Cerpen Adam Gottar Parra (Media Indonesia, 7 April 2013)
MARAH-MARAH seperti orang kerasukan setan terjadi hampir saban malam, sebelum Saroghol melanjutkan pekerjaan memahat batu sebesar kerbau di lereng Bukit Kotok. Sebagaimana malam yang mendung itu, di saat para penghuni gubuk di sekitar lembah sedang lelap, ia berteriak-teriak dari ketinggian bukit.
“Turunlah dari langit, bedebah! Jangan cuma berani dari jauh,” gertaknya, entah kepada siapa, seraya mengacung-acungkan pahat ke udara.
“Hmm, siapa yang melempar, hah?” Saroghol terperanjat. Tengadah. Sebutir buah pinang jatuh di semak-semak, membuat ia terkejut.
Lantaran buta sejak lahir, Saroghol hanya bisa merespons dengan telinganya. Namun, ia tak mendengar sesuatu. Hanya suara serangga yang bersipongang di kulit pohon. Setelah hening sesaat, mulutnya kembali mengoceh seperti pemabuk pasar kalah judi.
“Ah, kau cuma bisa membuat manusia dari tanah, sedangkan aku dari batu,” ujarnya, sesumbar.
Setelah jemu menyumpah-nyumpah, Saroghol akan beringsut dari tempat duduknya di akar pohon randu, lalu menghampiri batu merah yang teronggok di antara semak-semak. Berdiri di hadapan bakal patungnya, diam sejenak untuk merasakan getaran udara sekitar. Menghayati kembali pikirannya sembari mengelus-elus mata pahat yang tajam dan dingin. Setelah itu baru ia meneruskan pekerjaan yang tertunda dan hampir mendekati separuh jadi. Secara figuratif telah membentuk gurat-gurat anatomi. Tinggal dipertegas dengan detail.
Amat hati-hati Saroghol menempelkan ujung pahat di bagian wajah patung, persisnya di dagu. Ketika secara tak sengaja jarinya menyentuh bola mata patung itu, hatinya serasa teriris, karena ingat matanya yang buta sejak lahir. Kekecewaan itu mengipas-ngipaskan kembali api kemarahan pada nasibnya yang tak mujur. Ia benci patung itu. Dalam hatinya timbul niat jahat untuk mencelakai patungnya—dengan mencongkel bola matanya, supaya buta seperti dirinya. Tapi nafsu itu segera disingkirkannya. “Itu perbuatan pengecut,” gumamnya. Ia tidak mau seperti musuh besarnya di langit, yang hanya berani main belakang, secara sembunyi-sembunyi menciptakan dirinya dalam keadaan buta.
Saroghol terus memahat batu merah kelabu itu dengan torehan dan ketukan palu yang tertata. Sedemikian tekunnya ia bekerja, ketukan palu pada gagang pahatnya nyaris tak bersuara. Lirih bagai dengkur bayi.
***
Selepas mendengar kabar bahwa Saroghol akan membuat patung batu di Bukit Kotok, warga yang bermukim di kaki bukit kembali teringat pada kisah orang-orang jahiliah, penyembah berhala di sekeliling Kakbah. Maka, kabar itu segera disambut kasak-kusuk. Mereka bersiasat untuk menghalangi rencana Saroghol.
Malam itu, di bawah pimpinan Kadus, sejumlah warga mendatangi rumah Saroghol yang tersuruk di bawah pohon asam. Ia tinggal sendiri di gubuk beratap jerami yang sudah bolong-bolong.
Saat memasuki pekarangan rumah Saroghol, hidung mereka segera disambut oleh bau tai dan dengung lalat ijo dari parit yang selama ini menjadi jamban. Mereka tak peduli parit kering itu berjarak sangat dekat dengan rumah Saroghol, mereka tidak menyadari kalau bau kotoran telah menyiksa hidung Saroghol selama puluhan tahun.
Tapi sebagai warga yang kehadirannya nyaris tidak diperhitungkan, dan sadar kalau dirinya hanya orang buta yang tidak berguna—kecuali sebagai tukang pijat dengan imbalan secangkir kopi—Saroghol jarang sekali mengeluh. Ia lebih banyak bungkam, menanggung petaka seorang diri.
Kini, saat berada di gubuk Saroghol, baru mereka sadar kalau selama ini bau kotoran mereka telah menzalimi lelaki buta itu. Ketujuh orang yang kini duduk bersila di sangkok tak henti-henti mendengus seraya menepis lalat yang nemplok di hidung hingga mengganggu percakapan.
“Kamu jangan mengajak orang menyembah berhala, Ghol. Untuk jadi muslim yang baik saja kita belum sanggup, kok malah diajak menyembah berhala?” kata Muhir dengan suara sengau, karena hidungnya tersumpal jari.
“Siapa yang saya ajak menyembah berhala? Jangan buat-buat fitnah, jaga mulutmu,” Saroghol berang, hingga remah-remah ubi berjatuhan dari mulutnya.
“Lantas, apa maksudmu membuat patung berhala di bukit, kalau bukan untuk disembah?” tanya Haji Tahar sambil memperhatikan tumpukan pahat dan palu di depan Saroghol.
“Oh, itu maksud Pak Kadus?” jawab Saroghol, “bukan untuk disembah, tapi untuk hiasan. Sama seperti memajang tanduk rusa di kusen pintu.”
“Jadi bukan untuk disembah?”
“Bukan,” jawab Saroghol, melengos.
Sebenarnya mereka masih belum puas dengan jawaban Saroghol. Beberapa orang dari mereka masih ingin bertanya untuk mengorek keterangan lebih rinci mengenai rencana Saroghol membuat patung batu di Bukit Kotok. Tapi karena bau kotoran—yang tidak lain adalah kotoran mereka sendiri—terlalu menyengat dan gangguan lalat hijau yang masih berkeliaran hingga malam hari, mereka bergegas meninggalkan rumah Saroghol.
Kedatangan para tetangga ke rumahnya malam itu membuat Saroghol cukup terganggu. Hampir semalaman ia berpikir. Seumur hidup baru kali ini ia diusik orang. Tapi, sebagai orang buta yang hidup sebatang kara, Saroghol berusaha menelan kedongkolannya.
***
Ternyata masalahnya tidak selesai sampai di situ. Beberapa waktu kemudian, masalah berikutnya datang lagi. Akibat terlalu sering berteriak-teriak di malam hari, orang-orang mulai terganggu, dan bertanya-tanya, siapa gerangan yang diajak bertengkar oleh Saroghol?
Mereka kembali mendatangi Saroghol. Saat mereka tiba di atas bukit, Saroghol sedang berada di puncak kemarahannya.
“Kalau memang jantan, turun kau dari langit,” tantang Saroghol, lalu menyemburkan dahak kental ke udara.
Derap langkah orang-orang yang tengah mendaki lereng bukit itu mengusik perhatian Saroghol, hingga ia menghentikan ketukan palunya, lantas menyimak suara langkah yang kian mendekat.
“Siapa?” tanya Saroghol, setelah suara langkah mereka benar-benar dekat di bawah pohon petai. “Saya,” jawab Haji Tahar.
“Oh, Pak Kadus,” kata Saroghol, “tumben naik bukit malam-malam?” “Kami cuma mau nanya,” sahut Mudrah.
“Soal apa lagi?”
“Selama ini kamu bertengkar dengan siapa? Kok teriak-teriak?”
“Tuhan,” balas Saroghol, pongah.
Jawaban Saroghol yang di luar dugaan itu membuat mereka terperangah, seperti tersengat listrik.
“Tuhan???”
“Iya. Untuk apa bertengkar dengan kalian?”
Dahim yang membawa parang untuk memotong kayu bakar seketika menghampiri Saroghol, tapi segera dihalangi yang lain.
“Jaga bacotmu, setan!” bentaknya seraya mengacungkan parang ke arah Saroghol dari atas pundak Haji Tahar dan Mudrah, yang berusaha menghalanginya.
“Dajal macam kamu halal darahnya,” ancam Dahim.
“Istigfar, Ghol, istigfar,” bujuk Muhir sambil merangkul pinggang Dahim, “masak Tuhan kamu caci-maki?”
“Nyebut Ghol, nyebut…,” Burik menimpali.
“Kamu jangan ikut-ikutan, Burik! Urus saja kotak koprokmu sana,” hardik Saroghol, mengejek bandar judi dadu itu.
“Kamu kok jadi sesat begini, Ghol,” ujar Haji Tahar sembari geleng-geleng, lalu membisikkan sesuatu ke telinga Dahim, hingga pria itu terlihat lebih tenang.
Mereka tak habis pikir. Karena seumur-umur, baru kali ini ada warga Dusun Bukit Kotok yang berani menghujat Tuhan. Dan itu Saroghol buta. Mereka amat prihatin, karena khawatir kampung mereka kena kutuk, seperti kejadian 40 tahun silam, ketika puluhan orang dijemput paksa dengan truk, dan tak kembali sampai sekarang.
Sembari menuruni lereng bukit, mereka menggeleng-gelengkan kepala dalam gelap.
***
Empat tahun kemudian, orang orang berkerumun di lereng Bukit Kotok. Saroghol baru saja menyelesaikan patungnya, setelah bekerja keras siang dan malam, tak peduli hujan dan panas. Pagi menjelang terbit matahari, hidung peseknya tiba-tiba mengendus bau tubuh manusia pada patung batu yang dipahatnya.
Seketika tangan Saroghol menghentikan ketukan palu dan menarik ujung pahat dari selangkangan patung. Terdiam sejenak, meresapi apa yang sedang dialaminya. Sejurus kemudian ia memutuskan, patungnya telah selesai. Sempurna!
Saroghol beringsut ke bawah pohon petai, meraba-raba sesuatu di sekitar tungku. Kemudian memukul-mukul panci dengan palu sambil berteriak ke arah lembah, memberi tahu orang-orang bahwa patungnya sudah jadi.
Suara tong-tong bertalu-talu di pagi buta, membuat warga segera berduyun-duyun naik ke bukit. Dalam hitungan menit, orang-orang telah tumplek-blek di atas Bukit Kotok. Raut wajah mereka penasaran, ingin mengetahui seperti apa gerangan patung ciptaan Saroghol. Sesaat kemudian, terjadi perdebatan.
“Loh, kok patung anjing, Ghol?” Tanya mereka.
“Bukan. Ini patung manusia!”
“Manusia apaan? Ini jelas-jelas anjing, ada ekornya segala,” ungkap Lukap, sambil menyentuh buntut patung yang menyerupai kepala ular. (*)
Penulis tinggal di Lombok, cerpenis.
ihsan dika maulana
cerpenis sejati !
terus berkarya !
lihatlah apa yang tak bisa di lihat !
dan buktikan !
dawam anwar
Kisah yang memelas.
Rindawani
karya seorang filsuf…. luar biasa
Adrian K
dalam dan dahsyat…!!!
Guntur R
Pengarang ini gila…!!!
Guntur R
Cerpen2 AGP memang beda dengan pengarang2 lain! Ide-idenya gila dan berani…! Terus menulis mas…
Shelly N
gagasannya mengerikan !!!!!!!!!
Maheswara Mahendra
Asyik juga !!
Lalu Ari Irawan
Saya suka cara AGP mengekspesikan gugatan seorang hamba kepada Penciptanya. Saroghol adalah gambaran eksotisme seorang pemberontak sejati yang benar-benar punya caranya sendiri dalam memaknai hidupnya. ‘Tuhan itu ada’ adalah ekspresi yang paling mendasar dalam cerita ini.
rina pugh
Mantab… Menkaji manusia dari yg waras dan tidak dan dari yg terlihat dan dirasa… Maksud baik tapi yg terlihat tidak… Abstrak
Arini...14 Maret 2015
Senang dg carpen ini,membuat kita merenung ttg arti kehidupan…selamat menulis terus ya,bung AGP