Cerpen Sunlie Thomas Alexander (Suara Merdeka, 30 Desember 2012)
CERITA pendek ini aku dengar dari seorang temanku, orang Inggris yang belajar Karawitan di Yogyakarta. Aku tidak tahu apakah kisah konyol ini merupakan karangannya atau dia dapatkan dari orang lain. Namun yang jelas aku dapat menangkap kesinisan dari ekspresi wajah dan nada suaranya saat bercerita.
“Bukankah di Eropa kalian juga memeriahkan Natal bersama Santo dari Kutub Utara itu?” tanyaku tersenyum.
“Ya, tapi seperti juga di sini, Pak Tua berjenggot putih itu cuma merk impor para Yankee! Hahaha. Seperti halnya mereka mengimpor McDonald dan Coca Cola,” jawabnya tergelak. Aku lagi-lagi hanya tersenyum.
Ah, beginilah cerita yang dituturkannya padaku di sebuah angkringan dekat kampus ISI Yogya beberapa tahun silam itu…
***
PADA malam Natal kali itu, Tom merasa harus berupaya lebih keras lagi agar tetap terjaga. Lantaran sebulan yang lalu satu gigi susunya kembali tanggal. Tiga buah giginya yang penghabisan agaknya juga sudah mulai goyah, termasuk geraham bungsu. Ah, kecuali Peter Pan dan kawanannya, memang tak seorang anak pun di dunia ini yang dapat menolak tumbuh dewasa, batinnya. Meskipun ia sama sekali belum terpikir untuk memulai kencan. Misalnya dengan Jessica, teman sekelasnya yang cantik dan modis itu.
Eh, bukankah si ikal itu suka memperhatikannya di sekolah?
Di luar udara sudah begitu gelap tatkala Tom masuk ke kamar, bersalin pakaian dan mematikan penerangan. Tapi lampu redup di samping tempat tidur sengaja ia biarkan tetap bernyala. Sebagaimana yang lazim dilakukannya, Tom kemudian menyelubungi dirinya dengan selimut tebal dan berpura-pura tidur. Gordin seperti dulu-dulu, tersibak separoh. Kedua daun jendela hanya dirapatkan, tak terkancing. Kau tahu, tak ada anak-anak yang mengancing jendela dan pintu kamarnya di malam natal.
***
SINTERKLAS akan datang dengan kereta emas yang ditarik rusa-rusa kutub, terbang melintasi langit bertaburan bintang. Setiap anak baik akan mendapatkan hadiah. Dia akan meluncur turun lewat cerobong asap dan masuk ke dalam kamarmu, diam-diam meletakkan kotak-kotak hadiahnya ketika kau sudah terlelap karena kecapekan menunggu. Ya, hanya ketika kau sudah terlelap….
Karena itulah, seperti dirinya—Tom berpikir—konon tak seorang anak-anak pun di dunia ini yang pernah melihat orang suci dari kutub itu. Anak-anak hanya akan menemukan hadiah mereka telah bertumpuk di sudut kamar ketika terbangun keesokan pagi. Mereka begitu gembira, melonjak-lonjak kegirangan lalu menyerbu kotak-kotak terikat pita warna-warni itu, sehingga segera saja melupakan rasa penasaran mereka untuk mengetahui wajah Sinterklas yang asli.
Tetapi tidak dengan Tom. Ya.
Di jalan-jalan, banyak orang dewasa berdandan jadi Sinterklas dengan janggut putih yang terbuat dari kapas. Mereka membagi-bagikan permen, coklat, balon, dan minuman kaleng gratisan. Atau berbagai mainan dari perusahaan mainan yang ingin beramal seraya beriklan. Beberapa di antara mereka mempertunjukan sulap. Toko-toko, mall dan supermarket menggelar diskon besar-besaran, memasang lampu kerlap-kerlip, pohon cemara, dan spanduk panjang yang seringkali berhias wajah pak janggut tua yang riang itu.
Ya, semua hanya bohongan, yakin Tom. Ia pernah mendapatkan pluit murahan yang bunyinya mirip kentut ketika ditiup panjang-panjang. Ia tahu, Paman Jim suatu kali pernah menjadi salah satu dari Santo Kutub palsu itu. Adik ibunya itu datang ke rumah dengan kostum Sinterklas dan janggut kapas yang basah kuyup oleh salju meleleh. Badannya yang sedikit gempal terkapar di kursi depan pemanas dengan wajah lelah, lapar, dan kesal. Ibu Tom memberinya segelas coklat hangat dan omelan panjang lebar. Lebih baik kau selesaikan kuliahmu dan cari pekerjaan lain yang lebih layak, kata sang kakak.
“Aku tak mau kuliah lagi, aku mau ke Rocky Beach, ada temanku yang bekerja di agen pencari bakat di sana. Aku mau berakting!” jawab Paman Jim ketus waktu itu. Lalu mereka, kakak-beradik, mulai bertengkar seperti biasa.
Namun Lizza, kawan sekelas Tom, pernah mendapat boneka panda besar yang cukup mahal di perempatan jalan dekat stasiun. Cewek bermata coklat itu berkoar-koar pada semua anak kalau sekilas dia sempat melihat ada peri kecil mengintip keluar dengan malu-malu dari janggut lebat sang Sinterklas yang memberinya boneka. Sebagian anak tertawa, sepakat menganggapnya membual dan mencari sensasi. Tapi ada juga anak yang diam-diam percaya.
Mungkinkah Sinterklas asli sesekali memutuskan muncul di siang hari, diam-diam ikut membagikan hadiah di antara dirinya yang palsu?
Toh, Tom merasa tak mungkin ia mencoba menarik satu persatu jenggot para Sinterklas yang ditemuinya di jalan atau mall itu untuk memeriksa mana di antara mereka yang asli. Ia hanya bisa menunggu sang Santo muncul sambil berbaring di atas tempat tidur. Menunggu jam dinding kamarnya menunjukkan pukul dua belas malam, lalu burung kecil melompat keluar dari sarang untuk bernyanyi dengan riang: “Twinkle-twinkle Lucky Star”.
Hanya selewat jam dua belas malam, ketika anak-anak sudah tertidur pulas, Sinterklas bakal datang….
Maka biasanya, ia pun menarik selimut tebal dan berpura-pura tidur. Tapi waktu berlalu begitu lamban. Mati-matian Tom mempertahankan kedua matanya agar tak terpicing. Dari celah selimut, ia memperhatikan sebagian kamarnya yang remang. Kemeja dan mantel yang tergantung di balik pintu seolah bergerak-gerak hidup, juga robot-robot di atas lemari pakaian. Sendirian dalam gelap, Tom memang merasa sedikit takut. Dari gordin jendela yang dibiarkan tersibak separoh, bisa ia saksikan bintang-bintang yang berkerlap-kerlip.
Ah, jika beruntung, barangkali ia dapat melihatnya melintas bersama kereta emasnya yang ditarik oleh kawanan rusa kutub…. Tapi pelupuk mata Tom sudah demikian berat. Terdengar suara gemerisik di luar. Pasti salju turun lagi, batinnya. Tom masih mencoba bertahan. Namun, selalu saja ia akhirnya tertidur.
***
BEGITULAH. Natal demi Natal berlalu. Toh, Tom masih terus berharap dapat melihat wajah Sinterklas yang asli sebelum beranjak remaja lalu tumbuh dewasa. Sekali saja. Sebelum gigi susunya yang terakhir tanggal, tekad Tom, ia harus dapat memergoki Pak Tua yang budiman itu mengendap-endap ke kamarnya dan meletakkan hadiah. Atau ia mesti melupakan keinginannya untuk selamanya dan cukup senang pernah percaya sang Santo benar-benar ada.
Ah, barangkali setelah remaja, ia pun akan menganggapnya sebagai dongeng konyol di masa kecil. Di malam Natal, ia akan terlalu sibuk dengan pesta-pesta atau kencan seperti kakak-kakaknya. Orang dewasa apalagi, pikirnya, takkan mungkin bisa melihat Sinterklas. Bukankah si tua berjenggot hanya datang untuk anak-anak? Maka ia akan menyesal seumur hidup jika tumbuh dewasa tanpa sempat melihat sang Santo….
Ah, adakah suatu malam Natal Tom bakal berhasil memergokinya? Setiap Natal tiba, ia sudah mencoba tidur siang agar bisa terus terjaga sepanjang malam yang kudus. Ia juga telah berusaha selalu berbuat baik pada siapa saja. Ya, Sinterklas hanya akan datang membawa hadiah untuk anak-anak yang baik. Syahdan, semakin banyak perbuatan baik yang kau lakukan, hadiah yang kau dapatkan pun kian banyak. Sang Santo takkan sudi memberi hadiah untuk anak-anak nakal, kata nenek Tom ketika suatu kali ia mencopot hiasan-hiasan pohon natal dan menumpahkan susu di bak mandi. Sebaliknya, anak-anak nakal akan dibawa Piet Hitam ke Kutub Utara untuk dipekerjakan di pabrik mainan.Karena itukah, Fred dan Maggie menghilang?
***
YA setiap Natal, selalu saja ada anak-anak yang hilang. Tak seorang pun dapat mengatakan ke mana mereka pergi. Tom masih ingat ketika ibunya Maggie datang sambil menangis. Ibunya mencoba menenangkan dan menghibur perempuan malang itu. Maggie tak ada di tempat tidur ketika dibangunkan untuk sarapan, kata ibu Maggie terisak-isak dalam pelukan ibunya. Kado-kado Natal Maggie pun masih tersusun rapi di samping tempat tidur, belum ada yang terbuka. Tapi dia tak ada di mana pun di rumah! Ayah Maggie melapor polisi.
Keesokan harinya, seperti juga saat Fred menghilang, poster seukuran kuarto dengan foto Maggie disertai kata-kata “Anak Hilang, Margareth Brown, 10 tahun, Jika ada yang melihat harap lapor polisi atau segera hubungi nomor….” tertempel di mana-mana. Ada berita kecil di koran dan radio.
Anak-anak membicarakannya dengan ribut. Petty, yang semua anak tahu adalah teman paling akrab Maggie, tak henti-hentinya menangis dan menyeka ingusnya dengan sapu tangan.
“Maggie pasti dibawa Piet Hitam!” kata Billy yakin, “Musim panas lalu Maggie menaruh anak tikus di tas Bu Johnson.” Wajah Billy yang berbintik-bintik tampak memerah, kebiasaan jika dia serius. Anak-anak yang lain mengangguk-angguk, kecuali Ron dan Enny.
“Ya, Billy benar,” timpal Joe, “Malam Natal tahun lalu sebelum Fred hilang, aku sempat melihat seorang pria kulit hitam mengendap-endap di bawah jendela kamar Fred. Ya, aku rasa kita semua tahu kelakuan Fred selama ini….”
Semua anak terdiam dan memandangnya.
“Dari mana kau tahu itu Piet? Mungkin saja tukang sampah atau petugas telepon yang memperbaiki kabel putus,” Enny terlihat kurang senang. Mata anak-anak masih tertuju pada Joe. Merasa jadi pusat perhatian, suaranya jadi berlagak penting: “Waktu itu aku dan orangtuaku pulang kemalaman dari perayaan Natal di rumah bibiku. Aku paling belakang masuk karena syalku ketinggalan di mobil. Saat hendak berbalik ke rumah itulah aku melihatnya. Kurasa dia memakai topi kerucut. Berkat lampu teras, sekilas aku sempat melihat wajahnya. Kukira, hmm, a-agak mirip wajah ayah Ron. Karena takut, aku….”
“Ayahku bukan Piet!!” Ron membentak marah.
“Aku cuma bilang agak mirip. Aku tidak bilang ayahmu…,” belum habis kata-kata Joe, tubuhnya sudah diterjang Ron. Keduanya terguling-guling di lapangan bersalju.
Tentu saja Tom dan semua anak tahu ayah Ron. Seorang lelaki bertubuh jangkung yang bekerja di tempat pejagalan hewan. Dia sering lewat di depan rumah Tom. Kerapkali Tom melihatnya pulang berjalan kaki ketika langit hampir gelap sambil bersiul-siul kecil dalam irama blues. Kadang-kadang pakaiannya masih menyisakan bercak darah. Satu-dua kali Tom sempat berpapasan dengannya, dan selalu buru-buru menghindar karena tak tahan dengan bau amis bercampur aroma alkohol murah yang tercium dari badan lelaki itu. Tapi menurut perasaannya, ayah Ron orang baik.
Anak-anak masih berusaha meleraikan pergulatan Ron dan Joe ketika diam-diam Tom menyelinap menjauh, meninggalkan lapangan bola yang diselimuti salju itu. Entahlah, ia meragukan Piet Hitam ada. Apalagi kalau dia seorang pria berkulit hitam yang suka menculik anak-anak. Itu mungkin cuma akal-akalan para orangtua, atau ulah para peramu kisah picisan, supaya anak-anak tidak nakal. Pikir Tom yakin.
Benarkah setiap Natal tiba, Sinterklas akan datang bersama Piet Hitam?
Toh, pernah ada kejadian dua orang anak perempuan kakak-beradik yang disangka hilang, akhirnya kembali lagi tiga hari kemudian. Ternyata mereka diam-diam nekat menumpang bis mengunjungi nenek mereka di luar kota, karena orangtua mereka tak berkenan mengajak mereka berlibur….
***
SEANDAINYA malam ini aku berhasil memergoki Sinterklas, apa yang harus aku lakukan? Pikir Tom cemas sambil berbaring diam dan mengintip dari sela-sela selimut. Mungkinkah Tom akan menyapanya, menyalaminya dengan hangat, lalu memintanya menceritakan tentang kediamannya di Kutub Utara? Barangkali juga ia akan memohon pada sang Santo agar mengijinkannya mengelus jenggotnya yang seputih salju.
Apalagi? Ia ingin bertanya tentang Piet Hitam dan anak-anak yang hilang…. Tom membayangkan seraut wajah gemuk kemerah-merahan yang jenaka dengan mata sipit yang ramah. Perutnya yang buncit terguncang-guncang ketika tertawa.
Entah berapa lama Tom melamun, barangkali nyaris tertidur. Ketika tiba-tiba ia merasa kedinginan, ada angin basah yang mengelus sebelah pipiku yang tak tertutupi selimut. Sedikit kaget, ia menoleh dan melihat salah satu daun jendela kamarnya telah terbuka ke samping. Saat itulah Tom menyadari dirinya tak sendirian di dalam kamar. Ada seseorang, bertopi dengan pakaian tebal, sedang membungkuk di sisi lemari pakaian. Jantungnya langsung berdebar kencang. Apakah telah lewat pukul dua belas malam, tanpa sempat nyanyian burung-burungan jam yang nyaring itu tertangkap oleh telinganya?
Pelan-pelan ia menyingkap selimut dan beringsut bangun. Agak ragu, suaranya mungkin gemetaran, ia menegur: “Tu-Tuan Sinterklas?”
Cukup lama tak ada jawaban. Hanya kesiur angin bersalju. Tapi lambat-lambat Tom melihat sosok besar itu meluruskan punggung dan berbalik. Tom tercekat. Sosok lelaki gemuk berjenggot putih dan berpakaian serba merah itu kini tegak di hadapannya. Sama sekali tak ada senyum ramah yang ia bayangkan. Justru sang Santo menatapnya begitu tajam, seolah hendak menelan Tom bulat-bulat. Kedua matanya memancarkan cahaya merah seperti pijaran api! Di luar sadar, Tom bergerak mundur.
“Karena kau telah melihatku, maka…,” suara itu demikian berat, seperti orang yang sedang memikul beban ratusan kilo. Lalu sang Santo mulai bergerak mendekat. Tom ingin sekali berteriak memanggil orangtua atau kakak-kakaknya atau siapa saja, tapi suaranya telah raib entah ke mana. Kakinya tertahan oleh tempat tidur. Sang Santo sudah semakin dekat. Ketika dia menyeringai, tampak oleh Tom deretan gigi-gigi yang runcing seperti gigi ikan hiu.
“Karena kau telah melihatku, maka kau harus…,” suara menyeramkan itu serasa bergaung di kedua telinga Tom. Keringat dingin membuat pakaiannya basah kuyup.
“Anak nakal, karena kau….”
Lamat-lamat dari kejauhan, Tom mendengar lagu Jingle Bell mengalun merdu.
***
JULIAN, temanku orang Inggris itu, tertawa terkekeh-kekeh. Aku ikut tertawa. Kami mengangkat gelas kopi yang tinggal separoh lalu melakukan tos. Natal sepi di Jawa, barangkali sedikit lebih ramai di sejumlah daerah lain di Indonesia. Mungkinkah Julian merindukan suasana Natal di negerinya? Salju, pesta Natal, Sinterklas? Ia mencomot sebiji tahu gorengan. Hujan masih rintik-rintik. Mbak separoh baya pemilik angkringan tampak duduk terkantuk-kantuk di depan kami.
“Bagus kan ceritaku barusan? Kau tulis ulang sajalah, kau kan penulis,” ujar Julian nyengir. Aku hanya mengangkat bahu. Sekilas sempat kulihat kedua mata birunya tampak berbinar-binar.
Ya, sampai sekarang aku memang tak pernah menanyakan padanya apakah kisah ini benar-benar karangannya sendiri atau ia dengar dari seseorang. Tetapi aku rasa cerita ini telah dicampur-aduk dengan sebuah dongeng tua Eropa. Setelah Julian menyelesaikan studi dan kembali ke negaranya, seingatku aku sempat menonton sebuah film horor yang diangkat dari dongeng semacam ini. Tentang “Setan Geraham Bungsu”—hantu perempuan yang akan datang menyambangimu dalam gelap jika kau menaruh gigi geraham bungsumu yang lepas di bawah bantal. Di mana, di bawah bantal itu, keesokan pagi ketika bangun, kau akan menemukan koin-koin emas sebagai penukar gigimu yang diambilnya. Namun jangan sampai sesekali kau melihatnya! Jangan sesekali…. (*)
Yogyakarta, 2009-2012
Leave a Reply