Cerpen Satmoko Budi Santoso (Suara Merdeka, 17 Maret 2013)
SETIAP ada persimpangan jalan, orang Jawa bisa menyebutnya pertigaan, perempatan, atau perlimaan, sesuai berapa simpangan atau silangan jalan yang ada, saya berhenti cukup lama. Saya bisa berhenti cukup lama karena ke mana-mana saya memang hanya memilih mengendarai sepeda. Dengan begitu, ketika pas lampu pengatur jalan menunjukkan hijau, misalnya, saya justru bisa malah berhenti. Sebab karena bersepeda, posisi saya toh hanya di pinggiran jalan. Tentu, kebiasaan semacam itu akan cukup sulit saya lakukan jika saya mengendarai mobil. Sebenarnya, saya mampu memiliki mobil atau motor. Tetapi, sudah cukup lama kebiasaan saya pergi ke mana-mana memanglah hanya bersepeda. Boleh dikata, sudah puluhan tahun.
Sejumlah orang cukup hapal kebiasaan saya berhenti di persimpangan jalan tertentu. Sebab, persimpangan-persimpangan jalan dari dan menuju ke arah rumah saya juga hanya itu-itu saja. Oleh sebab itu, terhadap orang-orang yang biasa mangkal di setiap persimpangan jalan yang saya lalui, saya selalu menyapa mereka. Tentu, mereka jugalah orang yang paling tahu kebiasaan saya berhenti cukup lama di setiap persimpangan jalan itu.
Jika sudah berhenti di sebuah persimpangan jalan, misalnya, beberapa orang pemerhati saya akan melihat saya dengan saksama. Terserah kemauan saya kapan akan jalan lagi. Bisa dalam hitungan tiga menit ketika saya berhenti itu, bisa malah lima menit, namun biasanya tidak akan lebih dari 10 menit. Meskipun posisi saya berhenti berada di pinggiran jalan, namun karena posisi berhenti saya sering dekat dengan lampu lalu lintas pengatur jalan, ada saja kendaraan entah motor atau mobil yang terganggu. Membunyikan klakson. Ada juga pengendara motor atau mobil yang pernah menghujat. Padahal, saya tahu diri, posisi saya berhenti kiranya tidaklah mengganggu perjalanan. Hanya sekadar berhenti di pinggiran jalan saja, tidak begitu mempedulikan apakah lampu sudah menyala hijau, bagi pesepeda seperti saya, apakah sebuah kesalahan yang berarti?
Jika ada yang sesekali menghujat, meneriaki dengan umpatan, maka saya memilih membalas hujatannya di dalam hati. Tentu, tak seorang pun tahu. Maka, kelihatannya, saya cuma diam saja. Sebegitu jauh saya suka berhenti, bisa lumayan lama di persimpangan jalan tertentu, selama ratusan bahkan mungkin sudah ribuan kali saya tak pernah menghitung secara pasti, tak ada seorang pun yang pernah menanyakan maksud kepada saya: kenapa suka berhenti itu. Bagi mereka, orang-orang yang suka nongkrong tak begitu jauh dari perempatan rumah saya, misalnya, juga belum pernah ada satu pun yang menanyakan. Di dalam hati saya, kerap saya memvonis sendiri, biarlah mereka menganggap saya gila atau setidaknya memang kurang waras. Itu hak mereka jika pun menganggap begitu. Saya tak bisa apa-apa. Tentu saja.
***
KEBIASAAN saya berhenti di persimpangan jalan itu rupanya bisa saja tidak bernilai sebagai misteri bagi orang lain yang tahu perihal kebiasaan saya itu. Memang, saya merasakan satu kepuasan tersendiri jika sudah berhenti di persimpangan jalan tertentu. Salah satu bentuk kepuasan saya adalah sepertinya saya telah bertemu kembali dengan kakak saya, sepertinya ada kakak saya yang sedang melintas di persimpangan jalan tertentu itu, tepat ketika saya akan melewatinya. Kakak saya satu-satunya, yang sebagai pejalan kaki, sudah lama meninggal ditabrak mobil dengan pengendara yang sedang mabuk di sebuah persimpangan jalan. Padahal ia cuma menyeberang jalan biasa saja di persimpangan jalan itu, sehabis membeli rokok di sebuah toko.
Jika bukan bayangan kakak saya yang melintas ketika saya akan melewati persimpangan jalan, adalah bayangan ibu saya, yang juga meninggal karena alasan adanya persimpangan jalan. Apa mau dikata, kebiasaan ibu saya sebagai orang yang tidak waras, jalan-jalan sesuka hati sepeninggal ayah saya di penjara karena terlibat kasus korupsi besar, membuat ibu saya itu suatu hari harus menyeberang di sebuah persimpangan jalan. Sebagaimana kebiasaannya melambaikan tangan kepada siapa saja ketika berjalan, sebagai salah satu bentuk kekurangwarasannya, ternyata lambaian tangannya ketika menyeberang itu justru seperti lambaian tangan terakhir dalam menyambut kematian yang dikirim oleh seorang pemuda yang sedang melajukan mobil dengan kecepatan tinggi. Tidak berhenti meskipun lampu pengatur lalu lintas nyala merah dan akhirnya menabrak ibuku hingga tiada. Belakangan kemudian diketahui, ternyata mobil yang dikendarai remnya mendadak blong dan si sopir sama sekali tidak dalam keadaan mabuk.
Oleh karena itu, ingatan perihal persimpangan adalah ingatan perihal pilu dan nestapa. Semestinya begitu, bukan? Namun, bagi saya, jika ingatan perihal kesedihan itu sudah selesai melintas ketika diri saya berhenti sejenak atau cukup lama di persimpangan jalan tertentu, kenapa juga bisa segera berganti dengan kuluman senyuman ringan? Apakah saya juga telah menjadi orang yang kurang waras? Bagaimanapun, setelah berhenti, saya harus melanjutkan perjalanan lagi. Sudah menjadi kebiasaan saya pula, jika sudah bersepeda pasti akan merasa riang. Pilu dan nestapa, rupanya hanya meminta izin sementara saja, untuk berkelebat di dalam keseluruhan perjalanan hari-hari saya ketika berada di persimpangan jalan tertentu itu….
***
SENSASI yang sama dengan yang kurasakan ketika berhenti di persimpangan adalah ketika berada di perbatasan.
Di masa muda, saya selalu suka bepergian jauh. Tentu bersepeda. Bisa ke gunung, melintasi sungai dan sawah, pokoknya kegiatan jelajah alam adalah hal yang saya suka. Sungguh, saya merasakan senang tak terkira ketika sudah sampai di perbatasan tertentu. Perbatasan apa saja. Desa, kota, provinsi, bahkan negara. Jika sudah sampai di perbatasan tersebut, sepertinya perjalanan yang dilakukan sudah di ujung lunas. Maka, kepuasan pun muncul, merayap di sekujur tubuh dengan sendirinya, serupa orgasme. Foto-foto dengan penduduk di sekitar perbatasan, ngobrol dengan mereka, baik yang berseberangan atau tidak dengan perbatasan itu, adalah hal yang paling saya senangi. Memandangi binar sorot mereka, semangat mereka hidup di perbatasan, sepertinya tak bisa ditandingi oleh orang kota yang sudah terfasilitasi kemudahan secara apa pun. Uniknya, banyak di antara mereka yang sama sekali tidak mempunyai keinginan untuk pindah dari perbatasan….
Banyak pula kelucuan yang pernah saya jumpai ketika di perbatasan itu. Misalnya, perihal orang-orang yang ber-KTP ganda. Suatu ketika, saya sampai pada sebuah perbatasan antarnegara. Negaraku dengan negara tetangga. Orang-orang di sebuah perbatasan antarkedua negara itu ternyata ada yang mempunyai KTP ganda. Warga yang sama kewarganegaraannya denganku bisa pula punya KTP negara tetangga. Begitu sebaliknya.
Orang-orang di perbatasan adalah juga orang-orang yang identik sebagai saksi atas banyaknya penyelewengan. Mulai dari penjualan kayu secara ilegal, hewan secara ilegal, dan banyak lagi lainnya. Tersebutlah seseorang yang bernama Maro, entah nama asli entah bukan, adalah orang yang sering melihat bagaimana kayu-kayu dengan mudah keluar masuk perbatasan. Tentu saja yang penjagaannya relatif tidak ketat. Penjaganya memang belum tentu tahu atau pura-pura tidak tahu. Entahlah. Karena warga dua negara yang berdekatan bisa keluar-masuk untuk kepentingan tertentu, entah sekadar bertamu, saling berbagi makanan, dan sebagainya. Ibarat bahwa mereka adalah bertetangga rumah biasa. Tentu saja, tindakan semacam itu bisa dianggap menyalahi aturan, tidak dibenarkan, namun apa mau dikata, jika sudah ada di perbatasan, sejumlah aturan belum tentu bisa berlaku sesuai yang menjadi ketetapan.
Kebetulan, saya pernah cukup lama, sekitar lima hari, tinggal di daerah perbatasan. Mendirikan tenda sendiri, berbaur dengan orang-orang di perbatasan. Mendengarkan siaran radio, membantu menyiapkan makanan baik berburu hewan atau sayur tertentu untuk lauk, membakarnya setiap malam sembari menyalakan api unggun, dan kegiatan lainnya. Dalam pelancongan bersepeda menuju ke perbatasan atau ke mana pun itu, dulu di masa saya muda biasanya ditemani satu orang saja. Bisa laki-laki bisa perempuan. Harta kekayaan orang tua saya, tepatnya ayah saya yang mantan koruptor, boleh dikata cenderung habis untuk kebutuhan jalan-jalan bersepeda saya. Menjelajah ke mana-mana.
Di tempat-tempat tertentu, jika di dalam perjalanan bersepeda saya mendengarkan suara lonceng, entah dari gereja entah dari rumah penduduk sebagai suatu pertanda tertentu, saya merasakannya begitu magis. Seperti menggaungkan masa silam dan masa depan secara bersamaan, tergerus dalam kayuhan sepeda. Biasanya, jika mendengar lonceng entah dari mana arah datangnya, saya kemudian berhenti bersepeda. Ya, berhenti saja. Hanya ingin mendengarkan suara lonceng itu baik-baik. Seperti mengabarkan bahwa dunia sebenarnya bisa selalu baik-baik saja.
Tentu, di dalam setiap perjalanan saya tidaklah lancar-lancar saja. Ada banyak masalah yang pernah saya temui. Misalnya, yang berkaitan dengan perampasan barang. Saya pernah lebih dari satu kali diberhentikan oleh sekelompok pemuda di suatu tempat. Saya tahu bahwa ada barang saya atau barang teman seperjalanan saya yang akan dirampas. Maka, sebelum terjadi kekerasan saya katakan kepada orang yang memberhentikan itu agar mengambil saja barang-barang kami, selain sepeda. Oleh sebab itu, saya pernah berikan kamera saku saya, uang saya, dan beberapa barang bawaan lain, asalkan bukan sepeda. Ternyata, kompromi semacam itu cukup manjur bagi para perampok jalanan yang mungkin juga hanya iseng karena keterdesakan atas kebutuhan tertentu. Mungkin di antara mereka cuma perlu untuk membeli arak. Artinya, dalam banyak pengalaman perampasan barang yang pernah saya temui sepanjang perjalanan itu, yang merampas sepertinya bukanlah tipe orang yang merampok sebagai profesi.
***
SAMPAI kini saya berusia uzur dan ke mana-mana tetap naik sepeda, kenangan perihal perbatasan itu justru semakin menebal di otak, tak sedikit pun mengelupas. Jika kini saya pun mengabadikan kenangan di sejumlah perbatasan itu dengan cara berhenti di sejumlah persimpangan jalan di kota saya dengan cara sengaja mengingatnya meski sebentar, tentu itu adalah konsekuensi hidup yang wajar. Setiap orang punya cara untuk tidak menghilangkan kenangan di dalam dirinya, entah baik entah buruk.
Saya akui, saya bisa mendapatkan istri dan kemudian hidup tanpa anak juga karena mengenal perbatasan. Diam-diam, dulu istri saya adalah orang perbatasan. Setelah saya memutuskan hubungan dengan sejumlah pacar saya yang pernah menemani dalam perjalanan sebagai pesepeda ke sejumlah pelosok, saya pernah menikah secara baik-baik dengan seorang perempuan di sebuah perbatasan, tanpa ada proses pacaran yang berarti. Hanya karena kekuatan sorot mata saja yang membuat saya teramat jatuh cinta kepadanya. Tentu saja, pernikahan ala saya mengikuti tata cara di daerah perbatasan itu. Celakanya, setelah istri sah saya tersebut saya boyong ke kota, ia justru susah beradaptasi dengan kebiasaan hidup di kota. Saya sudah mati-matian mengajarinya bertahan dengan tata cara hidup di kota, namun sampai sekitar setahun istri saya itu belum juga mampu beradaptasi dengan baik. Akhirnya, kami bercerai secara baik-baik. Saya kembalikan ia hidup di perbatasan.
Saya kini jelas telah berada di ambang perbatasan usia, hidup sebatang kara dengan sisa kekayaan korupsi ayah saya yang saya perkirakan akan habis tepat ketika saya nanti tidak lagi berhenti di persimpangan jalan mana pun. Mudah-mudahan, belakangan ini masih cukup waktu bagi saya untuk selalu menghargai setiap persimpangan jalan. Memang, ada satu persimpangan dan perbatasan yang sejauh ini belum pernah saya temui: itulah persimpangan atau perbatasan yang membuat saya tidak lagi mengayuh sepeda di hari berikutnya. (*)
Rumah Amarta, Februari 2013
dawam
Mirip laporan perjalanan saja.
Febrian Hantu Dumay
perjalan hidup yang cukup panjang