Cerpen, Fandrik Ahmad

Riwayat Langgar

5
(1)

Baca juga: Slerok – Cerpen Fandrik Ahmad (Kompas, 15 Juli 2018)
Suara dedaunan rumpun pering yang saling bergesek bak suara harmonika yang sumbang. Kerjap kunang-kunang di pekarangan rumah. Sesekali kelebat kelelawar menyibak kelam. Sebuah krocok jatuh. Isya baru saja lewat. Tetapi apalah daya, hanya bertumpu pada jilatan satu teplok membuat malam larut dari biasanya.
Siti. Siti. Siti.
Siti. Siti. Siti.
Bangun. Bangun, Sayang.
Siti membukakan mata. Mencoba mengenali suara yang terasa dekat dengan perasaannya. Kendati mata sudah terbuka lebar, tanpa sebersit sinar, melihat tak lebih dari—sebagai—tunanetra. Mujur ada bulan sabit di balik tirai tipis berpaling ke arahnya sehingga Siti dapat menerka letak jendela kamar.
Siti. Siti. Siti.
Bangun. Bangun, sayang.
Siti menyingkirkan sampir yang menutup tubuhnya. Perlahan ia mendekati jendela. Tirai dan daun jendela terkuak. Ada seberkas cahaya terang di sisi kiri jendela. Alisnya mengernyit. Dahinya mengerut. Matanya menyipit. Ada cahaya yang tak bisa digambarkan terangnya. Bahkan ketika ia berkunjung ke seorang kerabat jauh yang tinggal di Surabaya beberapa tahun lalu, belum ada cahaya sepadan dengan yang dia lihat di kota itu.
Siti mematung berlama-lama di paras jendela. Cahaya itu tak mengabur, tetapi Siti dapat melihat apa, siapa, dan bagaimana rupa di balik cahaya itu. Ya, sebentuk istana dengan lapisan kristal menghablur di dasar lantai. Empat pilar emas menyangga atap berlapis dedaunan hijau dengan kemboja sebagai motifnya.
Sebagian dari temannya tengah berada di sana, tetapi tidak tahu persis satu persatu di antara mereka. Ia cuma menerjemahkan sebuah kisah dalam adegan-adegan itu dengan sikap dan perasaan yang tak asing; anak sepantarannya yang sedang mengeja huruf hijaiyah.
Siti terenyuh ingin segera bersimpuh bersama mereka. Bibirnya terkatup rapat. Apa yang dilihatnya membuncah kerinduan betapa peristiwa itu tak lagi ada. Siti terka wajah-wajah berpakaian serbaputih itu satu-satu, namun tak berhasil. Rentang waktu lebih dari lima belas purnama memajal ingatan.
Seekor kucing melesat. Panci di dapur jatuh. Semua buyar. Emaknya terperanjat berlanjut menyumpah-serapahi suara itu. Siti duduk bertekuk kaki. Sepasang matanya kosong membuang pandang ke paras jendela.
“Masih gelap. Tidur lagi,” pungkas ibunya. Siti terpaku menatap paras jendela.

Baca juga  Kembang Api Rama

***

Loading

Average rating 5 / 5. Vote count: 1

No votes so far! Be the first to rate this post.

5 Comments

  1. ihsan dika maulana

    cerita yg bagus mas..
    hidup ky’nya !

  2. Kisahnya, biasa-biasa saja. Mungkin–yang lebih–hanya kalimat puitisnya.

  3. Puitis, saja, kalimatnya.

  4. muna masyari

    selamat. like!

  5. bagus mas ceritanya, dari keondaha bahasa juga bagus.

Leave a Reply

error: Content is protected !!