Cerpen Denny Prabawa (Media Indonesia, 24 Maret 2013)
HAI… Di manakah orang sekampung kita? [1] Ayo, berdirilah, lalu kita menuangkan kesedihan kita! Bagai sebuah seruan. Orang-orang masuk ke dalam lingkaran pa’badong [2] di tengah lantang. Saling mengait jari kelingking, mengalirkan duka yang maha. Tubuh-tubuh berbalut kain hitam itu bergerak, ke kanan, ke kiri, ke depan, ke belakang sambil mengayunkan kedua tangan yang terkaitkan. Bergerimit suara merapal syair. Mengenang mendiang yang telah berpulang. Ma’badong [3].
Sebulan lalu, Helena Rambulangi tutup usia. Sebagai keturunan Tomanurung, menjadi kewajiban bagi keturunannya untuk merayakan kematian. Bukan masalah bagi keluarganya yang kaya raya. Sawah terhampar berhektare-hektare. Kerbau di kandang puluhan jumlahnya, siap dikorbankan. Kematian. Sebuah akhir yang mula. Sebuah mula segala. Ke puya, [4] di puya, negeri jiwa tempat para leluhur bersemayam. Ke sana puluhan tedong yang dikorbankan siap mengantarkan.
Aku tidak berada di sana, tapi tahu segalanya. Aku mendengar semuanya. Aku selalu membayangkan berada di sana. Berdiri di antara pa’badong. Menari dan menyanyikan syair duka. Melarut dalam gerak dan suara sambil membayangkan dirimu yang terbujur kaku dalam erong [5] berpahat kerbau itu. Erong yang kupahat sendiri dengan tanganku.
“Ajari aku syair itu, Indok! Ajari aku,” pintaku, merajuk kepadamu ketika pertama kali kau mengajakku ke perayaan kematian sanak keluarga kita. “Aku ingin ma’badong!”
“Kau masih kecil, Nak,” katamu sambil mengelus kepalaku, “suatu saat nanti, kau akan menyanyikannya untuk Indok.”
“Aku mau Indok, aku mau menyanyi, aku mau menari. Aku mau ma’badong.”
Namun, setelah 360 hari selepas kematianmu, tak bisa aku melakukannya. Meski syair dan gerakan itu telah kuhafal luar kepala. Segalanya seperti sia-sia. Entahlah. Apakah harus kusyukuri takdir sebagai keturunan Tomanurung? Atau aku harus meratapinya?
Mari kita menguraikan kesedihan hati.
Tidakkah engkau berduka?
Tidakkah kesedihan di hatimu?
Pa’badong terus bernyanyi dan menari. Kian lama, lingkarannya kian membesar. Tubuh-tubuh berbalut kain hitam itu berjalan ke depan ke belakang sambil mengayunkan kedua tangan yang terkaitkan. Kesedihan mengepung langit di atas Rantepao.
Aku tidak berada di sana dan tak akan pernah berada di sana, tapi aku tahu segalanya. Aku mendengar semuanya. Aku selalu membayangkan berada di sana. Berdiri di antara pa’badong. Menari dan menyanyikan syair kedukaan. Melarut dalam gerak dan suara sambil membayangkan dirimu yang terbujur kaku dalam erong berpahat kerbau itu.
Seperti ketika aku masih berseragam putih-biru. Kau tuntun aku masuk ke dalam lingkaran pa’badong.
“Tapi aku tak hafal syairnya, Indok,” kataku tampak canggung.
“Dengarkan dan ikuti,” ujarmu sambil tersenyum.
Aku menautkan kelingkingku ke kelingkingmu. Lalu menajamkan telinga. Berusaha menangkap setiap kata yang terlafal dari mulut pa’badong. Seperti dengungan ribuan lebah. Bergerak sambil terus mengikuti irama. Maju. Mundur. Aku tersirap kata-kata. Tiba-tiba saja, bibirku sudah merapal syair-syair seolah aku telah menghafalnya sejak lama.
Namun, setelah 360 hari selepas kematianmu, aku hanya bisa duduk di depan erong-mu. Berbicara kepadamu, seolah-olah nyawa masih bersemayam dalam tubuh kakumu. Mereka belum mau menganggapmu mati, sebelum aku merayakan pesta kematian untukmu. Pesta kematian bagi perempuan bergelar puang keturunan Tomanurung.
Padahal, semua kerbau dan babi milik kita sudah habis seluruhnya untuk merayakan pesta kematian Ambe’. Hanya tedong itu, tedong bonga pemberianmu, yang tersisa di dalam kandang kita.
Ah, mengapa begitu lekas kau menyusul Ambe’?
Sehabis ratapan memanggil ibunya;
Putuslah angin pada mulutnya;
Habislah jiwa pada badannya
Bagai suara lebah. Mendengung dan terus mendengung seolah memanggil sesiapa untuk masuk ke dalam lingkaran pa’badong di tengah lantang [6]. Lingkaran itu bagaikan semesta kesedihan yang menyedot siapa saja untuk larut dalam kenangan akan mendiang.
Aku tidak berada di sana dan tak akan mungkin berada di sana, tapi aku tahu segalanya. Aku mendengar semuanya. Aku selalu membayangkan berada di sana. Melafalkan kedukaan. Melarut dalam kesedihan yang maha seraya mengenang perjalanan hidupmu. Menapaki jejakmu pada lantai kayu dan anak tangga di tongkonan [7] kita.
“Menangislah, Nak, menangislah,” katamu, “jika itu bisa menghapus kesedihanmu. Nyanyikan saja dukamu.”
“Indok, jangan tinggalkan aku,” mohonku ketika itu.
“Setiap orang pasti mati, Nak,” rintihmu, “di puya, di puya… negeri kita yang abadi.”
“Dengan apa aku mengantarmu ke puya? Tedong yang kita punya hanya tinggal seekor.”
“Menyanyilah, Nak,” pesanmu, “tarikan dukamu bersama pa’badong, pada tiap-tiap perayaan kematian. Syair-syair yang kau lafalkan akan mengantarkanku ke puya.”
“Indok….”
Namun, setelah 360 hari selepas kematianmu, tak juga aku mampu memenuhi permintaanmu. Percuma. Nyanyian dan tarian saja tidak akan mengantarkanmu ke surga. Begitu kata mereka. Tak ada puya tanpa tedong bonga bagi seorang puang Tomanurung. Seekor tedong bonga pemberianmu tak akan cukup membawamu ke puya. Masih perlukah aku ma’badong?
Bersama dengan asap bara api. Diikut-ikuti oleh awan ke selatan negeri tuhannya jiwa di negeri jiwa.
Syair ratapan dilantunkan. Duka mengapung di atap bumi Rantepao. Orang-orang masih berdatangan. Sebagian memenuhi lantang. Sebagian turut bergabung dalam lingkaran bersama pa’badong, melantunkan syair ratapan. Menangisi keniscayaan kematian.
Aku tidak berada di sana dan tak akan mungkin berada di sana, tapi aku tahu segalanya. Aku mendengar semuanya. Aku selalu membayangkan berada di sana. Menyaksikan kerbau-kerbau itu diarak sebelum diikatkan pada menhir-menhir peninggalan masa silam sebelum dibawa ke tengah lapangan, siap untuk dikorbankan.
“Apakah kerbau-kerbau itu akan membawa Ambe’ ke puya, Indok?” Tanyaku saat menyaksikan puluhan kerbau yang kita pelihara dikorbankan untuk merayakan kematian Ambe’.
Kau tidak menjawab. Hanya wajahmu menatap ke langit. Lalu jari telunjukmu menuntun pandanganku.
“Kerbau-kerbau itu, Indok!” Ujarku, takjub menunjuk ke langit, “mereka di sana, mereka di sana bersama Ambe’!”
Sebentar lagi. Ya, sebentar lagi… Kerbau-kerbau itu akan mengantarkan Helena Rambulangi ke puya.
Namun, 360 hari selepas kematianmu, hanya seekor kerbau belang pemberianmu yang kumiliki. Apakah babi-babi pemberian sanak saudara kita cukup untuk mengantarmu ke puya? Aku hanya anak muda yang tak punya pekerjaan kecuali memahat tau-tau dan kerajinan lain. Telah kubuatkan tau-tau terindah untukmu. Mereka pasti akan sulit membedakannya dengan dirimu.
Ah, rasanya sia-sia kubuat tau-tau itu. Ia tak akan mampu mengantarmu ke puya. Rasanya tak mungkin aku mendapatkan kerbau-kerbau itu. Apa boleh buat, pekerjaanku memahat hanya cukup untuk membuatku tak kelaparan.
Dengan apa aku akan mengantarkanmu ke puya?
Ke selatan ujungnya langit
Ke selatan negeri tuhannya jiwa
Di sana negeri orang yang bersedih
Syair berkat telah dilantunkan. Keselamatan telah dimohonkan. Kerbau-kerbau digiring ke tengah lapangan, siap diadu sebelum dikorbankan. Orang-orang berkumpul melingkari arena menanti kerbau-kerbau itu saling beradu tanduk.
Aku tidak berada di sana dan tak akan mungkin berada di sana, tapi aku tahu segalanya. Aku mengenang semuanya. Aku selalu membayangkan berada di sana. Mengenang kerbau belang kita yang jadi pemenang saat perayaan kematian Ambe’. Satu-satunya kerbau yang tersisa dalam kandang milik kita. Aku teringat pesanmu.
“Pelihara dia baik-baik,” wasiat Indok saat sakit tak lagi menemukan obatnya. “Kau lebih membutuhkanya daripada aku.”
“Lalu dengan apa Indok ke puya?” Tanyaku memeram kesedihan.
“Dengan syairmu,” kata Indok memaksakan untuk tersenyum, “syair yang selalu kita nyanyikan bersama pada tiap-tiap ma’badong.”
“Tak ada puya tanpa tedong bonga, Indok.”
“Percayalah kepadaku.”
Kini, 360 hari selepas kematianmu, syair-syair itu mendengung-dengung terus di kepalaku. Tanpa kusadari, aku mulai menari sambil melafalkan syair kedukaan di hadapanmu. Sendiri. Hanya seorang diri. Sambil membayangkan dirimu berada dalam erong tempat Helena Rambulangi disemayamkan. Mereka tak akan menyadarinya dan tak pernah akan menyadarinya.
Aku terus menari dan bernyanyi melantunkan kedukaan. Bergerak ke depan dan ke belakang sendirian. Hingga dari jendela kamar yang kubiarkan daunnya terbuka, nampak dirimu di atas sebuah kerbau belang diiringi ratusan kerbau yang bergerak dan terus bergerak ke langit. Ke puya… di puya… negeri para leluhur berdiam. (*)
Denny Prabawa, bekerja di Balai Pustaka. Aktif di Forum Lingkar Pena, Depok.
Catatan:
1. Terjemahan syair diambil dari makalah Badong Sebuah Tari dan Nyanyian Kedukaan di Tana Toraja, disusun oleh Harliati, mahasiswi FIB UI
2. Orang yang menari dan menyanyikan syair kedukaan
3. Menari dan menyanyikan syair kedukaan
4. Surga
5. Peti mati
6. Rumah-rumah bambu yang didirikan saat upacara Rambu Solo’
7. Rumah adat suku Toraja berbentuk seperti perahu, selalu menghadap ke arah utara
dawam anwar
Lebih mengerti sedikit tentang adat Tator.