Cerpen Budi Hatees (Media Indonesia, 31 Maret 2013)
AKU tak akan menceritakan siapa dirinya karena aku tak mengenalnya. Hanya tahu wajahnya dari gambar yang diberikan Yusuf asistenku—juga santri di pondok pesantrenku.
Tak penting dari mana Yusuf mendapatkannya, yang penting cuma satu: orang itulah yang disuruh membunuhku. Siapa yang menyuruhnya? Yusuf tak tahu.
Katanya, aku punya banyak kesalahan yang membuat siapa saja menghalalkan darahku. Menggigil aku mendengarnya. Aku meminta Yusuf segera mencari tahu siapa yang menyuruh orang itu membunuhku, kenapa ia menginginkan kematianku.
“Ya,” kata Yusuf, “sementara aku belum berhasil, Ustaz harus mengurangi jadwal berceramah.”
“Kenapa? Bukankah syiar harus terus berlanjut?” Mungkin Yusuf berpikir aku takut. “Aku tak takut menghadapi kematian. Itu rahasia Allah.” Aku mengurai pandanganku tentang kematian, tapi Yusuf menolak mendengarkan.
“Sudahlah, Ustaz!” Yusuf menggeleng. Ia bilang sudah terlalu sering mendengar ceramahku soal kematian, kehidupan, rezeki, jodoh. “Kepasrahan pada kehendak Allah yang sering Ustaz sampaikan tidak seperti kenyataan yang saya lihat.”
“Apa maksudmu?“”
“Saya lihat Ustaz tak ikhlas dalam persoalan ancaman dibunuh ini. Ustaz takut menghadapi kematian. Ustaz menyuruh saya mencari tahu siapa orang itu. Apalagi tujuannya kalau bukan karena takut?”
“Kita harus selalu ikhtiar berbuat kebaikan. Mencari tahu siapa orang itu bagian dari ikhtiar.”
“Itu sudah sering Ustaz ucapkan,” Yusuf tersenyum. “Ustaz juga bilang semua ikhtiar tidak akan bisa mengubah kekuasaan Allah. Kita hanya manusia, hamba di mata-Nya. Kita harus menerima segala sesuatu dengan ikhlas. Barangkali Allah menghendaki kematian Ustaz lewat tangan orang itu.”
“Masya Allah!” Aku menggeleng. “Kau mendoakan kematianku.”
“Ustaz, jangan pernah mengambil kesimpulan yang buruk terhadap orang lain. Bukankah Ustaz yang menyuruh agar kita selalu berbaik sangka?”
Aku mengangguk. Aku ingin Yusuf mencari tahu siapa yang menyuruh orang itu karena mungkin orang itu keliru. Lagi pula, tak ada alasan apa pun bagi siapa pun untuk membunuhku. Aku tak pernah berbuat kejahatan. Aku sudah mendekati apa yang disuruh dan menjauhi apa yang dilarang Allah?
“Hanya Allah yang menentukan siapa yang sudah berbuat baik dan siapa yang sudah berbuat buruk,” kata Yusuf.
Aku terhenyak. Yusuf menggunakan kalimat yang selalu kusampaikan dalam ceramah, ia mengembalikannya padaku. Mestinya aku bersyukur karena berhasil mengubah Yusuf menjadi lebih baik. Tapi, aku merasa Yusuf mulai mengajariku.
Dasar manusia, baru tahu serba sedikit sudah berlagak tahu segalanya. Aku menyelamatkan Yusuf dari jurang maha dalam sebagai pecandu narkoba. Orangtua Yusuf meminta aku bisa mengajarinya supaya lepas dari jerat narkoba.
“Kami tak punya cukup waktu untuk mengajarinya soal agama. Tolonglah Ustaz, selamatkan anak kami,” kata ayahnya.
***
Suatu siang, aku sedang memberi ceramah di aula sebuah kantor BUMD, ketika aku lihat orang itu mendorong pintu dan berdiri di sana. Dari tempatku berdiri, sekitar 10 meter dari pintu, aku tak begitu mengenali sosoknya. Aku kira ia karyawan BUMD yang terlambat masuk dan aku tak terlalu peduli.
Ketika orang itu melangkah dan mengambil kursi di barisan depan, barulah kukenali wajahnya. Persis dengan gambar yang diberikan Yusuf. Mendadak aku terdiam. Mataku memastikan apakah betul dirinya yang duduk di sana. Pandangan kami beradu. Kakiku gemetar seketika. Jantungku berdegup kencang. Yusuf yang menjadi pembaca acara memberi isyarat agar aku melanjutkan ceramah. Aku tersentak dan istigfar. Aku tebarkan tatapan ke setiap sudut aula.
Mataku membentur tatapan heran dari Direktur BUMD Borkat Pangidoan, orang yang mengundangku melalui Yusuf, dan memintaku agar memberikan siraman rohani kepada karyawan perusahaan milik negara ini.
Ia duduk di barisan paling depan dan berusaha menoleh ke belakang. Aku kira ia ingin memastikan apa yang membuat aku begitu cepat berubah. Lekas aku kuasai diriku, lalu kukendalikan situasi. Tapi, tetap saja aku tidak bisa fokus.
Cara bicaraku tidak seperti biasanya. Aku tampak tidak menguasai materi ceramah. Gugup. Mataku terus-menerus melirik ke arah orang itu. Ia duduk di sana. Diam seperti patung. Tapi sorot matanya sangat tajam.
Dari tempatku berdiri, aku bisa mengawasi gerak-geriknya. Aku khawatir setiap kali tangannya bergerak. Aku pikir ia akan mengeluarkan senjata, lalu mewujudkan rencananya membunuhku dengan cara menembakku.
Setiap kali tangannya bergerak, aku tak melihat ia memegang sesuatu yang pantas dicurigai. Namun, ia betul-betul memecah konsentrasiku. Membuat ceramahku tidak fokus. Yusuf paham soal itu, lalu mengingatkanku. “Istigfar, Ustaz!” bisik Yusuf.
Aku mengangguk. Ceramah kulanjutkan setelah meneguk segelas air putih. Aku merasa bersalah pada Borkat Pangidoan. Bukan sekali ini saja ia mengundangku. Sekali sebulan ia memberiku jadwal berceramah.
Katanya, ceramahku bisa mengubah perilaku para karyawan. Karena sering mendengar ceramahku, produktivitas kerja mereka makin meningkat. Yang paling penting, kata Borkat Pangidoan, kebiasaan para karyawan berubah total. “Selain produktivitas mereka meningkat,” katanya, “tidak pernah ada lagi kasus karyawan yang korupsi.”
***
“Ada apa, Ustaz?” tanya Yusuf dalam perjalanan pulang menuju pondok pesantren. “Tidak biasanya Ustaz seperti ini.”
Aku tak menanggapi. Pikiranku masih dipenuhi sosok misterius itu. Bagaimana bisa orang itu ada di sana? Apakah ia bekerja di sana? Kalau tidak, mustahil orang itu bisa masuk ke aula, lalu duduk mendengarkan ceramahku seperti jamaah lainnya. Ia begitu tenang, tapi sorot matanya begitu tajam. Akan kentara sekali bila ia menyimpan dendam padaku. Aku tak tahu soal dendam itu, tapi cara ia menatapku benar-benar seperti seorang pemangsa.
“Hari ini Ustaz banyak berubah,” ulang Yusuf, “ada apa sebetulnya?”
Aku menghela napas. Tapi aku belum mau bercerita kepada Yusuf. Aku masih belum bisa mencerna bagaimana orang itu bisa ada di sana. Namun, semakin aku tak menjawab, semakin banyak pertanyaan yang diajukan Yusuf.
Ia mengomentari penampilanku sebagai penampilan paling buruk. Ia juga bilang, kalau seperti itu caraku berceramah, sukar bagi siapa pun untuk mengambil hidayah. “Aku saja tidak paham, Ustaz,” katanya.
Aku hanya mengingatkan Yusuf agar fokus pada jalan raya. “Saya banyak belajar, Ustaz,” katanya. “Saya belajar dari apa yang saya lihat.”
“Apa yang kau pelajari?”
“Banyak hal. Termasuk soal ketakutan Ustaz yang tak beralasan.”
“Apa maksudmu.”
“Soal ancaman pembunuhan itu.”
Aku merasa seperti dijebak untuk memberitahukan hal yang mengganggu pikiranku, yang membuat ceramahku menjadi tak seperti biasanya. “Kau melihat orang itu?” tanyaku.
“Orang mana?” Yusuf tersenyum. “Aku tahu sekarang. Ustaz melihat orang dalam gambar itu,” tebaknya. Tiba-tiba Yusuf tertawa. “Ustaz masih dihantui rasa takut pada kematian.”
***
Beberapa hari kemudian, harus kuakui bahwa Yusuf benar. Aku takut menghadapi kematian. Mestinya tidak seperti itu karena kematian adalah kehendak Allah. Tapi aku sangat takut. Aku khawatir ancaman orang itu terwujud. Aku mengurangi jadwal keluar pondok pesantren. Banyak permintaan ceramah yang kutolak.
Aku juga mengurangi jadwal pengajian dengan santri-santri karomahku, para santri yang tinggal di luar pondok. Aku menyuruh Yusuf bicara kepada mereka, dan aku minta Yusuf membuat alasan apa saja yang bisa diterima akal sehat. Aku wanti-wanti agar Yusuf jangan pernah menyinggung soal rencana pembunuhan terhadapku.
“Baik,” kata Yusuf, lalu ia keluar pondok pesantren. “Aku akan temui semua santri.”
Tapi ternyata itulah terakhir kali aku bertemu Yusuf. Ia tidak pernah kembali. Ia meneleponku dari luar pondok pesantren dan memintaku membaca sepucuk surat yang ia taruh dalam Alquran yang sering kubaca. “Tepat pada surat ke-63, Ustaz. Aku taruh surat itu di sana,” kata Yusuf. “Aku minta maaf karena pergi diam-diam, tapi aku jelaskan semuanya di dalam surat itu.”
Begitu telepon ditutup, aku segera mengambil Alquran dan membuka halaman surat ke-63. Ada sebuah amplop di sana. Tertutup rapat. Aku membukanya. Tapi amplop itu hanya berisi selembar kertas putih dan tulisan berbunyi, “Maaf, Ustaz. Maafkan saya. Semua orang pada akhirnya akan mati. Saya juga. Saya tak akan campuri urusan Allah. Saya sudah mendapatkan banyak hal, tapi belum sempat mengamalkannya.”
Aku terdiam. Surat itu masih kupegang, mataku segera tertuju pada lembar surat ke-63 dari Alquran yang terbuka: Al Munafiqun. Mendadak kakiku goyah. Tubuhku gemetar. Aku perhatikan surat itu lebih saksama. Ada tanda warna merah pada ayat ke-8. Aku menangis. Aku pikir inilah yang dimaksud Yusuf, “Bagaimanapun usahaku menghindari kematian, ia tetap akan datang.” (*)
dawam
Orang takut mati, itu wajar. Pertanda bahwa amal kita perlu selalu ditingktkan, sebab memang tak atau belum pernah ada orang mengumumkan dirinya sebagai manusia kelebihan amal.
Ismail Agung
ini ga salah ayat kah? saya coba baca Al Quran terjemahan justru ada di ayat ke 11 yang menjelaskan tentang kematian.
Ismail Agung
ayat ke 8 atau ayat ke 11?
dyah prabaningrum
bahwa kata konfusius sungguh seseuatu yang sangat susah sekali bila setiap kata harus benar2 ditindakkan,, dan sabda nabi mungkin menjadi benar, diam itu emas… iya kita sering,, bahkan sangat sering,,,belajar untuk mengendalikan kata2 penting,, lantas bagaimana dengan syiar? apakah kita perlu menunggu sempurna?
Yulida Azimah
Assalammualaikum. pendapat saya sedikit, Tidak ada istilah takut mati, dan berani mati, tapi amalan hidup yang belum sempurna , Allah pun tidak tidur, akan diberikan kesempatan hidup bagi orang- orang yang berfikir, Maka dari itu intinya manfaatkan lah waktu sebaik-baik mungkin, ilmu bukan patokan seberapa besar iman kita. Tapi keyakinan kepada Allah . SWT yang membuat kita insyaallah lebih ikhla. Wassalam