Cerpen Bashirah Delmora Anjali (Suara Merdeka, 24 Maret 2013)
AKU telah merencanakannya. Duduk di bangku kafe ini, memandang sekeliling dengan tak acuh. Pelayan kafe itu sesekali memperhatikanku. Rupanya dia mulai akrab dengan wajahku. Sudah beberapa kali aku datang ke kafe ini. Kafe Asmodeus yang tersudut di antara gedung-gedung pusat belanja kota ini.
Dia selalu datang sendirian, barangkali begitu gumam pelayan kafe, seorang lelaki yang geraknya mirip penari. Penari perempuan tentu saja, kemayu dan luwes. Sesekali dia menatapku berlama-lama, bahkan saat kesibukannya melayani tamu, masih sempat ekor matanya mencuri wajahku yang sedikit berminyak.
Aku datang ke kafe ini pada saat suara-suara dalam kepalaku sudah sedemikian kuat. Sesungguhnya, suara-suara jahanam itu sudah berdiam dalam kepalaku semenjak aku remaja. Semenjak jakunku mulai tumbuh dan suaraku memberat seperti penyanyi musik cadas. Atau lebih tepat lagi semenjak suatu peristiwa di depan mataku yang tak bisa kulupakan sampai sekarang.
Hari itu, malam itu. Hujan sangat deras memandikan seluruh kota. Tak ada ruang bagi suara apa pun untuk mendarat di telinga, kecuali suara air yang menerpa talang serta geluduk yang mengamuk bagai raksasa langit sedang murka. Di rumah, ada aku, ada Ayah, juga Ibu. Mereka baru saja bertengkar. Pertengkaran seperti yang sudah sering sekali diceritakan orang. Laki-laki memang suka menunjukkan kekuasaannya, meskipun sudah tersudut dan tak punya alasan lagi untuk membantah tuduhan. Ayah dan Ibu saling maki. Ayah tak bisa mengendalikan diri, dia mulai menggunakan kekerasan. Ibu terpelanting tatkala tangan kekar ayah mendarat di pipinya. Tapi Ibu bangkit, Ibu melawan. Hujan di luar seolah semakin deras, mengaburkan bunyi-bunyi pertengkaran itu agar tak sampai ke telinga tetangga. Aku membungkus seluruh tubuhku dengan selimut, menutup kedua telinga, sampai aku tertidur.
Tak berapa lama kemudian aku terbangun. Suasana begitu sepi. Aku langsung menghambur ke pintu dan pelan-pelan menengok keluar. Aku melihat Ibu seperti sedang memasukkan potongan-potongan daging yang masih meneteskan darah ke dalam karung goni. Lantai berwarna merah sepenuhnya. Saat Ibu menyeret karung itu menuju pintu, Ibu memandang padaku. Sungguh aneh, wajah Ibu saat itu begitu ganjil. Seperti ada selapis cahaya samar yang melingkupi wajah itu. Dan kedua matanya bagai bara merah. Ibu tersenyum menatapku. Sungguh mati, sampai sekarang aku sangat yakin itu bukanlah senyum Ibu. Itu bukanlah wajah Ibu.
***
IBU ditemukan bunuh diri di dalam sel tahanannya. Aku yang sebenarnya tidak pernah mau tahu apa pangkal soal sehingga Ayah dan Ibu kerap bertengkar, mulai mereka-reka sebuah jawaban. Sebuah kisah yang bisa jadi benar atau keliru sama sekali.
Ayah sering datang ke Kafe Asmodeus. Tidak sendirian, melainkan bersama seorang perempuan. Konon, perempuan itu istri muda Ayah. Ibu mengetahuinya, mungkin dari teman-temannya. Atau entah pada suatu kali Ibu juga diam-diam pergi ke kafe itu. Atau bisa jadi cerita yang lebih sederhana: perempuan muda itu hamil, lalu suatu hari mencari Ayah ke rumah. Dia bertemu Ibu lalu menceritakan semuanya. Pada kenyataannya, sekarang, tak ada satu pun yang bisa ditanya.
Aku menghabiskan tahun-tahun terakhirku dengan bekerja apa saja. Aku membiarkan kebebasan menumbuhkan sepasang sayap di punggungku. Dengan mengenal banyak orang aku bisa punya kesempatan untuk pergi ke mana saja. Banyak daerah telah aku kunjungi, tapi sungguh, aku tak pernah sebetah di kota ini. Kota kelahiranku. Seakan-akan kota ini punya suara yang kerap memanggilku pulang dan membuka pintunya dari segala arah. Jangan-jangan suara di dalam kepalaku yang menginginkan kota ini. Suara yang pada saat-saat tertentu sangat membuatku muak, tapi di saat-saat yang lain sangat menenangkan.
“Kamu harus menemukan perempuan itu.” Aku mendengar suaraku sendiri memantul-mantul di dalam otakku. Ya, perempuan yang menurutku menjadi pangkal pertengkaran Ayah dan Ibu. Tapi di mana aku akan menemukannya? Aha, tiba-tiba aku merasa begitu bodoh. Tentu saja di kafe. Kafe yang tersudut di antara gedung-gedung besar pusat perbelanjaan. Kafe yang pintu depannya berhias relief Asmodeus, hantu dalam Kitab Tobit yang membunuh tujuh suami Sarah. Aku merasa gembira dengan kenyataan itu, sampai tak lagi kuhiraukan lalat-lalat yang rasanya semakin banyak membuat sarang di rumah ini.
***
AKU datang ke Kafe Asmodeus hampir setiap malam. Selalu sendirian. Aku perhatikan setiap pengunjung yang datang. Berharap dapat menemukan, dengan instingku, perempuan itu. Tapi tak satu pun dari pengunjung perempuan kafe ini dapat meyakinkanku, bahwa dialah yang aku cari. Tak ada yang memperhatikanku di kafe ini. Kecuali si pelayan kemayu. Usianya memang sepertinya jauh di atasku dan ketertarikannya padaku seperti memiliki rahasia tersendiri.
Aku tenggak lagi sisa terakhir bir dalam kaleng di tanganku. Aku akan segera beranjak kalau pelayan itu tidak menghampiriku. Ia berdiri di hadapanku tepat saat aku akan bangkit.
“Maaf Tuan, apakah kita pernah bertemu sebelumnya di luar kafe ini?” Pelayan itu tiba-tiba melontarkan kalimatnya. Aku merenung-renung sebentar.
“Sepertinya tidak, tidak pernah.”
“Tapi aku merasa akrab dengan sosokmu, Tuan. Ah, maaf sekali lagi, barangkali saya salah. Dulu ada seorang laki-laki yang sering datang ke kafe ini. Wajahnya punya kemiripan dengan Tuan.”
Terlintas dalam pikiranku bisa jadi pelayan ini mengenal perempuan yang kucari. Aku mengurungkan niat untuk berdiri.
“Sudah berapa lama kamu kerja di sini?” tanyaku langsung.
“Hmm, cukup lama. Meski saya tidak pernah menghitungnya dengan tepat. Untuk apa, saya tak punya pilihan lain. Oh, maaf Tuan, saya harus kembali bekerja. Terima kasih.”
Pelayan itu bergegas meninggalkanku. Dia kembali larut dalam pekerjaannya. Aku tak jadi beranjak. Aku tahu, pelayan itu mengetahui sesuatu. Aku menunggu sampai pelayan itu senggang. Aku melihatnya mengantar satu pitcher bir dan dua porsi kentang goreng pada empat orang remaja di meja dekat pintu. Segera kulambaikan tangan agar pelayan itu menghampiri.
“Ada yang dibutuhkan lagi, Tuan?”
“Aku mau menanyakan beberapa hal padamu, apakah kamu punya waktu?”
“Maaf, Tuan. Saya sedang bekerja, hmm, tapi Tuan bisa menemui saya setelah jam saya usai.”
“Baik. Jam berapa?”
Pelayan kemayu itu mengangkat tangannya dan menunjukkan tiga jarinya. Pelayan itu tersenyum. Sesuatu seperti berdesir di kudukku. Aku mengerti, kemudian berjanji untuk bertemu di depan kafe.
Untuk mengusir kebosanan, aku menyusuri jalan. Kafe itu memang tidak terlalu ramai, mungkin karena letaknya yang tersudut sehingga menimbulkan kesan kumuh. Tetapi sesungguhnya kota ini juga tidak terlalu ramai. Aku bisa merasakan malam yang senyap semakin jauh aku meninggalkan kafe itu. Aku bisa mendengar kelepak kelelawar dan sayap serangga berdesir di udara. Aku juga bisa merasakan bulir embun yang belum ditetaskan. Tiba-tiba perasaanku begitu halusnya dan keheningan seakan mengapung di sekitarku.
Tepat pada saat itu aku teringat kembali pada peristiwa mutilasi Ayah. Aku teringat pada senyum ganjil Ibu. Dan rasanya aku telah melihat senyum itu lagi. Baru saja. Beberapa saat lalu. Ya, pelayan itu. Pelayan kemayu itu telah melemparkan senyum itu tadi. Sambil melangkah aku terus meyakinkan diri bahwa pelayan itu telah melemparkan senyum yang sama dengan senyum Ibu pada malam jahanam itu.
Suara-suara dalam kepalaku kembali terdengar. Seperti lontaran berbagai cerita yang disusun secara acak. Yang membunuh Ayahmu bukan Ibu, tapi pelayan kafe itu. Sejak kecil kamu punya penyakit, bukan? Kamu tidak sama seperti anak-anak normal. Kamu tidak normal. Kamu gila. Aku seperti teringat pada bagian yang tidak pernah kuingat. Ayahku sering bilang bahwa aku gila. Dan, oh Tuhan, bukan pelayan kafe itu, tapi aku sendiri yang telah membunuh dan memutilasi Ayah. Dan Ibu telah melindungiku. Aku masih bisa merasakan darah yang hangat itu di tanganku. Aku masih bisa merasakan pipiku yang perih karena ditampar Ayah.
Suara-suara dalam kepalaku semakin riuh. Aku merasakan denyut di kepalaku, seakan sesuatu akan menyembul dari sana, seperti yang bertahun-tahun telah kualami.
“Aku harus menemui jahanam itu.” Suaraku sendiri terdengar begitu asing seakan-akan tidak keluar dari tenggorokanku. Aku berlari sekuat tenaga ke arah kafe itu.
Saat itulah seluruh lampu di kota serempak padam. Kegelapan benar-benar menguasai kota. Di langit tak ada bulan, bahkan sebutir bintang pun tak tampak. Sambil berlari aku mendengar jutaan kepak sayap bergerak cepat mengikutiku. Kegelapan begitu padat. Aku seperti berada di tengah gurun mati. Kecuali dua butir cahaya suram di kejauhan. Semakin dekat, cahaya itu semakin kelihatan. Cahaya itu tidak memancar, seolah-olah tertahan, lebih mirip bara.
Aku sudah berada di depan kafe. Tak seorang pun di situ. Pintu kafe tertutup. Tepat dari tengah-tengah pintu, cahaya yang merupa bara itu berasal. Persisnya dari kedua mata Asmodeus yang, baru kali ini aku perhatikan, sedang tersenyum menatapku. Senyum yang sangat lekat dalam ingatanku. Dan seluruh bangunan kafe seketika itu juga dirubung jutaan lalat yang terus berdatangan dari berbagai arah.(*)
Lombok, Februari-Maret 2013
Bashirah Delmora Anjali lahir dan tinggal di Lombok. Menulis fiksi dan esai. Kini bekerja sebagai pengelola Taman Baca dan Sanggar Sastra MataKata.
Riduan Hadi Pranata
Pertentangan psikologis yang kompleks, meskipun ada sedikit loncatan2, tapi disanalah letak kelebihan cerpen ini
Maheswara Mahendra
Urut dan lancar, enak …tks !!