Cerpen Fandrik Ahmad (Suara Merdeka, 07 April 2013)
NAMANYA Siti. Bila fajar merekah, ia menuruni Bukit Payudan menuju sebuah sumber mata air di lereng bukit. Berbasahan dengan setumpuk pakaian yang larung di bawah pancuran, menunggu kucekan.
Di atas air menggenang, berguguran daun-daun kering. Alang-alang dan tanaman pakis tumbuh lebat di sekitar pancuran dan di sepanjang sisi selokan. Ikan-ikan kecil mengambang—yang melesat bilamana coba disentuh. Air beriak sepanjang selokan membentuk gugusan kristal. Lepas pandangan ke barat, Gua Payudan terpancang kokoh.
Bila cakrawala bergelantung di pelepah nyiur, gadis bermata ilalang itu juga di pancuran. Bedanya, ia tak sendirian sebagaimana pagi itu. Siti bersama emaknya. Membawa dengan menenteng setumpuk peralatan dapur: bajan, panci, piring, cobek, sendok serta kresek isi abu tomang dan sabun colek.
Segala bentuk perkakas dapur itu bukan Siti yang membereskan. Ia sekadar duduk-duduk di sebuah batu besar menikmati panorama lereng bukit: angin sepoi, burung tekukur berbaris di pelepah nyiur, ladang yang tampak miring, serta cericit kecil serangga. Kadang ia mengusili ikan dengan melemparinya dengan kerikil. Atau melantunkan tetembang kejhung [1] yang sengaja dipinta oleh emaknya.
Dalam keadaan seperti itu, ilalang di dalam mata Siti melambai. Menggambarkan sesosok lelaki yang berlari ke arahnya dengan senyum tak kalah rekah dari cakrawala. Derap kaki yang berlari di atas pematang seperti perjalanan sebuah perahu yang dipermainkan ombak. Siti pun tersenyum.
“Siti. Ayo pulang. Mak sudah selesai,” ujar emaknya.
“Ya, Mak.”
Dibimbing gadis mungil itu berjalan menaiki Bukit Payudan. Sampir lorek dijinjing setinggi lutut. Tanpa sepengetahuan Siti, emaknya menoleh, menimang perasaan anaknya. Ada sesuatu yang menyesakkan dadanya.
***
PIJAR teplok di pilar beranda meliuk, berdesis-desis mempertahankan cahayanya. Belum lagi teplok itu dituntut adil membagi cahaya antara beranda dan langkan langgar. Api yang menjilati gelap tampak memberi isyarat kalaulah bulu kuduk akan berdiri bila keluar beranda, tercekam dingin.
ihsan dika maulana
cerita yg bagus mas..
hidup ky’nya !
dawam anwar
Kisahnya, biasa-biasa saja. Mungkin–yang lebih–hanya kalimat puitisnya.
dawam anwar
Puitis, saja, kalimatnya.
muna masyari
selamat. like!
thenewman
bagus mas ceritanya, dari keondaha bahasa juga bagus.