Begitulah anakku, mengapa amanah abahmu tak kulaksanakan. Aku takut perasaan itu datang lagi. Aku tak ingin masuk pada lubang yang sama dua kali. Mad Jumalah dulu yang menjadi dalang atas fitnah itu agar abahmu diusir dari kampung ini. Namun, jebakan menelan dirinya sendiri karena aku justru dinikahkan, batinnya.
Tidak semuanya dikisahkan kepada Siti. Termasuk wajah Siti yang mirip dengan Mad Juma. Hanya beberapa penggal saja yang ada benang merah antara langgar dan keluarganya, bukan dengan masa lalunya. Bila ada kata menyorong ke Karman, maka difiksikan sebagaimana kisah dalam cerita fiksi.
***
NAMANYA Siti. Bila fajar merekah, ia akan berbasahan dengan setumpuk cucian di bawah pancuran. Bila cakrawala bergelantung di pelepah nyiur, ia juga di pancuran. Tak membawa apaapa, sekadar duduk-duduk di atas batu besar.
Ia baru akan kembali kalau sebuah suara memanggilnya.
“Siti. Ngaji dulu.” Senyumnya tipis dan seperlunya. (*)
Jember, Maret 2013
Fandrik Ahmad, nama pena Fandrik Haris Setia Putra, lahir di Jember, 29 Juli 1990. Karya-karya cerpenis dan jurnalis ini dimuat di pelbagai surat kabar, baik lokal maupun nasional.
ihsan dika maulana
cerita yg bagus mas..
hidup ky’nya !
dawam anwar
Kisahnya, biasa-biasa saja. Mungkin–yang lebih–hanya kalimat puitisnya.
dawam anwar
Puitis, saja, kalimatnya.
muna masyari
selamat. like!
thenewman
bagus mas ceritanya, dari keondaha bahasa juga bagus.