Cerpen Triyanto Triwikromo (Jawa Pos, 6 Januari 2013)
Mungkin cermin akan bilang, “Kamu sudah tua…. Kamu sudah harus memikirkan kuburan….” Mungkin cermin akan cerewet, “Tubuhmu tak lagi gemulai…. Kamu sudah harus berhenti menari….”
SETELAH para serdadu menangkapku di gereja Romo Sindhu dan mengurungku di kamar gelap yang mengakibatkan aku tidak mengenal kapan siang kapan malam, muncul desas-desus mereka akan mengeksekusi aku sebulan lagi. Akan tetapi tidak seperti yang senantiasa diancamkan, dua puluh hari menjelang dieksekusi, mereka belum juga mencungkil mataku. Para serdadu yang tidak pernah berbaju loreng-loreng itu malah menjadikan aku seperti Gendari. Mereka hanya menutup mataku dengan selendang hitam setiap menggiringku ke lapangan dan mempertontonkan kegemaranku kepada tahanan lain. Sejak itu, aku tidak pernah memandang matahari terbit dari hutan dan tenggelam ke tengah hutan. Sejak itu pula, aku tidak bisa menatap bunga-bunga bermekaran di taman atau burung-burung merontokkan sayap halus dari reranting atau dahan.
Yang kutahu, saat terselubung mataku mereka buka beberapa kali, aku dijebloskan di ruangan semacam sel di bangunan kuno menyerupai penjara dan harus siap menghadapi regu tembak. Yang kutahu semua dinding ruangan bercat hitam sehingga saat mata melek atau tak melek, aku merasa berhadapan dengan kegelapan yang tak bisa ditembus oleh cahaya seterang apa pun.
Kabar mengenai pengeksekusianku ternyata bukan isapan jempol. Romo Sel, paderi santun diminta menjadi pembimbing rohaniku, memberitahukan kabar yang tidak mengejutkan itu.
Aku tidak terkejut karena sejak semula yain tak akan pernah ada peradilan yang akan membebaskan aku. Dari pertanyaan-pertanyaan ngawur mereka saat menginterogasi, aku tahu sewaktu-waktu mereka memang akan mengeksekusiku.
“Dua puluh hari sebelum menghadapi regu tembak, kau berhak mengetahui dengan detail bagaimana mereka akan membunuhmu. Apakah kau ingin mengetahui satu jam terakhir kehidupanmu?” desis Romo Sel lirih, sesaat sebelum aku kembali ke sel, ke hari-hari penuh kecoak, lipan dan kelabang yang tak henti-henti berkeliaran, ke kegelapan.
“Apakah menurut Romo aku perlu mengetahuinya?”
“Tidak setiap orang inign mengetahui warna baju apa yang akan dikenakan saat henak dibunuh, Elisabet Rukmini. Yesus juga tak merasa perlu tahu apa warna kayu salib yang harus dipanggul dari jalanan pernuh teriakan busuk dari Bukit Golgota yang sunyi dan tak teraba oleh rumput atau satwa rumahan. Tapi, khusus untukmu, aku ingin kau mengerti apa yang akan dilakukan para sedadu satu jam sebelum kau dieksekusi….”
“Apakah Romo sudah tahu apa yang akan mereka lakukan kepadaku?”
Romo Sel tidak segera menjawab pertanyaanku. Angin Maret Alas yang selalu wangi, dingin dan tajam, menembus jubah ungu, menggigilkan sekujur badan paderi berwajah pucat itu. Aku tahu tubuh Romo Sel yang ringkih tak terlalu sanggup menahan udara malam yang memang senantiasa menggemelutukkan gigi dan membekukan otot dan tulang-tulang itu.
“Apakah Romo sudah tahu apa yang akan mereka lakukan?” aku bertanya sekali lagi.
“Tentu sangat tahu, Elisabet Rukmini. Peraturan Kota Alas mengharuskan siapa pun yang akan dieksekusi didampingi oleh seorang rohaniawan. Dan, sekadar tahu, komandan regu tembak yang akan membunuhmu telah memberi tahu segala hal yang harus kau lakukaan.”
Hmmm, akulah yang berhak menentukan satu jam terakhir kehidupanku. Bukan mereka.
Sangatlah konyol jika seorang manusia yang masih memiliki sejumput kemerdekaan bernapas, dan bisa melihat apa yang harus dilihat, mendengar apa yang harus didengar, dipaksa mengikuti kehendak orang lain. Bahkan Yesus pun tak pantas menyerukan teriakan menyedihkan, “Bapa…, Bapa kenapa Kau tinggalkan aku!” sesaat sebelum menjemput ajal, karena sesungguhnya Dia masih bisa memaksa Allah untuk menurunkan-Nya dari kayu salib, kalau mau.
Karena itu, 60 menit sebelum eksekusi aku ingin bercaka-cakap saja dengan Romo Sel mengenai mengapa para serdadu bertindak sebagai tuhan dan berhak menentukan segala hal. Jawaban atas pertanyaan itu tak terlalu penting. Aku hanya ingin tahu tanpa harus menggunakan pengetahuan itu untuk lebih memahami perilaku kotaku yang kadang-kadang menjijikkan dan menjengkelkan pada setiap hari Sabtu. Ya, pada hari Sabtu, pada 1965 yang getir, mereka selalu menembak siapa pun yang disangka sebagai Gerwani tengik tanpa peradilan, tanpa sang tahanan diberi kesempatan memberikan keterangan mengapa mereka menari-nari di hadapan para jenderal yang terbunuh dengan gigi rompal dengan mata melotot keluar.
Setelah itu, 10 menit kedua tak perlu kugunakan untuk membayangkan bagaimana arak-arakan pemakamanku dilakukan. Mungkin darah masih mengucur dari peti mati dan menggores jalan yang menghubungkan Kampung Pungkursari dengan Permakaman Ngebong. Mungkin malah tak seorang pun mau memakamkan aku, karena warga takut dianggap bersekongkol dengan setan, dengan Gerwani urakan.
Tentu 10 menit yang lain tak akan kusia-siakan. Kau tak perlu menduga waktu pendek itu akan kugunakan untuk berdoa. Sejak kecil, meskipun kerap keluyuran ke gereja Romo Sindhu, aku tak mahir berdoa. Tanpa berdoa aku merasa sudah dikelilingi malaikat-malaikat Tuhan, tentu bersayap ungu yang indah itu. Memang Romo Sel meminta aku sekali waktu berdoa dan lebih memahami pengorbanan Kristus agar dua puluh hari terakhirku tak sia-sia. Akan tetapi, aku bilang kepadanya, “Aku lebih karib dengan Lucifer dan segala keburukan, mengapa aku harus mencintai-Nya pula?”
Apakah pada 20 menit menjelang eksekusi aku akan menangis? Sama sekali aku tidak akan menangis. Aku nayris tak pernah meneteskan air mata sejak kerap menyaksikan ibu dihajar ayah. Aku tak meneteskan air mata saat ayah meninggal dan abunya kularung ke Kali Tuntang, sungai yang mampu mengahapus luka setiap warga Alas itu.
Lalu apa kira-kira yang akan kulakukan 10 menit sebelum eksekusi? Tak akan ada kejadian dramatis. Aku tak akan meminta Romo Sel mendoakan jasadku. Aku juga tak akan meminta siapa pun menguburkan jasadku di permakanan Ngenthak, kuburan terdekat dari kampungku. Sudah kukatakan kepada Romo Sel sebaiknya ia membakar mayat tak berguna itu di bantaran Kali Tuntang dan membuang begitu saja abunya ke Rawa Pening, danau penuh eceng gondok dan ular berbisa itu.
Ya, akulah yang berhak menentukan 10 menit terakhir kehidupanku. Bukan mereka.
Karena itu, aku akan ke kamar mandi. Di sana aku akan merenungkan kemungkinan-kemungkinan untuk lolos dengan jalan apa pun.
“Mengapa tidak bunuh diri saja jika tahu tak mungkin lolos,” tiba-tiba ada pikiran buruk dan konyol melintas.
“Bagaimana kau akan bunuh diri? Tak ada racun serangga atau pisau di kamar mandi penjara?” suara lain di otak menyela.
Kau sangka di tempat menyerupai penjara ini kau tidak bisa menyimpan apa pun yang bisa membuatmu mati dengan cepat? Kau sangka penjaga yang lebih kuanggap sebagai sipir palsu itu bekerja dengan disiplin yang tinggi sehingga tak ada satu barang pun yang bisa diselundupkan ke ceruk yang kau sangka steril dari pisau, silet, racun serangga, dan segala candu yang bisa memisakan nyawa dari raga?
Pisau yang sewaktu-waktu bisa kugunakan untuk melukai penjaga, kau tahu, telah diselundupkan oleh Romo Sel yang tak percaya sedikitpun aku berada dalam gerombolan Gerwani, apalagi terlibat dalam pembunuhan jenderal. Romo Sel tak rela kau menderita atas hal-hal yang tidak kulakukan, menyimpan pisau itu di Alkitab. Bagian dalam Alkitab bergambar Kristus tersalib itu dilubangi seukuran pisau, sehingga penjaga tahanan lain yang paling awas pun akan menyangka tak ada senjata berbahaya yang kapan pun bisa kugunakan untuk memutus urat leher.
Romo Sel juga sangat piawai memasukkan silet-silet di kardus bungkus rokok yang masih tersegel. Sipir gadungan itu paling-paling hanya akan menganggap perokok akut karena hampir setiap besuk Romo menyelundupkan apa pun yang kinginkan di dalam kardus rokok itu. Dan, aku geli setengah mati saat Romo menyimpan pil tidur di celana dalam karena tahu benar para serdau tak akan memeriksa tubuh para rohaniawan dengan rinci.
Jadi, sekali lagi, tak perlu kau bertanya, bagaimana aku akan bunuh diri. Pisau atau racun di kamar mandi bisa kusediakan kapan saja. Tinggal pilih aku akan mengiris nadi, menusuk pisau tepat di ulu hati, atau menegak racun sampai mati.
Akan tetapi, kau yakin aku tidak akan bunuh diri sebagai jalan keluar. Kau tahu aku pasti ingin mengungkapkan kekejaman sedadu rahasia Soeharto ini ke dunia luar. Jadi memang sepuluh menit terakhir sebelum kematian, memang akan kupergunakan untuk memikirkan jalan yang masing mungkin kutempuh untuk hidup.
“Hanya, mengertilah, Elisabet Rukmini, 60 menit sebelum lambungmu diberondong oleh regu tembak terbaik, sama sekali kau tak diberi kesempatan untuk memikirkan apa pun. Semua hal sudah diatur secara detail oleh komandan regu tembak. Dan, sekali lagi kukatakan kepadamu, kau berhak mengetahui kapan kau akan disuntik agar otakmu tak berontak saat ditembak, kapan kakimu dilumpuhkan agar tak lari, kapan kau diindoktrinasi agar hanya percaya kepada kebesaran paham-paham yang dianut oleh para serdadu, dan pada detik ke berapa kau harus menghentikan napasmu agar tidak bisa lagi mewujudkan keinginan-keinginanmu….,” Romo Sel mendesis-desis dan tampak menduga-duga apa yang sedang kurencanakan dalam waktu yang sangat sekejap itu.
Ini tentu membuatku tergagap. Tak mungkin lagi aku menyembunyikan apa pun yang kuinginkan di hadapan paderi yang pandangan mata batinnya bisa menembus segala hal yang kusimpan di otak atau hatiku.
“Aku…. Aku tak ingin tahu apa pun yang akan terjadi, Romo. Tapi aku tahu sepuluh menit terakhir kehidupanku. Bukan mereka, Romo. Bukan mereka.”
***
MESKIPUN aku bisa melakukan apa pun, aku tidak berniat bunuh diri. Karena itu, pada sepuluh menit terakhir aku hanya ingin bercermin. Aku ingin melihat wajah terakhirku dengan lebih detail. Di cermin, aku ingin melihat galur-galur indah yang menghias wajah seorang penari. Wajah itu tidak pernah kulihat lagi sejak para pemburu Gerwani mengejar-ngejar dan menyiksaku, sejak mereka selalu menutup mataku dengan kain hitam, sejak mereka tidak memasang cermin di bangunan sel yang memenjarakanku.
Mungkin cermin akan bilang, “Kamu sudah tua…. Kamu sudah harus memikirkan kuburan….”
Mungkin cermin akan cerewet, “Tubuhmu tak lagi gemulai…. Kamu sudah harus berhenti menari….”
Hmmmm, tidak akan kupecah cermin itu jika ia mencerocos semacam itu. Tetap saja aku akan menatap cermin itu. Mungkin di balik cermin itu justru kutatap wajah indah dan tubuh yang terus berusaha menarikan serimpi dengan hasarat meletup-letup.
Akan tetapi, sudah cukup lama mereka membuatku seperti Gendari. Aku hanya dipaksa melihat kegelapan. Karena itu, ketika kupaksa membuka penutup mata dan menatap cermin yang diselundupkan Romo Sel, aku tidak bisa melihat lagi siapa-siapa. Aku melihat wajah-Nya. Aku tahu sudah lama Dia meninggalkanku. Aku tahu mungkin Dia juga sudah tidak berhasarat melihat aku menari atau tersenyum dengan wajah berbalut bedak merah jambu.
Namun, aku yakin dalam kegelapan yang sangat pekat itu, aku melihat bayanganku berjalan tegak keluar dari bui. Dia membuka pintu dan memandang cahaya matahari yang hendak tenggelam ke balik bebukitan dengan mulut yang terus terkunci.
Saat itu, kau tahu, sedikitpun aku tak peduli apakah aku akan dibiarkan hidup atau secara sembarangan ditembak mati. (*)
Triyanto Triwikromo, peraih Penghargaan Sastra Pusat Bahasa untuk kumpulan cerpen “Ular di Mangkok Nabi” (2009), tinggal di Semarang.
dawam
Bingung.
daine
Temanya apa ini ? –“
Maheswara Mahendra
Saya suka gaya penulisan Triyanto Tiwikrowo, padat …. mengalir.
Menceritakan sesuatu yang ada di sekitar pikiran kita, secara baru.
Tks Kompas