Cerpen Hanna Fransisca (Media Indonesia, 10 Maret 2013)
IA memang sudah tua, ringkih, dan belakangan selalu buang air di tempat tidur. Tapi, ia punya harta karun: 6 anak laki-laki, 6 menantu perempuan, 5 anak putri, 5 menantu laki-laki, 21 cucu dalam, 18 cucu luar, 3 cicit luar, dan 2 cicit dalam. Enam puluh enam nyawa manusia, dan sebelas di antaranya keluar dari rahimnya! Sungguh harta karun yang besar karena Thian telah memberi banyak keajaiban. Semua anak laki-laki dilimpahi kekayaan, semua anak perempuan dipersunting lelaki kaya.
Zaman kejayaan perempuan perkasa yang dikenal galak dan disiplin itu telah berakhir. Entah sudah berapa kali ia terbaring. Entah sudah berapa kali dokter menghunjamkan jarum suntik di tubuhnya. Dari Jakarta, Bandung, Surabaya, hingga Singapura.
Setiap harus terbaring, ia selalu kembali bangun dengan perkasa, kembali galak, kembali cerewet, meski mulai pikun. Dan kini, 18 hari ia terbaring. Sakit paling lama. Lima selang bening menancap; empat di telapak tangan, satu di bawah hidung.
Hidungnya besar dan bulat, dan selalu dipaksakan untuk tetap bergerak turun-naik. Mata sipitnya nyalang, dan aku tahu dipaksakannya untuk tetap terbuka. “Takut mati,” katanya. “Jangan pergi jauh-jauh. Aku takut tertidur, dan tak bangun lagi.”
Mulutnya selalu mengeluarkan suara, atau sekadar bergerak mengatup dan terbuka. Jika kekuatannya muncul, ia akan berbisik memanggil semua anaknya. “Huang A Cai, Huang A Luk, Huang A Sen, Huang A Fo, Huang A Khong, Huang A Chong, Huang Xinxin, Huang Xin Cen, Huang Xin Meng, Huang Xin Mei, Huang Xin Xian….”
“Ngai, Mama,” aku yang biasanya menenteramkan mama, mengelus kepalanya dengan lembut, sekaligus memberi tahu bahwa masih ada yang menjaganya dengan setia. Kelopak matanya basah.
“Apa aku akan mati?”
“Tidak, Mama. Mama akan sehat. Mama akan hidup dan panjang umur.”
***
Tak pernah mama berak di tempat tidur, karena itu bagian terpenting dari harga diri. Perempuan itu, mamaku, begitu berpantang pada malu. Lihat, ia yang terluka manakala bau pertama kali menyeruak. Padahal semua keluarga besar tengah berkumpul. Ia yang berteriak gugup. “Kotoran. Kotoran. Kotoran ini keluar begitu saja, dan aku tidak merasakannya.”
Seketika mata mama tertutup. Seketika mama diam. Semua anaknya ribut. “Ma, buka matanya! Buka! Bukaaaa!”
Anak laki-laki ketiga dan keempat serempak menopang kelopak mata mama naik dengan telunjuk, dan ke bawah dengan jari tengah. Masing-masing mempertahankan satu mata.
Anak laki-laki pertama membuka mulut mama, meniup-niupkan napasnya. Anak laki-laki kedua dan keenam mendapat perintah untuk menekan-nekan jempol kaki sekuat tenaga, agar saraf-saraf mama tidak berhenti. Sementara putra kelima berteriak-teriak memandu menantu perempuan, menantu laki-laki, cucu, cicit, dan seluruh anak perempuan mama termasuk aku, untuk berteriak ramai-ramai dan memanggil ‘Mama! Nenek! Buyut!’ sekencang-kencangnya. Sekeraskerasnya. Mereka tak peduli ketika dokter jaga dan suster terkejut dan berlarian setelah mendengar teriakan histeris kami.
“Ayo, panggil ‘Mama, Nenek, Buyut’ lebih kencang lagi sampai matanya terbuka. Supaya terkejut dan rohnya segera kembali. Ayo, panggil serentak!”
Dokter geleng-geleng kepala. Ia bergerak memeriksa nadi. “Mama kalian hanya pingsan.”
Mama terlalu mulia untuk menanggung malu.
***
Hari pertama opname, seluruh keluarga besar menjaga ramai-ramai. Hari kedua, ketiga, keempat, tak ada masalah. Semangat berkobar, lebih-lebih jika ada sanak saudara, sahabat, yang datang menjenguk dan memberi pujian, “Luar biasa! Kalian anak-anak yang berbakti. Mama kalian sungguh perempuan yang beruntung.”
Anak laki-laki pertama menjawab bangga, “Dulu mama menyuapi kita makan. Sekarang kita yang menyuapi beliau. Apalah artinya jika dibandingkan dengan yang telah beliau lakukan untuk kami?”
Anak laki-laki kedua hingga keenam tak ingin kalah. Masing-masing mengeluarkan kata-kata bijak dan mulia.
Namun, ketika mama mulai buang air tak terkontrol, mereka saling menunjuk. Semula perawat rumah sakit menunjukkan sikap ramah. Tapi seiring berjalannya waktu, mereka semakin ketus. Sekali waktu, seorang perawat dengan wajah tanpa ekspresi menyindir, “Kalian ke sini bergiliran saja! Kasihan pasien yang ingin istirahat. Toh, kalian ke sini cuma untuk kumpul-kumpul.” Ruang perawatan mama menjadi pengap.
Bisa dibayangkan, semua kompak membawa bantal, guling, selimut, bahkan kasur lipat. Belum lagi mesin pemanas makanan. Sering kali anak-anak berebut colokan listrik untuk mengisi baterai ponsel, Ipad, dan laptop. Keributan, suara tawa, alangkah ramai. Tapi itu hanya terjadi di minggu pertama.
Minggu kedua mama membuang kotoran di ranjang. Masing-masing mulai ribut perkara waktu. Mereka harus mencari uang, katanya. “Harus mengurus rumah. Harus mengurus anak. Harus mengurus ini-itu. Siapa yang mengurus bisnis?”
Kondisi mama semakin lemah, nyaris setiap jam mengeluh mulas. Kentut makin beruntun, berak di celana semakin parah. Hari Senin, Selasa, Rabu, hingga Minggu, akhirnya dibuat jadwal: masing-masing harus berjaga minimal tiga orang. Siang malam bergantian. “Bukankah itu sudah sepantasnya?” Semua bilang iya, semua bilang setuju.
Tapi jika siang mereka datang, mereka saling melirik, melihat dari luar dan berseru, “Apakah ranjang sudah wangi?” Lalu masuk berkerumun. Ngobrol ini-itu, tertawa-tawa. Jika aroma busuk tiba-tiba meletus, mereka saling beradu pandang, tidak bersuara, dan segera mencari alasan untuk keluar. Ada yang lapar dan ingin mencari makan. Ada yang ingin merokok. Ada yang pamit karena urusan mendadak. Bilang ini dan itu, bla bla bla, lalu pergi.
Malam hari tak ada yang datang. Tinggal telepon dari sana-sini, “Ngai banyak urusan.”
“Ngai terpaksa tak bisa pergi, ada tetangga mati.”
“Ngai harus periksa anak, mendadak flu.”
“Ngai, ngai, ngai….”
“Hanya kau anak perempuan mama yang tak bekerja. Jadi, tolong jaga Mama.”
***
“Komplikasi hepatitis B dan batu empedu. Itu membuat racun di tubuh menyebar ke dalam darah. Maka, itu harus dipaksa keluar lewat kotoran. Semakin banyak kotoran keluar, semakin punya harapan. Tapi ini sudah berakhir. Jadi, Anda harus tenang,” begitu penjelasan dokter. Semua berwajah lega.
“Jadi, mama tak akan lagi buang air sembarangan?”
“Secara teori begitu.”
Tentu ini pernyataan penting. Sebab lusa adalah perayaan Imlek.
Anak laki-laki pertama datang dengan istrinya, memamerkan tas buatan Paris. “Ini buat Mama. Biar lekas sembuh.” Anak laki-laki kedua membawa setelan pakaian berbinar-binar, “Ini juga buat Mama. Untuk dipakai saat Imlek.” Anak laki-laki ketiga membawa sandal buatan Italia, menantu perempuan keempat membawa pakaian dalam buatan Jepang, anak laki-laki kelima dan keenam patungan untuk pernakpernik oriental Tionghoa. Keluarga besar sepakat untuk membangun suasana Imlek di kamar perawatan mama.
Anak-anak perempuan mendapat tugas menjadi juru masak terbaik bagi mama. Mulai dari abalone, hisit, hipio, kerapu macan impor hidup, udang hidup, kerang kampak hidup, semua yang istimewa. Semua buat mama.
Alangkah indah nyanyian Cai Shen Dao! Cai Shen Dao da men kou di malam Imlek yang agung.
Hujan deras tak akan menyurutkan seluruh keluarga besar untuk datang. Berbahagialah mama. Muliakan hati mama. Berkahi kami dengan limpahan rezeki.
Kamar perawatan mama wangi. Ranjang opname begitu harum. Rupa-rupa makanan dan wajah berseri-seri. Lampu-lampu ditata. Nyanyian Imlek Cai Shen Dao! Cai Shen Dao da men kou menggema di seluruh ruangan. Gongxi, gongxi, gongxi. Seluruh arwah leluhur akan tiba membawa rezeki bagi mereka yang berbakti. Gongxi, gongxi, gongxi. Tertawa, gembira, menyanyi, dan menari.
Makanan lezat, minuman mahal, pakaian gemerlap. Tapi adakah yang melihat kelopak mata mama terpejam dan mengeluarkan air mata? Tentu tidak, lantaran mereka tengah berbahagia.
Saat itulah, aku melihat cahaya pada mulut mama, yang tiba-tiba bergerak mengatup dan terbuka. Pada mata mama yang tiba-tiba nyalang, dengan perut mengejang. Lalu terjadilah apa yang tidak semestinya. Letusan itu. Bau busuk dari kotoran yang menyebar cepat.
“Astaga!” Semua berhamburan keluar kamar. Berlari. Menutup hidung. Astaga.
Aku melihat cahaya, dan segera merangkul mama. Lamat-lamat kudengar suara beberapa mulut muntah di luar. Jijik. Samar kudengar mama berbisik menyebut nama-nama: Huang A Cai, Huang A Luk, Huang A Sen, Huang A Fo, Huang A Khong, Huang A. Chong, Huang Xinxin, Huang Xin Cen, Huang Xin Meng, Huang Xin Mei, Huang Xin Xian….
“Ngai, Mama,” aku mengelus kepalanya. Lembut. Sekaligus memberi tahu bahwa masih ada yang menjaganya dengan setia. (*)
Jakarta, Februari 2013
Catatan:
Ngai : Saya
Cai Shen Dao : Dewa Rezeki telah tiba
Cai Shen Dao da men kou : Dewa Rezeki telah tiba di Gerbang Pintu.
Gongxi, Gongxi : Selamat, selamat (selamat penuh berkah)
Hanna Fransisca (Zhu Yong Xia), buku cerpennya, Sulaiman Pergi ke Tanjung Cina (2012).
dandelion
bagusss
🙂
dawam
Cerita ini kok mbulet sih.
Aida
Selalu suka cerpen Hanna Fransisca dengan tema Cina-nya. 🙂
dwiyantofebri
Reblogged this on 'KANDANGKU' and commented:
MALAM IMLEK
indrihapsari
Reblogged this on indri hapsari and commented:
Haduuuh..haru banget bacanya :'(