Cerpen Ilham Mahendra (Republika, 14 April 2013)
SORE masih sangatlah terang, namun gerimis turun mengetuk genting-genting rumah warga. Ibu-ibu berlarian keluar rumah dengan dasternya yang terangkat setinggi lutut. Bergegas mengangkat kemeja, kaos, celana, pakaian dalam, seprei, dan kain-kain yang terjemur di depan rumah.
“Ada-ada saja, terang begini kok turun hujan?” gundah para ibu saat melihat langit. Pakaian yang diangkat dipikul dipundak.
“Ini hujan orang mati, Bu, biasanya sebentar,” celetuk seorang ibu yang rambutnya digulung seperti konde.
“Nambah kerjaan saja,” geraknya gelisah mengangkat pakaian, mungkin dia takut masakannya gosong karena ditinggal.
Sementara para istri sibuk dengan jemuran, sebagian suami mereka yang sudah pulang kerja, mendirikan tenda dan menjajarkan kursi di depan rumah yang berada di deretan ketiga dari mulut kampung. Pelantang suara di mushala mengumumkan kabar kematian Pak Matilah. Istri dan anak semata wayangnya yang berumur 12 tahun masih belum percaya setelah mendapat kabar dari warga yang menemukan jenazah di sekitaran tambak lele.
Warga mulai sibuk menyiapkan segala sesuatunya untuk prosesi pemakaman. Di bawah pohon jambu air samping rumah duka, dua orang sibuk membuat bendera kuning sebagai tanda kabar kematian.
“Memang umur siapa yang bisa tahu ya, Jang?” seorang pria berbicara dengan orang yang di sebelahnya.
“Kalau masalah umur ada yang tahu, banyak orang yang berlomba-lomba untuk bertaubat, No,” mukanya menyolot, terlihat rokok kretek menyala di mulutnya yang hitam.
Jajang dan Marno ditugaskan untuk memasang bendera kuning di tempat yang mudah dilihat. Misalnya di mulut kampung, jalan raya dekat mushala, tiang listrik, pepohonan, dan di depan kantor kelurahan yang mengarah ke rumah Pak Matilah.
***
Kampung terlihat lengang. Pohon mahoni bergoyang diembus angin, jangkrik dan orong-orong telah bersuara. Tikus-tikus berkeliaran mencari makan. Lampu rumah-rumah yang berjajar berjarak mulai menyala dengan orang yang entah sibuk apa di dalamnya. Suasana kampung tak seramai biasanya, sangat senyap. Termasuk dua rumah yang bersampingan di kampung itu yang kadang terdengar begitu gaduh. Mungkin warga masih takut untuk keluar semenjak kematian Pak Matilah yang tiba-tiba dan masih hangat. Hanya dari rumah Pak Matilah terdengar sayup suara orang-orang sedang tahlilan.
La ilaha illallah… La ilaha illallah…
Jajang berdiri di beranda rumahnya yang berselang beberapa rumah dengan rumah Pak Matilah. Tangannya merogoh kantong celana yang berwarna krem, mengambil sebungkus rokok dan geretan api. Kemudian menyulut rokok di bibirnya yang hitam. Jajang duduk di bangku kayu, tepatnya di bawah atap rumbia rumahnya. Rambut pendeknya terangkat tersapu angin. Ia melamun sembari mengisap rokok yang makin pendek berabu.
Di samping rumah Jajang terdengar suara pintu terbuka. Lalu terdengar langkah kaki terseok di tanah. Sosok kepala melongok dari dinding beranda yang memisahkan rumahnya dengan rumah tetangganya.
“Jaang,” suaranya panjang.
Perlahan Jajang menoleh ke sumber suara. Jajang tersentak kaget, melihat bayangan hantu kepala buntung. Bulu kuduknya meremang. Tangan dan kakinya bergetar.
“Jajaang.”
Suara itu muncul lagi dengan tawa terkekeh. Jajang memberanikan diri. Kepalanya kembali menoleh. Seketika takutnya hilang karena ia tahu siapa yang menjahilinya.
“Setan kau, No!”
“Haha. Lucu kau, Jang. Masa, tukang batu takut?”
“Memangnya tukang batu tak boleh takut?!”
“Boleh saja, jangankan tukang batu, tukang kayu, guru, dan hansip juga boleh takut.”
Jajang diam sambil mengisap rokok dalam-dalam, begitu cepat. Tak ada lagi tanggapan darinya. Marno membuka pagar rumah lalu menuju bangku kayu di depan rumah Jajang. Mereka duduk berdampingan. Udara makin mendingin.
“Kira-kira Pak Matilah setelah meninggal menjadi apa, ya?” Marno membuka obrolan.
“Apa maksudmu?”
“Kau tahu tentang reinkarnasi, Jang? Misalnya orang yang suka mengedor burung, saat ia meninggal ia akan terlahir kembali menjadi burung.”
“Kalau begitu orang semacammu jika mati akan menjadi kerbau?” ketusnya datar.
“Kenapa kau bicara seperti itu?”
“Kau kan tunduk dengan istrimu.”
“Berarti juga kalau kau mati nanti, kau akan menjadi ayam karena kau takut dengan istrimu,” Marno membela diri.
Tempo obrolan mulai agak meninggi. Angin dingin tak mereka hiraukan. Jajang mengambil sebatang rokok lagi dan menyulutnya. Marno mengangkat kaki kirinya seperti orang yang santai makan di warung nasi. Terlihat sandal jepit yang ia pakai begitu kotor.
“Tahu dari mana aku ini takut pada istri? Asal kau tahu, No, aku ini lelaki sejati yang tak akan takut pada istri.”
“Kemarin lusa rumahmu begitu ribut. Aku dengar kau merengek minta ampun pada istrimu. Apa itu yang namanya tak takut? Kau tak dapat mengelak lagi.”
“Sok tahu kau, No! Sebenarnya, itu suara istriku yang meminta ampun padaku setelah aku caci habis-habisan,” Jajang terlihat gelisah, geraknya mulai gugup.
Muka Jajang merah padam, begitu cepat dia isap rokoknya. Di belakangnya tirai tersingkap. Rupanya istri Jajang menguping pembicaraan itu. Matanya melotot dari balik kaca, tangannya mengepal. Memang, kemarin lusa Jajang dan istrinya betengkar hebat. Penyebabnya sepele, hanya masalah Jajang yang telat pulang ke rumah. Istrinya mengamuk bagai gorila yang terusik tidurnya. Jajang merengek minta ampun karena terus dilempari nampan, gelas, piring, dan barang yang dekat dengan istrinya.
“Apa yang salah? Sangat jelas itu suaramu, Jang. Sama istri kok takut. Contoh aku, Jang, aku bisa menjadi penguasa di rumah. Jadi, saat bereinkarnasi, aku akan menjadi singa karena aku bisa menguasai istriku,” cakapnya bangga.
“Apa katamu? Dasar pembual! Kemarin aku juga dengar, istrimu membentakmu. Kau disuruh beli sayur oleh istrimu yang katanya nurut denganmu. Apa itu yang namanya penguasa di rumah?”
“Memang kau dengar seperti itu, tetapi setelah itu aku memarahinya. Masa, laki-laki disuruh beli sayur? Jadi, aku tetap menjadi singa, kau akan menjadi ayam!” tukasnya sambil memukul-mukul dada.
Napas Marno tersengal, di rumahnya terdengar suara mendehem dari istrinya. Sebenarnya, kemarin ia habis-habisan dimarahi istrinya karena tak mau membeli sayur. Setelah mendapat jeweran, diam-diam Marno membeli sayur. Jika ia tak menurut pada istrinya, kuping Marno akan terus dijewer hingga melar. Istrinya adalah orang yang terkenal galak di kampung itu. Badannya gemuk, rambutnya pendek, mukanya seperti singa betina yang sesungguhnya.
Udara yang semakin dingin tetap tak mereka hiraukan. Suara jangkrik yang bersembunyi di balik rerumputan makin jelas terdengar. Di rumah Pak Matilah tak terdengar lagi suara orang bertahlil. Orang-orang sudah membubarkan diri, menenteng sebuah kantong kresek hitam. Terlihat seseorang muda berjalan ke arah Jajang dan Marno yang sedang berdebat.
“Pak Marno, Pak Jajang, akrab sekali kelihatannya. Tak ikut tahlilan, Pak?” pemuda itu bertanya sambil melemparkan senyum.
Bukannya menjawab, Jajang dan Marno malah memelototi pemuda itu. Karena terus dipelototi, pemuda itu semakin mempercepat langkahnya. Setelah pemuda itu hilang dalam gelap, Marno dan Jajang kembali berhadapan. Mereka melanjutkan perdebatan yang sempat terputus.
“Sudah, terima saja jika nanti kau menjadi kerbau!”
“Tak mungkin aku menjadi kerbau, kaulah yang akan menjadi ayam, Jang.”
“Kau tetap menjadi kerbau. Masa, orang yang tunduk dengan istri menjadi singa?! Cepat pulang sana, mungkin istrimu sudah mengasah golok dan akan membacok mulutmu yang banyak omong!” emosi Jajang memuncak.
“Kau saja yang pulang, istrimu di rumah sudah siap menghajarmu dengan panci!” Marno makin tak tahan, kedua tangannya mengepal kencang.
Obrolan makin memanas seperti air bergolak dalam panci. Sebagian lampu rumah-rumah warga sudah padam. Di kejauhan terdengar suara kentungan diketuk hansip. Di kampung itu hanya mereka berdua yang masih di luar rumah. Mukanya sama-sama memerah, dengus napasnya saling beradu.
“Jang, kau sama saja dengan bapakmu.”
“Kenapa kau bawa-bawa bapakku yang sudah almarhum?!” tanyanya kesal.
“Iya. Kau sama dengan bapakmu, sama-sama takut istri. Kau tahu bapakmu sudah menjadi ayam? Mungkin ayam yang tadi aku makan,” Marno meledek.
“Kau menghina almarhum bapakku, aku bunuh kau!” Jajang makin geram. Tangannya siap melayangkan tinju, namun ia urungkan.
“Haha, sebelum kau tikam perutku, lehermu akan aku tebas!”
Emosi Jajang dan Marno sudah sampai ke ubun-ubun kepala. Suara mereka semakin ribut, masih mendebatkan masalah pengecut dan penakut, reinkarnasi, singa, ayam dan kerbau, ditambah masalah saling bunuh. Muka yang merah makin terlihat merah. Mereka yang sedari tadi duduk, sudah berdiri dengan tangan kiri yang mengepal dan telunjuk tangan kanan yang saling tunjuk. Begitu dekat muka mereka. Saling berhadapan, saling melotot, dan beradu mulut. Nampak ludah-ludah bermentalan.
“Diam kau pengecut!” bentak Marno sambil menempeleng kepala Jajang.
“Berani-beraninya kau menempeleng kepalaku!” Jajang balas menempeleng kepala Marno, lebih kencang dua kali lipat.
“Berisik!” terdengar suara bagai letusan pistol dari dalam rumah mereka masing-masing. Rupanya istri mereka makin geram melihat pertengkaran suaminya. Rumah-rumah tetangga sangat senyap. Apa para warga tak mengetahui keributan itu atau mereka tak peduli pada keributan itu? Para warga memang tak peduli, karena malas menghadapi istri Marno dan Jajang. Sifat kedua istri mereka tak jauh beda. Terlebih lagi istri Jajang yang mukanya begitu sangar, mulutnya tak mau diam saat mencerocos, ia juga begitu ringan tangan. Para warga kampung sudah begitu khatam melihat kehidupan keluarga yang rumahnya berdempetan itu. Hampir seminggu tiga kali kedua keluarga itu bertengkar hebat. Warga yang ikut campur akan mendapatkan omelan pedas dari para istri mereka.
“Sudah, jangan mengurusi masalah keluarga orang lain, mengurus keluarga sendiri saja belum becus,” begitulah kalimat yang akan didapatkan warga yang ikut campur.
“Cepat masuk! Sudah malam masih terak-teriak. Masuk cepat!!” suara istri Jajang dan Marno lantang, satu komando.
“Dengar ya, No, aku yang menjadi singa.”
“Kau salah, Jang, akulah yang menjadi singa.”
Muka mereka yang sedari tadi sangat berdekatan mulai merenggang. Mereka membubarkan diri. Obrolan tentang kematian dan reinkarnasi terpaksa disudahi. Kampung mulai tenang kembali, sebab tak terdengar lagi suara obrolan yang memakai urat. Marno dan Jajang melangkah perlahan menuju rumah. Muka mereka pucat karena ketakutan, kepalanya yang saling menunduk. Mereka membuka pintu rumah dengan sangat hati-hati, lalu menutupnya kembali. Sontak terdengar suara sambutan yang sangat ribut, seperti tiupan sangkakala tanda awal peperangan. Jajang dan Marno habis dicaci istri, dilempari piring, gelas, panci, juga pukuli sapu.
Tak lama, kampung kembali senyap. Suara jangkrik makin nyaring. Kedua pintu rumah terbuka kembali, dua bayangan orang terlihat keluar dari rumah.
***
Di mulut kampung terlihat dua orang sedang memasang dua bendera kuning. Kini, di sana ada tiga bendera kuning yang berkibar tertiup angin.
“Kira-kira masalah apa ya, kok mereka saling bunuh? Padahal semalam aku lihat mereka sangat akrab,” tanya seorang muda, kepalanya memakai peci hitam.
“Apa urusanmu?” jawab singkat seorang muda yang memakai kaos hitam.
“Mereka bereinkarnasi menjadi apa, ya?”
“Mana aku tahu,” masih singkat jawabannya.
“Kalau kau nanti mati, kau mau bereinkarnasi menjadi apa?” tanyanya dengan muka penasaran. (*)
Bandung, 4 Desember 2012
Penulis lahir di Jakarta pada 6 juni 1992. Tercatat sebagai mahasiswa jurusan Bahasa dan Sastra Indonesia, Universitas Pendidikan Indonesia (UPI), Bandung. Kini bergiat dalam komunitas sastra Cengos Si, CD Teater, dan sedang belajar menulis puisi mbeling, serta pendatang baru dalam dunia sastra Indonesia.
Leave a Reply