Rilda Taneko

Antara Den Haag dan Delft

5
(1)

Cerpen Rilda A.Oe Taneko (Koran Tempo, 3 Februari 2013)
Antara Den Haag dan Delft ilustrasi Yuyun Nurrachman
Hidup yang kami jalani bukanlah hidup kami
Rumah, pepohonan, langit yang asing
Tanah yang kami pijak bukanlah tanah kami
Bahasa yang kami ucap bukanlah milik ibu kami
Kami bukanlah diri kami
Dan semua terjadi karena gerbang itu.
 
Den Haag – Delft, Musim Gugur
“Ketika melalui gerbang itu, saya tak pernah menyangka akan diantar pada dunia yang sungguh asing, Nak,” kakek di sampingku memulai kisah.
Aku mengangguk-angguk. Aku tidak mengenalnya. Ia duduk di sampingku sejak dari Den Haag. Lalu, melihat aku serupa dengannya, sama berambut hitam, bermata hitam, berkulit gelap, bertubuh tak tinggi dan berhidung tidak mancung, ia tersenyum senang. Rambut kami sama tegak ijuk, hanya miliknya diselipi uban di sana-sini.
Aku menyapanya, “Selamat pagi.”
Senyumnya melebar, dan setelah itu ia memulai kisahnya.
“Gerbang itulah batas akhir rumah dengan tempat asing. Kemudian, saya terbang membumbung di angkasa, melampaui samudera dan benua, terkantuk-kantuk hingga kembali bangun, melihat mentari merah sekejap lalu gelap malam sebentar kemudian. Lalu, ratusan lampu jalan dan penanda pendaratan: sebuah gerbang yang lain. Semua yang ada di luar gerbang tak pernah sebelumnya saya lihat. Itulah awal perjalanan panjang saya. Hidup di tanah yang asing. Tak pernah tahu rupa orang-orang yang akan saya temui, seperti apa tempat yang akan saya kunjungi, jalanan yang akan saya lalui, pepohonan yang berdiri di sisinya. Tak pernah dapat menduga bebauan yang akan tercium dan rasa yang akan terkecap. Segalanya sungguh asing, Nak.”
Aku terdiam, larut dalam ceritanya.
“Saya mulai menjelajah tempat-tempat. Ada kalanya saya membawa peta, kebanyakan hanya berjalan tanpa tujuan, berharap akan berujung pada tempat indah nan rahasia, yang tak ditemui di peta mana pun. Sungguh menyenangkan perjalanan saya itu, pada awalnya. Hari-hari dipenuhi keingintahuan, petualangan baru dan pengembaraan. Namun, yang demikian itu tentu tak akan berlangsung selamanya, Nak.”
Ia menghela napasnya, dalam. Aku mengangguk, melihat diriku di dalam ceritanya. Di balik jendela tram, sungai mengalir lurus, rumah-rumah kapal bergoyang. Jembatan terbelah, bergerak naik, membiarkan kapal-kapal lewat. Orang-orang bersepeda, orang tua, orang muda dan anak-anak. Pemuda dengan bunga di dalam keranjang sepeda. Mereka menunggu jembatan kembali datar. Lalu rerumputan, bangku-bangku kayu, berselang-seling pokok-pokok mapel dan sikamor. Daun-daun berserak, mewarnai hijau rumput: kuning, cokelat, merah.
Ketika aku kembali padanya, kakek itu masih berbicara.
“Banyak orang yang kembali pulang. Tapi tak semua orang yang pergi dapat kembali. Macam-macam alasan yang menahan mereka. Ada yang memang berniat menetap di negara ini, yang ditawari pekerjaan, jatuh cinta dengan penduduk lokal lalu tinggal, ada yang ilegal, ada juga, yang tertahan pulang, seperti saya sendiri.”
Kala ia mengucap kata-kata terakhir itu, suaranya bergetar.
“Dan, di tiap-tiap pengembaraan ada saatnya menetap, memulai hidup di satu tempat, mengenal orang-orang yang itu-itu juga, melalui jalan dan gedung yang sama dan, harus, mencari pekerjaan. Sejak saya tak bisa pulang dan beasiswa dicabut, saya menjadi pencari suaka di negeri ini. Dengan status itu, saya berhak tinggal dan hidup dari tunjangan negara.”
Lalu, seolah takut aku akan menghakiminya, ia segera melanjutkan, “Tapi saya tidak pernah menggantungkan diri pada tunjangan. Alasannya: harga diri. Walau pun negara ini menjamin kesejahteraan penduduk tak mampu, orang-orang kerap bicara di belakang, tentang imigran yang menghabiskan uang pajak, tentang para pendatang yang malas dan mau enaknya saja tinggal di negara kaya. Macam benalu saja, seperti itulah kira-kira pembicaraan mereka. Untuk orang yang hampir sepanjang hidupnya tak pernah bergantung pada siapa pun, tak pernah menganggur dari pekerjaan barang sehari juga, disebut benalu tentu sangat sakit sekali. Karenanya, saya selalu bekerja, Nak.”
Aku percaya padanya.
“Sejak saya mendapat izin kerja, saya mati-matian mencari pekerjaan. Tidak mudah, Nak. Dengan bahasa Belanda yang terbata-bata dan kualifikasi pendidikan yang berbeda, tak banyak pilihan pekerjaan bisa saya lamar. Sempat saya kehabisan uang, tak mampu bayar kamar sewa, hingga menumpang di penampungan tuna wisma. Akhirnya, saya mendapat kerja juga. Bukan kembali seperti saat di Indonesia dulu, di negara ini saya menjadi… (terdiam).”
Lalu kebisuan yang tak mengenakkan. Kebisuan itu hinggap di antara kami dan seolah enggan pergi. Tram berbelok, berguncang, memasuki Kota Delft. Sebuah kincir angin tua berdiri di antara jalur tram dan jalan. Ketika aku hendak turun di perhentian tram di depan Balai Kota Delft, kakek itu menyodorkan kartu namanya.
Aku menyeberang jalan, melewati lorong sempit samping gedung balai kota. Lalu jembatan, kanal dan sepeda-sepeda yang diikat ke besi jembatan. Aku terus melangkah, menapaki batu-batu, gerisik dedaunan kering, sampai di pusat kota.
Di tengah plaza, seorang perempuan melambai, “Ito!”
Ia berlari ke arahku, rambut merahnya meriap-riap. Ia memelukku ringan dan mencium pipiku, tiga kali. Sentuhan pipinya terasa dingin. Ada sebuah rumah makan Indonesia, tak jauh dari cetrum, tak mahal dan makanannya sedap, ia berkata.
Setelah hari itu, aku selalu bertemu kakek di dalam tram pada tiap pergantian musim.
 
Delft, Musim Dingin
Kami bertemu di sebuah restoran, tak jauh dari Oude Kerk, gereja tua yang berdiri miring.
“Saya sudah tua. Tiba-tiba saja wajah sudah penuh kerut-merut,” ia menuang anggur merah ke gelas kaca, menyesapnya, matanya terpejam. Ia melanjutkan, “Rambut yang dulu tebal dan hitam, jadi beruban dan jarang. Gigi pun tak lagi lengkap dan berlubang.”
Ia sesap lagi anggurnya. Aku khawatir ia mabuk sebentar lagi.
“Waktu telah melumat habis, mengambil semua yang pernah menjadi saya, menyisakan semangat pudar pada tubuh yang renta, merangkum hidup saya entah sebagai apa.”
Lalu ia menyumpah, memainkan jemarinya di bibir gelas, berputar-putar pelan. Ia menengadah, melihat langit-langit. Matanya berkabut.
“Jika saja dulu saya tahu,” ia merancau, “bahwa gerbang keberangkatan di Bandara Halim itu akan mencuri dunia saya, dan mengantarkan saya menjadi bukan siapa-siapa di negeri asing ini, tentu saya akan berlari sekencang mungkin untuk menghindar.”
Ia menyerapah, memandang ke lantai kayu, mengentakkan kaki. Sepatunya hitam, berbahan kulit dan berujung lancip. Lantai kayu berderik. Ia sudah mabuk, pikirku. Di balik kaca etalase restoran, hujan turun. Aku melirik jam tanganku. Masih jam lima sore, namun hari telah pekat. Pendar dari lampu-lampu kaca di pinggir jalan berkedip. Satu-dua kali cahaya dari lampu mobil menembus gelap, menerangi kanal dan besi jembatan. Sorot lampu mobil juga membuat hujan serupa jarum-jarum berkilat. Lalu gelap kembali melingkupi. Bunyi air mengalir di pipa pemanas di sampingku halus terdengar. Aku merapatkan jas.
“Besok saya akan puasa Arafah,” katanya, memecah hening.
Aku mengerutkan kening.
“Saya seorang muslim,” ia terbahak, melihat gelasnya, mengangkatnya sepandangan mata. Anggur bergoyang di dalam gelas. Lalu ia letakkan kembali gelasnya. Sepercik anggur jatuh ke meja kayu ek.
“Saya seorang muslim,” ia mengulang.
“Tapi kau pemabuk,” kataku. “Dan kau baru saja menghabiskan sepiring steik babi.”
Ia memandangku. Matanya berkabut.
“Esok aku harus kembali ke Den Haag,” kataku.
Ia habiskan anggurnya dalam sekali sesap.
“Dan besok saya akan berpuasa Arafah,” katanya.
 
Den Haag, Musim Semi
Kami bertemu di taman samping istana, pada sebuah bangku kayu. Merpati berkerumun dekat gerobak olliebollen. Udara dipenuhi harum mawar, gula dan donat. Ia duduk di sampingku, membuka-buka agenda hariannya, dan mulai bercerita. Seolah aku pasti tertarik dengan kisahnya.
“Setiap pagi saya mengayuh sepeda ke sebuah rumah makan Indonesia. Di rumah makan itu, saat makan siang pengunjung cukup ramai. Di sana saya mencuci piring selama dua jam. Upah per jam empat gulden, dan dalam sebulan saya dapat dua ratus empat puluh gulden. Jumlah yang sesungguhnya tak banyak, namun cukup untuk memenuhi kebutuhan sehari-hari: membayar kamar sewa, menabung lima gulden, dan sisanya untuk makan.”
Aku mengangguk. Tahukah orang tua ini bahwa ia telah merusak pagiku? Di taman ini aku hanya ingin menghirup bebauan musim semi, manis donat dan memandangi tulip warna-warni yang bergoyang. Bukan dan sama sekali tidak ada niatku untuk mendengar ceritanya.
“Di sore hingga malam hari, saya ikut kursus apa saja, asal cuma-cuma. Mulai dari kursus bahasa Belanda, membetulkan sepeda, komputer untuk pemula, matematika, sampai membuat keramik. Saya tidak ingin terus menerus mencuci piring. Dengan mengikuti kursus-kursus itu, saya berharap kehidupan saya akan lebih berarti.” Ia terdiam, menoleh padaku dan bilang, “Sampeyan pastinya pelajar, toh.”
Aku menelan ludah. Pahit.
 
Delft, Musim Panas
Kami bertemu di kamarnya, di loteng lantai tiga sebuah rumah bedeng. Ada lima kamar di rumah itu, hampir semua penghuninya kerja serabutan macam ia juga. Kecuali penghuni satu kamar bawah, yang juga pemilik rumah, yang bekerja memasak di sebuah kedutaan negara.
Kamarnya sungguh sempit, hanya seluas rentangan tangan. Sebelah ruang miring mengikuti atap. Kertas dinding pudar dan mengelupas. Di sudut dinding, lumut menghitam oleh kondensasi. Sebuah wastafel tua, kacanya berbintik-bintik hitam, bersebelahan dengan meja berlaci. Permukaan meja ia pakai untuk meletakkan apa saja, mulai dari makanan, piring-gelas sampai buku. Kasur tidurnya sudah tipis sekali, ketika aku duduk, pernya terasa menusuk.
Ia menawari aku makan. Ada makanan sisa kemarin, katanya. Ayam dibumbui rendang. Kami makan sambil memandangi jendela. Luar jendela itu hanya dinding bata flat sebelah. Tapi cukuplah untuk menghindari pandangan mataku dari dinding kamarnya yang buram.
“Kau tahu,” ia berkata di sela kunyahan, “dulu saya seorang profesional. Profil saya ramai ditulis koran-koran. Tapi di sini, tak ada seorang pun mengenal saya.”
Ia tersenyum kecut. Jemari tangan kanannya berlumuran bumbu rendang, dan nasi menempel di sana sini.
“Dulu, saya seorang mahasiswa yang aktif di organisasi seni. Saya telah menulis dan mementaskan naskah pertunjukan teater di berbagai kota. Saya piawai menyutradarai macam-macam drama sastra, dan memiliki tiga buku puisi tunggal. Banyak penghargaan saya dapat. Orang ramai memuji. Banyak yang berkata, saya berpotensi menjadi seniman besar Indonesia! Dengan umur semuda itu!”
Aku diam, berusaha menghabiskan nasiku. Sebagian nasi yang ia suguhkan sudah mengering, dan ini sulit sekali untuk kukunyah.
“Kau tak percaya?” ia bertanya.
Aku mengeleng, lalu mengangguk. Mulutku penuh, tak bisa menjawab pertanyaannya. Selesai makan, ia mengajakku ke rumah kenalannya. Aku melirik jam di dinding. Sudah jam sembilan malam, tapi matahari masih terik di luar sana. Aku mengiyakan ajakannya.
Ia menuju satu-satunya radiator pemanas di kamarnya. Lalu ia mengambil jas di gantungan di balik pintu dan mengenakannya. Ia kembali berlalu ke radiator pemanas, memastikan radiator itu mati.
Ini musim panas, pikirku, radiator itu mungkin sudah dimatikan berminggu-minggu lalu.
Dan ia masih terus berbicara, “Setiap malam, sendirian di kamar yang sempit, badan terasa remuk redam. Betis kaki lelah kejang mengayuh sepeda. Ada kala hati pun terasa penat luar biasa. Jika sudah begitu, saya kembali menguatkan diri. Saya kembali mengingat-ingat kenangan tentang Indonesia. Tentang rumah, keluarga dan sahabat. Ah, setidaknya saya masih hidup. Tidak seperti kawan-kawan lain, yang dipenjara, disiksa dan kuburnya entah di mana.”
Ia membukakan pintu kamarnya, menyilakan aku keluar. Ia masih terus bercerita, “Dulu tabungan saya cukup banyak. Dengan tabungan itu saya berharap dapat pulang ke Indonesia. Namun lama-kelamaan tabungan itu sering terpakai. Ada-ada saja penyebabnya. Ban sepeda yang perlu diganti. Jaket hangat yang berlubang dan sepeda yang dicuri orang, memaksa saya membeli yang baru. Gigi yang kerap sakit memerlukan biaya perawatan.”
Ia mengunci pintu dan kami menuruni tangga. Satu-dua anak tangga, ia memintaku menunggu. Gegas, ia kembali ke pintu kamarnya, memutar pegangan pintu berkali-kali, memastikan pintu telah dikunci.
Lalu, ia kembali menuruni tangga, dan masih melanjutkan kisahnya, “Kalau saja tak ada peristiwa itu. Kalau saja saya menolak beasiswa yang diberikan pemerintah atau puas berkuliah di dalam negeri saja. Tentu saya tak akan sengsara seperti ini. Tak akan merasa kesepian yang sangat. Bahkan mungkin, saya tak akan mengenal apa itu ‘kesepian’. Dan mungkin saja, saya sukses dan hidup bahagia.”
Di luar rumah matahari bersinar hangat dan burung-burung merpati ramai mematuki sela-sela bebatuan jalan. Kami berjalan pelan, menuju taman. Satu-dua langkah, ia memintaku berhenti. Ia berlari ke pintu utama rumah sewanya, memastikan pintu itu sudah ia kunci.
 
Ito dan Khaled
“Kemari, minum teh dulu, Ito.”
Aku membungkuk dan menyemprotkan desinfektan ke tempat duduk kloset. Mengelap dudukan itu melingkar, kemudian mengangkatnya dan menyandarkan pada tangki air. Di sudut-sudut bagian belakang dudukan terlihat bercak-bercak sisa orang buang hajat. Sungguh menjijikkan dan berbau tidak sedap.
“Orang-orang kerap terlalu tak peduli untuk membersihkan kotorannya sendiri,” dengusku.
Tak terkecuali di kantor yang mewah seperti ini, yang mempekerjakan ratusan orang pintar, yang berpakaian rapi dan wangi. Perlakuan mereka terhadap kebersihan toilet tak jauh berbeda dengan perlakuan teman-teman di rumah sewaku, yang kebanyakan imigran berpendidikan rendah, tak memiliki pakaian mahal dan jarang mandi, berbau harum apalagi.
Segera saja kusemprotkan berkali-kali cairan pembersih, dan menyapukan lap ke sekeliling tutup. Seandainya cairan pembersih yang kupakai beraroma apel atau lavender, tentu pekerjaanku akan jauh lebih menyenangkan. Tapi, tentu karena harga pengharum itu dua kali dari pembersih biasa, tak pernah kantor ini menyediakannya.
Selesai dengan tutup dudukan kloset, hati-hati aku menuangkan cairan pemutih pada mangkuk kloset, demi memastikan bahwa sela-sela ceruk pangkal mangkuk ikut tersiram. Kemudian, dengan sikat berpegangan panjang, kubersihkan sampai ke ujung leher pipa. Cairan pemutih yang berwarna kekuningan berubah kecokelatan karena bercampur kotoran. Kutekan tombol siram. Air berhambur deras dari tangki, menghapus semua kotoran dan meninggalkan mangkuk kloset yang putih bersih. Selesai sudah yang satu ini.
“Ito, minumlah dulu,” Khaled kembali memanggil. Di gedung ini, Khaled bertugas mengepel lantai.
Keluar dari bilik jamban, kulepaskan sarung tangan karet kuning. Sambil membawa botol desinfektan dan cairan pemutih, aku menuju gudang perlengkapan, meletakkan botol-botol itu pada sebuah rak. Setelah itu aku pergi ke wastafel, membasuh tangan dengan sabun dan air hangat.
“Aku sudah minum teh pagi tadi,” kataku.
“Satu setengah jam yang lalu? Ayolah minum dulu barang segelas.”
Akhirnya aku menarik sebuah kursi kayu berkaki tiga dari bawah rak, duduk bersebelahan dengan Khaled di lorong gudang perlengkapan yang sempit, penuh sesak oleh sapu, ember, pel dan berol-rol kertas toilet, juga segala macam bentuk dan warna botol-botol cairan dan semprotan pembersih. Kursi yang kami duduki terlalu kecil untuk Khaled. Ia terlihat seperti raksasa yang duduk di kursi kanak-kanak. Khaled menuangkan teh panas, dari termos yang ia bawa dari rumahnya, ke gelas plastik.
“Bagaimana kursus bahasa Belandamu?” tanyaku, meneguk hangat teh.
“Mijn naam is Khaled,ik komt uit Afghanistan en ik hou van patat met mayo.”
Sambil mengucap itu, mata Khaled berputar-putar jenaka, alis tebalnya naik turun. Aku tertawa. Masih ada sekitar dua puluh empat kloset lagi yang harus aku bersihkan. Sebaiknya aku bangun dan bergegas. (*)
 
 

Baca juga  Seekor Capung Merah

Delft-Lancaster, 2012

Loading

Average rating 5 / 5. Vote count: 1

No votes so far! Be the first to rate this post.

2 Comments

  1. Cerita sastra dari Luar Negeri membawa suasana baru dan penuh kesegaran.
    Inspiratif …. Thanks Bro !!

  2. rafsyafai

    Ceritanya bagus. Muramnya kental. Joseph dan Sam juga, muram. Suka bgt gaya bertutur Rilda..

Leave a Reply

error: Content is protected !!