membelakangi Tanah air. Dengan kesempatan melanjutkan penelitian spektometri massa, aku berharap bisa memperbesar peluang pulang kampung. Di Tanah Air, orang mulai melihat makna dan manfaat spektometri massa, paling sedikit sebagai tolok ukur dalam indentifikasi isotop atau molekul.
Yumi ternyata diam saja. Semula aku berharap dia akan juga memberitahu nomor ponselnya, sehingga aku bisa kirim SMS. Harapan kandas, karena Yumi tak melakukannya. Seolah mengelus dada, aku hibur diri sendiri dengan berkata, kita akan bertemu tanggal 3 Juni, dan sekarang sudah tanggal 31 Mei. Waktu itu aku tengah melangkah masuk pesawat di Bandara Schiphol, Amsterdam, yang membawaku ke Bandara Internasional Kansai di Osaka.
***
TANGGAL 1 Juni, sore hari, aku datang ke kantor baruku. Beberapa urusan administrasi perlu kubereskan, mulai dari kartu identitas, kode masuk komputer sampai kontrak dengan Kyodai, Universitas Kyoto, singkatan bahasa Jepang. Sekitar jam empat aku punya waktu untuk duduk di kursiku, menyalakan komputer. Tentu saja tujuan utamaku adalah Facebook, kuberi tahu nomor telepon kantorku.
Jawaban mereka berdua tak perlu lama kunanti, Wati maupun Yumi mengucapkan selamat datang beserta harapan-harapan lain. Yang membuatku terkejut adalah pesan khusus Yumi untuk Wati. Isinya: kalau ingin tahu nomor telepon genggamnya, harap kirim surat elektronik, lalu ditulisnya alamat elektroniknya seperti yang tertera pada profil Facebook.
Kembali jantungku riuh berdegup. Kenapa ini dilakukannya? Bukankah ini provokasi frontal terhadapku? Aku mesti berbuat apa? Haruskah kukirim surat elektronik untuk juga minta nomor ponselnya? Di tengah rentetan pertanyaan itu, bagiku tindakan Yumi ini cuma bermakna satu: ia tak mau aku tahu nomor telepon genggamnya. Jadi buat apa memaksa-maksa? Begitu dadaku kuelus, begitu diri kuhibur. Dua hari lagi dia akan datang, itu yang penting. Kalau sekarang sudah memaksa-maksa bisa jadi dia malah tidak akan datang. Alhasil provokasi telanjang ini kudiamkan saja.
Malam harinya aku sulit tidur. Entah kenapa. Sulit dipercaya ini karena jet lag, karena biasanya jet lag baru menghantamku kalau balik Amsterdam. Pasti antisipasi bertemu Yumi telah membuat kantuk tak jua menjelang. Aku terhentak mendengar bel, rupanya ada tamu. Maeda-san, si pemilik flat, pagi itu memang berjanji datang untuk memberesi administrasi sewa.
Hari kedua berlalu seperti aku tidak menjejakkan kaki di bumi. Tidur tetap tak nyenyak, sering terbangun. Mungkin ini karena permukiman dan kasur baru. Tak henti-hentinya kupandangi flat tiga ruangan itu, terutama kamar tidurnya. Semuanya mungil, aku ragu tempat tidur ini akan cukup untuk dua orang kalau pada bulan terakhirku nanti dia tiba dari Amsterdam. Akhirnya, ketika fajar merekah, kuputuskan bangun saja. Pagi itu, aku ingin cepat hadir di kampus, tak sabar menanti Yumi dan Wati.
***
DI luar dugaanku ternyata Yumi dan Wati tidak datang bersamaan. Semalam Wati mendadak harus ke Nara, besuk mertuanya yang dirawat di rumah sakit. Jadi dia datang dari Nara sedangkan Yumi dari Kobe. “Yumi duluan, aku menyusul,” Wati mengakhiri pesannya pada kotak surat profil facebook-ku.
Seperti disepakati, jam 12 kurang beberapa menit telepon di mejaku berdering, kuangkat, kuucapkan moshi-moshi (cara orang Jepang menerima telepon), maka terdengar kembali suara itu, suara yang terakhir kali masuk telingaku hampir seperempat abad silam. Nyaring, walau ada sedikit getaran, nyaris seperti isakan. Sebenarnya dia hanya mengatakan sudah ada di resepsionis. Dalam bahasa Inggris, kukatakan aku segera menjemputnya.
Yang tampak di hadapanku adalah seorang perempuan matang separuh baya lengkap dengan wibawanya. Itu tidak tertutup oleh pakaian musim panas santai yang dia kenakan. Jelas beda dengan Yumi yang dulu sempat kusandingi. Waktu itu dia masih malu-malu dan ragu-ragu, walaupun sudah tampak cerdas karena sering bertanya. Aku ingat benar ketika bibir mungilnya untuk kali pertama kali (untung hanya lututku yang gemetaran, bukan bibirku), keesokan harinya, mungkin sebagai tanda perhatian khusus, Yumi ingin menambatkan tali sepatuku. Kaget atas tindakan seperti pembantu ini, segera dia kularang. “Bukan itu tanda kasih yang kuharapkan darimu”, pasti aku terdengar ketus mengucapkannya. Sejak itu kami selalu berupaya duduk sama rendah dan berdiri sama tinggi. Walau begitu, kadang-kadang, mungkin karena pembawaan atau adat istiadatnya, ia masih ingin melakukan hal-hal yang tidak sesuai dengan prinsip bersama itu. Sekarang, tak perlu diragukan lagi, prinsip bersama itu telah mematangkannya. Yumi yang semampai, menawan, penuh pesona, dengan lekukan bibir yang membangkitkan gairah kini kembali berdiri di hadapanku.
Tergulat gugup, aku nyaris gagap, salah tingkah tak keruan, tak tahu mesti berbuat apa. Membungkuk seperti orang Jepang, atau menjabat tangannya, tangan yang dulu sering kukecupi itu. Akhirnya dua-duanya kulakukan. Dia juga begitu, tanganku dijabatnya seraya membungkukkan punggungnya. Matanya terlihat berkaca-kaca, dan sejenak ia seperti tak bisa berkata-kata. Tenggorokanku sendiri serasa tersumbat oleh sebongkah gumpalan dan mati-matian kutahan supaya mataku tidak berontak. Kalau di Belanda pasti sudah terjadi persentuhan tubuh, paling sedikit cium pipi, kalau tidak peluk. Tapi di sini kurasa lebih pantas untuk menjaga jarak, dia segera kuajak ke kamar kerjaku.
Beberapa langkah menuju lift berlalu tanpa terucap sepatah kata pun. Di dalam lift juga begitu, kata-kata raib entah ke mana. Untunglah tak berlangsung lama, ketika pintu lift terbuka, segera kuisyaratkan ke mana mesti melangkah, dan teringat pada asal usul semua ini, segera kulontarkan Facebook. Ia mengulanginya dan berterima kasih karena aku masih ingat padanya. Aku tidak setuju, (apalagi kalau ingat kasus nomor ponselnya) akulah yang harus berterima kasih karena dia sudi menerimaku sebagai sahabat.
Di depan pintu kamar kerjaku dia menunjuk papan namaku, di situ tertera Sadewa Saputra, baik dalam aksara Katakana maupun huruf Latin, kemudian peneliti tamu, dalam aksara Kanji. Yumi tersenyum lebar, senyuman yang selalu meluluhkan hatiku. Sejak saat itu cairlah ketegangan, apalagi ketika kepadanya kuulurkan hadiah paket Nijntje, yang di Jepang dikenal sebagai Miffy. Orang Jepang tergila-gila pada karya Dick Bruna, penulis cerita anak-anak Belanda. Darinya kuterima sepasang pena dan pensil, hadiah untuk seorang ilmuwan, katanya.
Pembicaraan berkisar pada kedatanganku ke Kyoto, ke Kagaku Kenkyu-Jo, institut bergengsi itu, sampai ke masa lampau, ketika berlangsung pertukaran mahasiswa antara universitasku dengan universitasnya. Itulah awal perjumpaan kami, saat perhatian khususku tercurah hanya pada Yumi. Wati ini tak datang-datang juga, pikirku, mungkin untuk mengalihkan pikiran, karena begitu pembicaraan menyentuh masa lampau suasana kembali kaku.
Telepon Yumi berdering, “Wati”, katanya. Segera berlangsung pembicaraan dalam bahasa Jepang. Raut Yumi menarik wajah tegang, memancarkan kekagetan. Telepon yang tak kuketahui nomornya itu lalu diulurkannya padaku. Wati mengabarkan mertuanya gawat, koma, sehingga dengan menyesal ia tak bisa ke Kyoto. Kuucapkan kata-kata pelipur lara, harapan mertuanya segera terbangun dari koma, sehingga kami bisa ketemu secepatnya, sebelum dia ke Indonesia.
Maka kami tetap berdua, tidak berdampingan, tapi berhadapan, berseberangan tepatnya. Jadi bagaimana? Tetap makan siang seperti yang direncanakan? Yumi setuju, sudah lama dia ingin ke Norihisa, restoran langganannya kalau datang ke Kyoto. Letaknya di Kawaramachi Dori (Jalan Kawaramachi), di Kyoto pusat. Diusulkannya naik metro ke sana. Baru tiga hari di Kyoto, apalah pilihanku kecuali menurutinya?
Yumi menjelaskan dari Stasiun Oubata dengan kereta Keihan, kami akan turun di Stasiun Marutamachi. Jarak itu ternyata cukup jauh, tapi pembicaraan tidak kunjung mendalam. Paling banter tentang orang tua yang sakit, tidak beranjak dari keadaan mertua Wati; dan dia tengah mencari pekerjaan setelah sekian lama di luar negeri, bekerja untuk JICA, organisasi bantuan pembangunan Jepang. Jelas dibutuhkan keberanian untuk menerobos rangkaian topik yang cuma setebal kulit ari ini, tapi itu tak ada padaku dan tampaknya juga tak ada pada Yumi.
Turun di Stasiun Marutamachi, kami menyeberangi Sungai Kamo, menyusuri Kojinguchi Dori, jalan yang juga berfungsi sebagai jembatan. Mendadak Yumi menunjuk kura-kura batu yang terbentang di sepanjang Sungai Kamo. Katanya kura-kura itu untuk orang yang ingin menyeberang sungai dengan melompat-lompat, jumlahnya 11. Semasa kanak-kanak, kalau diajak orang tua ke Kyoto menjenguk kakek-nenek, ia sering meloncati kura-kura itu.
Pada titik ini kurasa seperti ada keberanian yang menyeruak dari dalam, tanpa pikir panjang terlontar pertanyaan siapa pendampingnya. Yumi hanya menggeleng, matanya kembali terlihat berkaca-kaca. Roman mukanya juga dipenuhi tanda tanya. Adakah dia ingin tahu siapa pendampingku? Tiba-tiba aku sadar, betapa diriku sendiri sebenarnya pengecut belaka, tidak berterus terang padanya soal siapa pilihanku, juga orang yang menggantikannya di sisiku. Kepalanya terlihat terus bergeleng.
“Bukan itu, Dewa-san,” katanya, tetap dalam bahasa Inggris. “Aku mengenalmu sebagai seorang kekasih sejati, kekasih idaman setiap perempuan. Masih ingatkah saat-saat intim kita? Betapa kau Dewa-san, selalu tekun menuntunku mendaki puncak kenikmatan. Kau bukan egois, tak pernah hanya kaukejar kenikmatanmu sendiri. Sadarkah kau Dewa-san, betapa aku tak bisa mengerti kenapa akhirnya kau pilih sesama pria.’’
Bukan hanya jantungku, tapi seluruh isi rongga tubuh dan kepalaku serasa berontak mendengar ucapan Yumi. Tak kuasa lagi kutahan pergolakan dalam mataku. Bongkahan dalam tenggorokanku juga makin membesar saja. Tak bisa lagi aku berujar, tak hendak pula aku berkata-kata. Pandangan kulempar pada 11 ekor kura-kura yang berderet-deret membelah Sungai Kamo. Entah mana yang harus kusesali: meninggalkannya dulu atau bertemunya lagi sekarang. (*)
(For Ben, my first reader and critic who makes it all possible)
Kyoto, 10 Juni 2011
Leave a Reply