Cerpen Ben Sohib (Koran Tempo, 10 Maret 2013)
SAMPAI pada hari ketika istrinya dengan gembira bercerita bahwa Ubaid, anak laki-laki mereka, berpacaran dan berniat menikah dengan Fahira binti Mail Basuri, Hisam Tasir sedang mengenyam kehidupan yang menyenangkan. Lelaki berusia 57 tahun itu tinggal serumah bersama Mina, sang istri, dan Ubaid, anak lelaki satu-satunya. Ketiga anak perempuannya sudah menikah dan ikut suami masing-masing. Dari ketiga anak perempuan itu, Hisam dikaruniai tujuh cucu. Hampir setiap Minggu seluruh anak, menantu, dan cucu berkumpul di rumahnya. Pada hari-hari selebihnya, Hisam menghabiskan waktu dengan mengurus tanaman di halaman depan rumah, sesekali menagih uang kepada para penyewa enam rumah petak yang terletak di samping rumahnya, salat Magrib berjamaah di Masjid Nurul Huda bersama beberapa warga kampung Kebon Nanas lainnya, dan sebulan sekali, selepas salat Jumat, menjadi tuan rumah bagi empat atau lima sahabat seusianya dalam makan siang yang gaduh.
Semua berkat Ubaid. Dengan modal pinjaman dari salah seorang kakak iparnya, sepuluh tahun lalu selepas SLTA, anak itu membuka toko bahan bangunan di dekat Pasar Prumpung. Dari toko ini rezeki mengalir. Dalam waktu enam tahun Ubaid berhasil merubuhkan rumah lawas sang ayah, lalu membangun rumah baru berlantai dua dengan sepetak taman bunga di halaman depan. Anak lelaki kebanggaan Hisam dan Mina itu juga membeli sebuah rumah tua milik tetangga sebelah, lagi-lagi merubuhkannya, lalu membangun di atasnya enam rumah petak sebagai penopang hidup kedua orangtuanya.
Sekarang si Ubaid hendak menikah. Hisam baru menyadari bahwa selama ini ia tak pernah mempedulikan anak itu. Tak pernah ia tahu anak itu berpacaran. Tak satu kali pun ia melihat anak itu memperkenalkan gadis yang menjadi pacarnya. Tiba-tiba saja Mina menyampaikan kabar si Ubaid hendak menikah.
“Abang kagak seneng hati si Ubaid nemuin jodohnye?” tanya Mina.
Hisam senang. Hanya ia sulit percaya bahwa perempuan itu anak Mail Basuri, lelaki yang pernah membuatnya bersumpah di bawah al-Quran, hampir dua puluh tahun silam. Dan Hisam mengucapkan sumpah, dengan kepala menunduk memandangi lantai, menyampaikan bahwa memang benar ayah Mail berutang kepadanya.
Itu kejadian yang tak bisa ia lupakan. Ia tak pernah menduga Mail akan menyudutkannya pada situasi yang demikian rumit dan, lebih dari itu, apa yang dilakukan Mail benar-benar luput dari perhitungan Hisam. Ia sudah delapan kali melakukannya sebelum dengan Mail dan semuanya berjalan mudah. Yang pertama adalah Toha.
Waktu itu Hisam Tasir masih bekerja serabutan. Ia menjadi calo mobil bekas, berdagang batu akik di pasar Rawa Bunga, berjualan sarung dan kurma menjelang Ramadan di kaki lima sekitar Mester, dan menjadi penipu kecil-kecilan di kampung tempat ia tinggal. Kecil-kecilan? Tunggu sebentar! Ini memang penipuan kecil-kecilan dalam pengertian jumlah uang yang dimakan, tapi ide dan caranya sungguh di luar akal setan.
Awalnya itu memang bukan penipuan yang direncanakan, idenya muncul secara spontan. Siang itu Hisam bersama seratusan orang berjalan mengantar jenazah Salim Gurame, salah seorang warga kampung yang meninggal pada malam sebelumnya, ke perkuburan Kober. Sebenarnya hari itu Hisam enggan ikut ke kuburan. Setelah melayat di rumah duka dan salat jenazah di Masjid Nurul Huda, ia bermaksud langsung pulang ke rumah. Ia ingin lekas tiba di rumah dan berdiam diri di dalamnya sepanjang hari. Ia sedang tak ingin berlama-lama bertemu banyak orang. Hanya pertimbangan rasa tak enak kepada para tetangga belaka yang mendorongnya ikut dalam iring-iringan pelayat itu.
Sesampai di Kober, Hisam mencangkung di bawah pohon kamboja. Ia mengikuti pemakaman dengan malas. Matanya menatap ke kerumunan orang yang sedang menyaksikan penguburan, tapi entah apa yang dilihatnya. Ia merasa isi kepalanya dipenuhi debu. Pikirannya tersita pada masalah tunggakan uang bulanan sekolah Ubaid yang harus segera dilunasi dalam waktu seminggu ini, jika tak ingin sang anak kehilangan bangku di kelas 5 sebuah SD negeri.
Setelah talkin dan doa kubur selesai dibacakan, seperti umumnya pemakaman di kampung ini, salah seorang dari kerabat almarhum berpidato menutup rangkaian acara pemakaman. Isi pidato singkat itu hampir selalu sama: ucapan terima kasih, undangan untuk hadir tahlil yang akan diadakan bakda Isya selama tiga hari berturut-turut, permohonan maaf jika ada di antara para pelayat yang merasa pernah disakiti almarhum semasa hidupnya, dan juga himbauan agar segera menemui wakil keluarga—seperti biasanya, selalu anak laki-laki, saudara laki-laki, atau paman si mati—bagi siapa saja yang merasa masih tersangkut urusan utang-piutang dengan almarhum.
Begitulah, Hisam tak benar-benar menyimak pidato penutup pada pemakaman di siang yang terik itu. Ia mendengarkan sambil lalu saja. Namun, tepat pada saat si juru pidato menyebut soal utang-piutang yang musti segera diselesaikan, seekor kuda tiba-tiba mencongklak dan meringkik di benak Hisam Tasir. Perutnya langsung mulas. Ia batuk-batuk kecil sebanyak dua kali.
Esok malamnya, Hisam Tasir menjadi orang pertama yang datang pada acara tahlil di rumah duka. Tikar belum semua selesai digelar, lelaki kurus berkulit legam itu sudah tiba di sana. Ia menyalami dan memeluk Toha, saudara lelaki Salim Gurame. Kepada lelaki yang menjadi wakil keluarga si mati itu, Hisam menyampaikan belasungkawa untuk yang kedua kalinya. Lalu ia menarik lengan Toha, mengajaknya bicara empat mata di teras depan.
“Begini, Ha, sebenarnye ane kagak mau nyampein sekarang, ane tahu ente lagi kesusahan. Tapi, ane pikir-pikir lagi, lebih bagus kalau ane sampein sekarang, biar kubur alamarhum jadi lebih lapang,” Hisam berkata sambil masih memegangi lengan Toha.
Lalu ia diam agak lama. Tenggorokannya terasa kering dan ia tampak kesulitan menyampaikan apa yang ia ingin sampaikan. Sebenarnya ia sudah menghafalkan kalimat-kalimat yang hendak ia sampaikan kepada Toha dan ia sudah sangat fasih menyampaikannya dalam latihan. Tetapi melakukan yang pertama selalu sangat sulit. Hisam nyaris mengurungkan niatnya.
“Sampein aje, Sam,” kata Toha.
“Almarhum masih ade utang ame ane. Bulan puasa kemarin, die ngambil tiga kodi sarung dari ane, ane kagak tahu buat siape. Die baru sempet bayar setengah, yang setengahnye lagi die janji mau dilunasin akhir bulan ini, tapi rupanye Allah nentuin yang lain,” kata Hisam sambil menundukkan kepala.
“Jadi berape totalnye?”
Hisam menyebutkan angka tertentu, setelah sebelumnya menelan ludah. Toha mengangguk dan masuk ke dalam rumah. Hisam membetulkan songkok lalu menyalakan rokok. Belum sampai tiga isapan, Toha sudah muncul kembali dengan membawa selembar amplop putih yang dua atau tiga detik kemudian sudah berada di kantung baju Hisam. Maka, malam itu menjadi acara tahlil paling khusu yang pernah diikuti Hisam Tasir sepanjang hidupnya. Sepulang dari tahlil, ia tidur tanpa mimpi sampai pagi. Aksi pertama yang berakhir sempurna.
Sejak saat itu Hisam Tasir boleh dibilang tak pernah absen mengantar ke kuburan setiap kali ada warga Kebon Nanas yang mati. Dan ia selalu berdiri di tempat paling dekat dengan liang lahat, dengan tangan disilangkan di atas perut, memasang telinganya lebar-lebar. Ia segera merancang rencana aksi begitu nama sang wakil mayit disebutkan.
Tentu tak semua rencana itu bisa dilaksanakan. Adakalanya ia tak melihat celah yang terbuka untuk melancarkan aksi tipu dayanya. Bagaimanapun juga, meski terlihat sederhana, ikhtiar ini tetap memerlukan persiapan. Hisam harus pandai membaca situasi di rumah dan kondisi mental calon korban, ia juga musti pintar mengarang cerita yang menjelaskan asal mula bagaimana si mati bisa berutang kepadanya. Piutang karena pembelian tiga kodi sarung tentu tak selalu cocok diterapkan kepada semua orang.
Maka, selama hampir dua tahun, Hisam Tasir sudah mengarang banyak cerita. Ada cerita tentang jual-beli batu mulia, tentang jual-beli mobil bekas, dan kisah-kisah lainnya. Dan ia selalu mengakhiri semua cerita karangannya itu dengan “yang setengahnye lagi die janji mau dilunasin akhir bulan ini, tapi Allah nentuin yang lain” yang ia ucapkan sambil menundukkan kepala.
Dan Hisam tahu kapan waktu paling baik untuk menceritakannya. Ia tahu kebanyakan orang tak bisa berpikir kritis pada hari pertama setelah kematian orang-orang yang mereka cintai. Jika ada seseorang yang datang pada hari itu dan mengatakan bahwa si mati masih berutang, mereka cenderung akan menyelesaikan persoalan ini tanpa banyak tanya. Setidaknya begitulah yang terjadi pada Toha, si korban pertama, dan tujuh korban lainnya setelah dia.
Tapi tidak demikian dengan Mail Basuri. Kali ini Hisam salah perhitungan. Lelaki yang usianya sebaya dengan Hisam itu memang baru kehilangan ayahnya kemarin pagi, tapi ia mengajukan pertanyaan banyak sekali. Sebetulnya hanya beberapa pertanyaan, tetapi Hisam merasa itu banyak sekali.
“Bener jumlahnye segitu, Sam?”
“Bener, Mail. Kagak ane lebihin, kagak ane kurangin.”
“Bukan ape-ape, Sam, soalnye kalau ade kurangnye dikit aje, itu bakal bikin liang lahat almarhum jadi sempit. Iye, kan?”
“Iye, bener, Mail.”
“Lucu juga ya almarhum bisa kagak inget punya urusan ame ente,” kata Mail. “Bulan kemarin, pas mulai sakit-sakitan, die nyuruh ane nemuin sohib-sohibnye, yang satu di Cilacap, yang satunye lagi di Bekasi. Die minta ane nyelesain utang-utangnye ame tu orang. Die kayak udeh firasat kalau waktunye udeh deket.”
“Almarhum orang baik, Mail.”
“Berape tadi semuanye, Sam?”
Hisam Tasir menyebutkan sekali lagi jumlah tagihannya—kali ini agak berat. Ia mulai merasa bahwa Mail Basuri tak memercayai ceritanya. Untuk apa dia menceritakan urusan ayahnya dengan teman di Cilacap dan Bekasi selain untuk menyindirnya? Mail pasti ingin mengatakan bahwa dirinya bohong. Urusan dengan orang-orang di tempat jauh orang tua itu ingat, tidak mungkin ia melupakan urusan dengan tetangga di kampung sendiri.
“Atau begini aje, deh, Mail, lupain aje soal utang almarhum, ane ikhlasin aje,” katanya. “Almarhum orang baik….”
“Kagak bisa begitu, Sam, musti diselesain.”
Mail bergegas masuk ke ruang dalam, dan beberapa saat kemudian ia keluar dengan membawa amplop putih dan kitab suci al-Quran.
“Ente kagak percaya ame ane, Mail? Ente mau minta ane sumpah di bawah Quran?”
“Biar sama-sama enak, Sam. Biar sama-sama tenterem hati kite. Lagian, ape yang ente omongin soal utang almarhum kan emang bener.”
Tak melihat jalan lain, Hisam mengucapkan sumpah, dengan tubuh dan suara agak gemetar. Sesungguhnya ia ingin mengakui saja kepada Mail bahwa ia berbohong, tetapi itu tidak mungkin dilakukan. Sekali ia mengaku, mungkin Mail akan terus mencecarnya sudah berapa kali ia melakukan dusta ini, siapa saja yang sudah menjadi korbannya, dan lain-lain, dan seterusnya. Kalimat sumpah Hisam terdengar berbelit-belit dan tidak jelas. Mail memintanya mengulangi sekali lagi. “Ane kagak bisa denger suara ente, Sam,” katanya.
Seperti murid sekolah yang patuh, Hisam menegakkan badannya, mengulangi sumpahnya dengan suara lebih jelas pada mulanya, lalu menjadi makin pelan, lalu kembali berbelit-belit di ujungnya.
Malam itu Hisam Tasir ingin berlari sekencang-kencangnya begitu keluar dari rumah Mail. Tuan rumah mengantar kepulangannya sampai di ambang pintu depan. Ia merasa agak lega saat sudah berada di luar rumah. Namun mendadak muncul teror di kepalanya. Di dalam benaknya, ia menyaksikan Mail sedang menyampaikan kepada orang-orang tentang perbuatan bejat yang telah ia lakukan. Semua orang akan mengutuknya dan kedelapan orang lain sebelum Mail akan bergantian menyampaikan bahwa mereka juga telah menjadi korban.
“Ente tahu, Sam. Di mata ane, ente kagak lebih dari burung nasar, burung yang demen makan bangkai!”
Hisam seperti mendengar suara itu menyerbu telinganya. Sangat jelas. Dan kemudian diikuti dengan suara orang ketawa. Ia ingin menoleh ke belakang untuk memastikan apakah Mail yang mengucapkan kalimat itu dan menertawainya, tetapi ia tidak berani melakukannya.
Menjelang tidur, suara itu terdengar kian jelas di kupingnya. Hisam mengerang. Sampai beberapa hari kemudian, sampai beberapa bulan, Hisam masih sering mengerang menjelang tidur. Jika ia merasa Mina yang berbaring di sampingnya mendengar erangan itu dan sekarang sedang mengernyitkan dahi, dengan tangkas Hisam sudah memberikan jawaban sebelum ada pertanyaan apa pun yang meluncur dari mulut sang istri: Hisam akan langsung menyambung erangannya itu dengan berdeham, seolah-olah dari tadi ia sedang membersihkan tenggorokannya yang gatal.
Hingga bertahun-tahun kemudian, suara itu tetap mengganggu batin Hisam. Si burung nasar itu mencoba mengusirnya dengan segala cara yang bisa ia lakukan. Ia berdoa mohon ampun. Ia berderma ketika keuangannya membaik. Ia juga selalu berusaha menyenangkan teman-temannya. Tapi, meski tak sesering sebelumnya, suara itu sekali waktu masih mengganyang Hisam, terutama setiap kali ia sedang sendirian atau ketika secara tak sengaja berpapasan dengan Mail Basuri.
“Ubaid pengen kite ke rumah Fahira, Bang, buat nyampein niat baik ini ke orangtuanye,” kata sang istri. Sore itu mereka sedang duduk di teras depan. Dengan tangan gemetar Hisam Tasir mengambil korek api dari kantung bajunya, dan membakar ujung rokok yang ia selipkan secara terbalik di bibirnya. (*)
Jakarta, Februari 2013
indrihapsari
Wah…cerita yang menarik, dengan ending yg bikin ngakak. Hidup pak Mail! ^_^
indrihapsari
Reblogged this on indri hapsari and commented:
Topik yg unik, dengan akhir ygbikin ngakak
iskandar jalaludin
sebenarnya kejahatan lebih sulit dan sangat beresiko…