Cerpen, Fandrik Ahmad

Riwayat Langgar

5
(1)

BEREBAHAN di langkan langgar, pada hamparan tikar rajutan serat daun siwalan, bagi Siti dan emaknya, merupakan pilihan yang tepat ketika matahari menerik. Angin leluasa masuk dari celah-celah tabing yang bagian bawahnya sudah melepuh. Rimbun rumpun-pering duri yang menudung atap langgar membuat tempat itu lebih teduh. Konon, pering-pering itu ditanam di sekitar langgar sebagai persembunyian dari pantauan tentara penjajah serta tempat untuk menghimpun Laskar Joko Tole [2].
Siti menerakan mimpinya semalam. Tutur polos gadis berkulit sawo matang dengan rambut lurus menjuntai itu mendorong emaknya mengetuk masa lalu yang belum pernah termaktub sama sekali di benak anaknya. Wajahnya tertegun pada seorang pemuda yang terkapar di pematang ladang dengan muka pucat berkabu-kabu. Pemuda yang lupa pada dirinya sendiri. Pemuda yang tekun belajar mengaji kepada Ke Ramuk, abahnya. Pemuda yang kemudian mendapat nama Abdullah.
Ya, Ke Ramuk mendapati Abdullah tergolek lemas di pematang. Di tangan Ke Ramuk, Abdullah dituntun menjadi hamba yang saleh; shalat dan ngaji. Barangkali Abdullah merupakan jawaban atas doanya yang menginginkan keturunan laki-laki. Bagaimanapun keberhargaan memiliki anak lelaki tak bisa dinilai dari emas dua puluh empat karat sekali pun.
Baca juga: Solilokui Kemboja – Cerpen Fandrik Ahmad (Republika, 30 November 2014)
Seiring waktu berputar, kasak-kusuk tetangga mulai tak sedap didengar. Abdullah dituduh sebagai pembawa aib kampung. Gonjang-ganjing soal status yang tidak jelas mencuat. Sebagai tokoh masyarakat, Ke Ramuk memahami pangkal perkaranya. Bukan soal status, melainkan soal keberadaan putrinya yang berstatus perawan. Wajarlah bila warga merasa was-was atas nama adat. Untuk meredakan fitnah, Abdullah disandingkan dengan Ratin, anak semata wayangnya.
Ke Ramuk wafat ketika Siti berusia dua puluh lima bulan. Sebuah langgar tua dititipkan pada Abdullah dengan beberapa wasiatnya. Segala aktivitas Ke Ramuk atas langgar itu Abdullah yang menggantikan.
Lapuk dimakan usia sudah menjadi bagian dari kodrat alam. Pandangan emak Siti menyudut di sudut-sudut langgar. Memastikan dan meyakinkan kebenaran atas kepergian suaminya.
Barangkali sudah saatnya Siti mendengarkan yang sebenarnya. Dipandangi lekat wajah oval gadis mungil itu lalu dicium pipinya yang tembam. Siti merebahkan kepala di pangkuannya. Sentuhan tangan menyisiri rambut Siti. Sesuatu mengkristal dalam pandangan. Lepaslah sebuah cerita panjang. Sepanjang perasaan menjangkau ke belakang.

Loading

5 Comments

  1. ihsan dika maulana

    cerita yg bagus mas..
    hidup ky’nya !

  2. Kisahnya, biasa-biasa saja. Mungkin–yang lebih–hanya kalimat puitisnya.

  3. Puitis, saja, kalimatnya.

  4. muna masyari

    selamat. like!

  5. bagus mas ceritanya, dari keondaha bahasa juga bagus.

Leave a Reply

error: Content is protected !!