Cerpen Raudal Tanjung Banua (Koran Tempo, 24 Februari 2013)
JIKA terdengar rabab digesek, tergitik dawai-dawainya, dijentik berdenting-denting, lalu menimpal orang di gelanggang, “Oi, rabab, tolong sampaikan,” maka suara tukang kaba membubunglah; menyampaikan kisah yang dipinta pendengarnya. Kaba Cindur Mato dan Puti Bungsu, Nan Gombang dan Andam Dewi, Rambun Pamenan, Bujang Jibun, Gadih Basanai, tinggal pilih. Siap dimainkan semalam suntuk, sejak embun pertama turun di pinutu hingga ayam jantan berkukuk subuh-subuh.
Si tukang kaba yang bersila di kasur kapuk tak ubahnya sopir bis membawa penumpang segelanggang menyusuri jalanan kisah yang berliku, melewati kampung-kampung tersuruk di mana untung-nasib tidak menenggang.
“Ahai, Tungganai, tertawalah sedikit!” menghimbau seorang hadirin.
“Tak bisa tertawa awak, Dunsanak, iba hati selilit pinggang,” jawab si Tukang Gendang, yang jika kaba sudah didendangkan, ia akan beralih fungsi sebagai pendamping tukang kaba—menghidupkan suasana.
“Bawalah tegak!”
“Tak bisa tegak, Dunsanak, burung di sangkar sudah patah….”
“Patah hati atau selera?”
“Susah kubedakan….”
“Patah hati bawa berlari, bawa gadis berbaju merah; patah selera tambah kopi, api di tungku masih nyala. Oi, orang di dapur, sudah terdedak kopi di sini, pagi belum tiba!”
“Yoolah!” meningkah suara dari dapur.
Begitulah suasana pertunjukan kesenian tradisional di daerahku, Kabupaten Pesisir Selatan, Sumatera Barat, yang dikenal sebagai rabab pasisie. Di antara gesek biola, selalu ada teriakan merespon kaba, antara tungganai dan orang ramai. Tak hanya menghidupkan suasana dalam gelak tawa, pun saling tembak sesama penonton. Juga ajang meminta tambahan makan atau sekadar kopi pada siempunya helat. Suasana kian gayeng jika kaba dibawakan oleh perabab kenamaan.
Para peneliti rabab pasisie nicaya tahu nama perabab tersohor dari daerahku beserta cerita favoritnya. Kaba Zamzami dan Marlaini yang dibawakan Syamsuddin, misalnya, pernah diteliti seorang pengajar dari Universitas Andalas yang sekarang pindah mengabdi di Leiden University. Juga kaba Malin Kundang oleh perabab yang sama, ditranskrip ke dalam buku Seri Tradisi Lisan Nusantara. Sebuah kaset sudah pula dihadirkan oleh peneliti lain dalam apa yang disebut “Musik Malam”.
Tapi diteliti atau tidak, dipromosikan atau bukan, berani kukatakan bahwa perabab paling terkenal di daerahku bernama Pirin. Bukan Pirin sembarang Pirin, tapi berkait-pilin dengan apa yang orang tunggu: jaminan mutu! Anehnya, sosok Pirin tidak satu. Nama itu semacam gelar, lekat dengan nama tukang kaba yang memang layak mendapatkannya. Meski sebanyak nama di kepala, hanya tiga yang benar-benar kekal.
Pertama, tentu si empunya, muasal nama, disebut orang Pirin Gadang, artinya Pirin Besar. Bukan saja badannya yang memang tambun, juga karena ia senior: jam terbangnya tinggi. Dalam kaset rekamannya yang beredar sejak tahun 80-an, ia dikenal dengan nama Pirin Asmara. Suaranya serak-serak basah, tapi sanggup meninggi ketika dawai digesek pilu, dan cepat jadi jenaka ketika dawai dijentik tiga kali sehingga seorang gadis yang belum selesai menghapus air mata seketika akan beralih menahan tawa. Pandai memainkan perasaan, seolah mengaduknya dalam bejana, itu keunggulan Pirin Gadang atau Asmara.
Dan kenapa pula pakai Asmara? Tak ada yang tahu persis. Sebagian menyebut itu trik studio rekaman yang lumrah membuat tiap nama jadi komersil. Ada yang percaya lantaran banyak perempuan tak bisa lelap sehabis mendengar dendang Pirin. Keduanya mungkin benar. Konon, istri Pirin memang lebih dari satu, jika itu ada kaitan. Apa pun, atas semua keunggulanlah namanya layak belaka disandangkan pada perabab lain yang dianggap punya bobot setimpal. Tapi semua yang berlaku di dunia ini kehendak Allah: Pirin Gadang atawa Pirin Asmara yang berbobot itu telah dipanggil-Nya empat tahun lalu, dan aku mendengar beritanya dengan sedih mendalam, di rantau jauh.
Perabab berikutnya Pirin Ketek, artinya, Pirin kecil. Badannya kurus, masih muda, dan setahuku belum pernah “melempar” kaset. Sungguh pun begitu, sesekali ia muncul dalam vcd dengan video klip seadanya. Badannya boleh kecil, tapi dendangnya tajam merasuk. Sayang, ia menghilang ke seberang, Malaysia. “Ia melakoni kaba-nya sendiri yang paling diminati: Tertawan di Bilik Siti,” kata Angku Panjang Janggut, seorang tua, sahabat bagi semua yang muda di kampungku.
Di antara dua nama itu (atau lebih banyak lagi nama yang tak meyakinkan menyandang nama Pirin), ada satu lagi perabab yang tak bisa dianggap tanggung. Nama sebenarnya Madin, namun karena dianggap berbakat, maka orang menamainya Pirin pula, tinggal mengubah gelarnya. Seperti Pirin Ketek itu, nama sebenarnya Zulkifli bin Narus. Seharusnya, dengan kemampuannya Madin bisa menjadi Pirin Tengah—tidak besar tidak kecil—tapi ia malah populer sebagai Pirin Bana. Artinya bisa Pirin yang sebenarnya, juga bisa berarti Pirin Benar—orang yang lurus.
Teringat itu semua, inginlah aku mengundang seorang perabab untuk tampil di rumahku. Bertahun-tahun di rantau, lalu pulang sesekali (kali ini menghelat khitan anakku) apa salahnya aku menanggap rabab? Meski beberapa panitia helat tak setuju, dan mereka ramai-ramai mengusulkan orgen tunggal yang memang sedang laku. Aku bergeming. Namun ketika nama Pirin Bana kusebut, mereka, antara menang dan murung menjelaskan bahwa perabab paling kurindu itu sudah lama tak bakaba!
“Kenapa bisa begitu?” tanyaku ragu.
“Uwan tanya saja Rikal, dia paling tahu soal itu,” jawab Badar, ponakanku.
BESOKNYA aku bertemu Rikal Sikumbang, sahabat selapik-seketiduranku dulu. Dalam perjumpaan yang hangat, kusampaikan maksudku untuk mengundang Pirin Bana. Bukan kebetulan, karena aku dan Rikal adalah pengagum berat Pirin Bana. Bahkan kami pernah berkeinginan merekam Grup Rabab Tigo Selo—formasi Pirin Bana jika membawakan raun sabalik—kemudian mengemasnya dalam vcd sederhana. Raun sabalik adalah lagu berbalas pantun antara perabab, tukang gendang dan seorang atau lebih penyanyi (biasanya perempuan), sebelum kaba didendangkan.
Ini pasti menarik, pikir kami dulu. Sebagai seorang tukang foto keliling—lalu berkembang jadi jasa perekam video—Rikal memang senang mendokumentasikan pertunjukan rakyat di daerahku. Tapi niat untuk mengemas Grup Tigo Selo tak pernah kesampaian. Sampai aku memutuskan merantau ke Jawa.
Kini kuutarakan niatku pada Rikal. Lama ia terdiam. Barulah ketika kusentuh bahunya, ia berkata setengah gumam, “Sudah tak ada Pirin Bana.”
Inilah soalnya. “Ya, kudengar ia lama tak bakaba. Kukira hanya alasan anak-anak supaya aku memilih orgen tunggal.”
Rikal lalu bercerita bahwa Pirin Bana tak muncul lagi di gelanggang setelah ditegur oleh “orang pemerintah”. Itu terjadi justru ketika Pirin diutus untuk mewakili daerahku dalam Festival Seni Tradisi di Taman Budaya, Padang, dua tahun lalu. Dalam siaran panitia jelas-jelas disebutkan supaya Madin alias Pirin Bana membawakan cerita rakyat daerah kami. “Kaba daerah kita,” kata orang kabupaten ringkas. Rikal bisa menirukannya karena ia disewa untuk mendokumentasikan kegiatan tahunan itu.
Hal yang sama diminta kepada pemain randai, di mana mereka akan memainkan Curito Rambun Pamenan. Hanya pemain asyik lukah atau lukah gilo yang tak dapat pesanan serupa, karena toh mereka akan bermain sebagaimana lazimnya: lukah atau bubu ikan didandani, diberi pakaian, dibacai jampi-jampi, lalu si lukah bergoyang, kian lama kian liar seperti kerasukan. Tak seorang pun kuat menahannya, kecuali sang pawang yang mengendalikan permainan dengan lecutan lidi tujuh helai. Pemain randai sebenarnya juga tak perlu dipesankan, karena Grup Sampan Pokong terbiasa bekerja sama dengan orang kabupaten. Jadi permintaan itu lebih tertuju pada Pirin Bana.
“Masih kusimpan rekaman Madin malam itu, mari kita putar,” kata Rikal.
KETIKA menonton “Insiden Taman Budaya” (demikian Rikal melabeli rekamannya), aku merasa betapa luar biasanya kaba Pirin Bana. Muka orang kabupaten kami, termasuk petinggi propinsi, dibuat merah. Betapa tidak. Ia ceritakan Jalan Kambang-Muarolabuh atau Kambura yang terbengkalai di daerahku. Jalan itu menghubungkan pantai barat Sumatera dengan Solok Selatan di balik Bukit Barisan. Karena memintas Taman Nasional Kerinci Seblat (TNKS), pembangunannya tertunda terus, meskipun masyarakat punya alasan kuat menuntut penyelesaiannya. Salah satunya kekhawatiran akan tsunami. Tapi tak mempan mengusik pihak yang merasa berhak. Siapa mereka? Dalam beberapa pantunnya, Pirin menyinggung soal itu (sebagaimana kutranskrip):
Oi, entah udang entahnya lintah
Sembunyi di balik batu
Entah undang-undang entah pemerintah, oi
Sembunyi-sembunyi di jalan Kambang-Muarolabuh
Oi, tinggi bukitnya Marapalam
Sebelit tumbuh batang palem
Tinggi bakti kami pada alam, oi
Sakit dituduh main tebang orang LSM
Oi, lunyah lumpur buatlah bata
Dibeli ‘nak orang Balai Selasa
Sejak campur tangan Bank Dunia, oi
Katanya TNKS dunia punya, nasib kami entah di mana
Pirin pun bercerita tentang sebuah keluarga di Batangkapas yang terpaksa makan tanah karena tak sanggup membeli beras. Juga soal harga gambir yang dimainkan toke India, sementara pemerintah sibuk mengurusi kebun sawit milik pengusaha.
Tak tahan dikuliti, pejabat kabupaten memerintahkan stafnya menghentikan Pirin Bana. Dibantu menejer panggung, staf itu bekerja cekatan. Mereka mengerjai tata suara; mikrofon di depan Pirin sengaja dimatikan, lalu pembawa acara mencoba mengubah fokus. Bersamaan dengan itu, dua orang lain mengangkat Pirin seolah bagian dari pertunjukan. Secepatnya pula pemain asyik lukah didorong ke panggung, seperti sedang memvisualkan salah satu adegan dari kaba “Kambura Bank Dunia dan Batangkapas Makan Tanah” yang dibawakan Pirin. Aha, cara yang licin! Orang-orang bertepuk tangan, sebab menganggap itu rabab gaya baru—memadukan kesenian dan permainan rakyat.
Pulangnya, kata Rikal (ini tak ada dalam rekaman), Madin jadi sasaran sumpah-seranah orang kabupaten. Tapi ia dengan rasa tak bersalah menjawab, “Awak diminta membawakan cerita rakyat, ya itulah cerita rakyat daerah kita.”
“Kenapa bukan Gombang atau Jibun? Apa angkau merasa pantas jadi anggota dewan sehingga membawa-bawa nasib rakyat? Angkau hanya tukang dendang, camkan!” koordinator rombongan meradang. Rikal yang berada satu mobil dengan mereka geleng-geleng kepala. Bukankah memang itu nafas cerita Madin dari gelanggang ke gelanggang?
Benar, jika boleh kubandingkan, Pirin Bana punya keunggulan tersendiri dibanding Pirin Gadang atau Pirin Ketek. Walaupun sama-sama diminati, tapi keramaian gelanggang memang terasa lain jika Pirin Bana terkabar akan meramaikan suatu helat. Bukan hanya semata soal gelanggang yang ramai, melainkan nafas gelanggang yang terasa dekat dari jangkauan. Setelah kupikir sekarang, satu hal yang membuat Pirin Bana disukai adalah cerita-ceritanya sangat berbeda dengan kaba yang dibawakan perabab lain.
Lazimnya perabab membawakan kaba atau cerita rakyat klasik. Cerita paling digemari adalah percintaan Puti Andam Dewi dan Nan Gombang Patuanan yang tempat kejadiannya disebut “negeri lengang sunyi”—entah bagaimana identik dengan daerahku. Ada pula cerita gubahan baru yang populer, seperti Larek di Rantau, Merantau ke Jambi dan Cinto di Ranah Lansek Manih. Tapi hanya berhenti sebagai kaba, sebagai cerita.
Pirin Bana lain. Ia benar-benar membawa kisah kekinian: pukat di pantai tak mengena, harga gambir terjun bebas, jalan raya rusak binasa, sawah-sawah kering tiada irigasi. Orang-orang merasa cocok karena mengisahkan hidup mereka sehari-hari. Tak jarang Pirin Bana menyebut nama orang kampung, kemudian diseret ke dalam cerita dan pantun-pantunnya yang ranum. Penonton seperti melihat, katakanlah, Kudun atau si Banun—tetangga mereka—memerankan lakon hidup yang nyata.
Sayang, sejak peristiwa di Padang itu, kata Rikal, Madin berkali-kali didatangi orang kabupaten, boleh jadi bersamaan dengan tekanan orang provinsi. Tak lama setelahnya, Madin menghilang dari gelanggang.
BAGAIMANA pun, aku bertekad mencari Pirin Bana. Berkendara sepeda motor aku dan Rikal mengarah ke Air Sirah, rumah orang tuanya. Lalu ke Taratak Paneh rumah istrinya. Tapi di kedua tempat itu ia tak ada. Informasi yang kami dapatkan simpang-siur, kuduga memang sengaja disamarkan. Pasti mereka malas berurusan dengan orang kabupaten.
Butuh waktu dua hari dua malam bagi kami untuk akhirnya menemukan Pirin Bana telah menjadi tukang pukat ikan di pantai Sumedang, bagian agak selatan dari daerahku. Ternyata itu adalah kampung istrinya yang kedua. Wajah Pirin tampak menua, kulitnya hitam kelat, tapi sorot matanya tak berubah. Ketika kusebut soal rabab, sejenak ia menghindar dengan bercerita soal ikan, perahu dan nelayan. Namun kusambar ceritanya itu dan kukaitkan dengan dendang-dendang malamnya selama ini, “Tidakkah sebaiknya Abang sampaikan itu semua lewat biola? Seperti yang sudah-sudah….”
“Ah, tak usahlah, ‘rang mudo, nanti ada yang tersinggung….” ia merendah.
“Tidak, Bang, sebanyak tersinggung sebanyak yang suka,” Rikal ikut meyakinkan.
Singkat cerita, setelah membujuk dengan segala cara, akhirnya Pirin Bana mau tampil di rumahku sekitar seminggu lagi.
Malam Jumat petang Kemis, mulailah acara itu. Di luar dugaan, penonton berjubel, apakah karena Pirin Bana masih sakti atau tak ada pilihan lain setelah orgen tunggal tak jadi tampil, aku tak tahu. Penonton membludak ke jalan, persis massa orgen tunggal. Sadarlah aku bahwa cerita Pirin Banalah yang membuat gelanggang jadi ramai.
Seperti biasa, penonton duduk di atas sadel motornya sambil memarkir motor itu hampir ke tengah jalan. Akibatnya jalan jadi macet, mobil berjalan pelan, dan beberapa bis yang lewat sengaja digedor dindingnya oleh anak-anak muda yang teler meneguk Vigur. Sebuah mobil yang semula kukira pelan karena macet yang sama, ternyata berhenti. Kulirik platnya: merah. Empat laki-laki ke luar, salah seorang menanyakan tuan rumah atau si pangkal helat. Karena aku yang punya helat, maka kutemui mereka, kuajak jalan lewat samping, masuk ke rumah.
Sebelum bertanya maksud tujuan, aku tawari mereka makan gulai ikan ambu-ambu. Tapi mereka sudah lebih dulu lepas mengoceh, sehingga gagallah perut mereka ditendang makanan gratis hangat-hangat. Mereka meminta supaya pertunjukan dihentikan.
“Bubarkan saja acara ini! Ia selalu memburuk-burukkan pemerintah,” kata salah seorang di antara mereka.
“Tunggu dulu, Pak. Apa soalnya ini?” aku berusaha tenang.
“Ah, kau orang baru, tahunya hanya rantau. Mana tahu kau urusan kampung?!”
“Okelah, karena itu saya ingin tahu.”
Seseorang lain bertompel hitam di pipinya, bergeser, seperti hendak menempelkan mulutnya yang berkabut ke kupingku. “Apakah kau perlu tahu bahwa orang ini mengakibatkan Pak Sabur digeser dari kepala dinas? Apa kau perlu tahu Pak Dimar ini (ia menunjuk orang yang tadi mengoceh) sekarang jadi sopir di lingkungan Pemkab, dari yang semula kepala seksi? Itu gara-gara tukang kaba celaka ini!”
Uci Kurai Taji, preman kampungku yang tahu “peta” kabupaten, menyela, “Bukan itu. Sabur dimutasi karena mendukung bupati yang kalah. Dimar ikut Pak Sabur. Masih untung, kawanku malah dipindah ke Pagai.”
Tambah merahlah muka mereka.
“Apa pun, dia harus dihentikan. Kau lihat, anak-anak jadi tak menentu perangainya. Mereka minum Vigur dan menggedor bis. Dengar, kaba Madin sangat menghasut!” Kami memokuskan telinga pada dendang Pirin yang bergema lewat mikrofon di luar rumah.
Oi, ‘lah berjalan si Syamsi kini
Berjalan tertatih-tatih, ibarat enggang menjelang gunung
Melangkah berlambat hari, ibarat kacang menjelang junjung
Tibalah Syamsi di Painan, dulu lengang kini ‘lah ramai, oi
Kantor bupati dan DPR, tegak berhadapan saling memandang
Gedung sekolah dan rumah sakit, dibangun besar lengkap bertaman
Terbayang kini nagari Alang Sungkai, di Indrapura Basa Ampek Balai
Dulu ramai kini ‘lah lengang, serupa kuik elang di tengah siang
Di situ kampung Buyung Syamsi, di situ Si Upik Banun tambatan hati
Ia tinggalkan dalam sakit, sedang berpuntal bayang-bayang:
Sakit ke mana hendak datang, dokter tak hendak, uang tiada
Kampung dan rumah sakit bak jarak sorga-neraka
Jalannya rusak binasa, bak telapak tangan Buyung Syamsi
Kurus pucat dan pecah-pecah. Di situ berpikir Si Buyung Syamsi
“Kalau begini caranya, baiklah kami berdiri sendiri, pecah kongsi dengan Painan
Kami yang berjaga di perbatasan—Indrapura, Lunang dan Tapan—harap mekarkan!”
….
Kami yang sedang berperkara terdiam. Tapi Uci Kurai Taji yang tak puas atas tuduhan si tompel tadi, kembali mulai, “Soal minum Vigur dan bikin jalan macet, di orgen tunggal lebih parah….”
Si tompel menengadah, “Itu lain soal karena memang seleranya anak muda. Tapi biola? Warisan nenek moyang. Tak boleh sembarangan, apalagi untuk menghasut. Untung kami lewat karena ada urusan di Surantiah, kalau tidak….”
“Pasti bukan kebetulan. Udin Jaguik, anak desa sebelah yang honorer di Pemkab telah menyampaikannya kepada Anda,” Kurai Taji langsung main tembak.
Kali ini, orang yang bernama Dimar antara panik dan kesal berteriak, “Pokoknya bubarkan! Dulu di Padang kami tak bisa membubarkannya karena banyak wartawan, sekarang di kampung, Anda kira wartawan akan tahu?”
Aku tersenyum. Masam. Ia tak tahu aku seorang penulis, penulis cerita rakyat. Sama seperti Madin, yang membuat malam membara dengan dendangnya, dalam tatapan berpuluh pasang mata yang bertahan hingga larut. Mata yang tak pernah menuntut. Namun ketika mereka tahu ada tamu tak diundang hendak mengganggu arena, mata-mata itu mulai bergulir liar menunggu di depan pintu.
“Siapa mereka? Orang pemerintah?”
“Entah.”
“Mereka membentak Kudal, apa maunya?”
“Wah, beraninya di depan hidung kita!”
Kudengar Kuriak dan Sihem berbisik-bisik sambil mengintip di balik kaca nako. Bisik-bisik itu bagai api yang mendesis, menjalar ke telinga penonton yang lain. Aku harus segera bertindak. “Sekarang begini saja. Bapak-bapak mohon keluar dari sini, nanti soal Pirin kami yang atur.” Kuminta bantuan Kurai Taji untuk menggiring rombongan itu ke luar lewat pintu dapur. Sadar akan bahaya yang mengancam, keempatnya mengendap-endap ke mobil mereka yang parkir di tepi jalan. Selamat, selamat, aku mengelus dada.
Tapi, tunggu. Ketika mobil plat merah itu melenguh, penonton yang tadi bergerombol di depan pintu tersintak. Dengan tungkai-tungkai panjangnya yang kurus dan menderita, mereka bangkit dan berlari.
“Kepung!”
“Lempar!”
“Pakai botol Vigur!”
“Saatnya!”
Suara-suara itu bagai guruh di langit kampungku. Tak seorang pun bisa mencegah. Bahkan tidak Uci Kurai Taji. Dari balik kaca jendela, kulihat Madin terus menggesek biolanya tinggi-tinggi. Panjang dan nyaring. Seperti lengking suara dari arah jalan raya. Nyata dan asing. Panjang dan nyaring. Silih-berganti. (*)
/Rumahlebah Yogyakarta, 2012-2013
Raudal Tanjung Banua, mengelola Komunitas Rumahlebah dan Jurnal Cerpen Indonesia di Yogyakarta. Buku cerpennya Parang tak Berulu (GPU, 2005).
Okto Muharman
Lamaknyo buah kuini
Lain pulo si buah ambacang
Rusaknyo jalan wak kini
Nan wakia kito malah sanang
ben karima
bagus Uda Raudal
donny fernandez
jauah-jauah tabang pangana
tingginyo sampai pucuak jati
puta-diputa kaset pirin asmara
tasanda duduak dikadai kopi
(apo juo lai tu mak?…gesek lah lai) hehehe
tejo
udo,tolong lela ka lalok di ekspos,buliah agak tasirok ayek ayek awak yang ndak pandai tulis baco mandanganyo
Maheswara Mahendra
Like, like …. Love it !! Tks