Cerpen Ayi Jufridar (Media Indonesia, 14 April 2013)
PEREMPUAN itu berdiri di sana, di depan pintu yang senantiasa terbuka setelah subuh agar rezeki menyerbu ke dalam bersama udara segar, meski justru nyamuk yang paling banyak masuk. Tubuhnya tinggi menjulang, dengan sebuah keranjang rotan berisi garam bertengger diam di atas kepalanya. Dia tidak pernah memegang keranjang tersebut bahkan saat berjalan dari kampung ke kampung. Tubuhnya bergerak berirama ketika kaki terayun, tapi keranjang rotan itu tetap diam, seolah menjadi bagian tak terpisahkan dari kepalanya.
Dari tempatku duduk di atas lantai semen, dia terlihat bagaikan seorang raksasa yang kelaparan. Tubuhnya tambun dengan kulit gelap serupa kain hitam yang digunakan sebagai alat di kepalanya yang ujung-ujungnya menutup kedua telinga. Hidungnya seperti buah jambu dengan dua lubang besar dan gelap. Kata kakak, dia tidak menelan anak-anak melalui mulutnya yang berbibir tebal dan hitam seperti lintah, melainkan memasukkan langsung melalui kedua lubang hidungnya. Dia melakukan itu bila keranjang di kepalanya tidak cukup lagi menyimpan anak-anak yang tidak menghabiskan nasinya di piring.
Sering aku berpikir bagaimana dia melakukan semua itu. Lubang hidungnya memang besar, lebih besar dari lubang hidung kakek yang berbulu putih dan mencuat keluar. Namun, jangankan memasukkan kepalaku, kepalan tanganku pun rasanya tidak akan muat ke lubang itu. Kakak mengatakan lubang hidung sangat elastis, dia bisa melar seperti karet. Semua lubang hidung demikian adanya, tapi lubang hidung perempuan itu akan menelan apa saja yang dijejaki tuannya, termasuk anak-anak. Kakak mengajariku memasukkan seluruh jemari—mulai kelingking yang kecil sampai jempol yang besar—ke lubang hidung dan semuanya masuk dengan mudah. “Begitulah dia memasukkan anak kecil ke lubang hidungnya.”
Aku percaya karena bisa saja seorang perempuan mempunyai kelebihan seperti itu. Kakak mengingatkanku agar tidak perlu takut sejauh tidak ada sebutir nasi pun yang tertinggal di piring. Meski demikian aku selalu gemetar bila perempuan itu berdiri di sana dan bertanya ummi ada di rumah atau tidak. Dengan didera perasaan takut, aku menjawab pertanyaannya dengan mengatakan bahwa tadi pagi tidak ada nasi yang tersisa di piringku.
“Baguslah, kalau tidak kamu akan diseruduk kerbau,” sahutnya dengan air muka dingin.
Merasa sudah aman setelah mengabarkan piring sarapan yang kosong, aku berlari ke dalam memanggil ummi. Bukan untuk memberitahukan kedatangan perempuan itu, melainkan untuk menanyakan mengapa kita akan diserubuk kerbau kalau tidak menghabiskan nasi. Sahut ummi, kerbau marah karena setelah lelah membajak sawah, tubuhnya perih kena pecut, tetapi nasi tidak dihabiskan. “Kita harus menghargai kerja keras semua makhluk, meski hanya seekor kerbau.”
Ummi yang sudah tahu kedatangan perempuan itu dari suaranya yang khas seperti lelaki, bergegas ke depan dan aku mengikuti dengan bergelayutan pada kainnya sehingga menyulitkan langkahnya yang tersuruk. Perempuan itu sudah menurunkan keranjangnya di tanah, dan aku selalu ingin melihat isinya apakah benar-benar anak-anak. Ketika memastikan isi keranjang hanya garam seputih kertas plastik yang membungkusnya, kakak belum berhenti menakutiku. Menurutnya, anak-anak yang tidak menghabiskan isi piring atau makan berserakan atau menolak makan sayur, akan dimasukkan ke dalam keranjang dan kemudian menjelma menjadi garam yang dijual perempuan berlubang hidung besar dari kampung ke kampung.
Aku tidak percaya lagi dengan semua bualan kakak. Aku tahu perempuan itu hanya menjajakan garam ke setiap kampung. Dan garam itu mereka buat dari air laut, bukan dari tubuh anak-anak. Mereka datang dari sebuah kampung di tepian pantai. Orang-orang di kampungnya membuat garam dengan cara menjemur air laut di tempat yang tak jauh dari tepi pantai. Beberapa perempuan di kampung itu menjual garam ke kampung lain berjalan dengan kaki telanjang sampai puluhan kilometer. Mereka berangkat berkelompok, kemudian berpencar, dan pulangnya kembali berkelompok. Garam tidak harus dibeli dengan uang, lebih banyak penduduk menukarkan dengan makanan dan barang lain. Para penjaja garam lebih senang dengan beras karena di kampung mereka tidak ada sawah. Mereka juga mau menukarkan dengan panci, sendok, gelas, atau peralatan dapur lain yang masih baru meski sudah pernah digunakan. Mereka juga bersedia menukar dengan pakaian bekas tetapi masih layak pakai. Kriteria layak pakai menurut penjaja garam itu sangat berbeda dengan pemahaman kami. Pakaian yang telah puluhan kali dipakai dan disikat sehingga di bagian kerah mulai aus atau warnanya sudah luntur, dalam pandangan penjaja garam masih sangat layak. Tentu kita akan mendapatkan garam yang lebih banyak dengan pakaian yang lebih baru, apalagi dengan label yang masih menggantung.
Bagi masyarakat kampung kami—dan kampung lain—garam tidak hanya digunakan untuk mengasinkan makanan. Garam juga digunakan sebagai lauk ketika tidak ada menu lain sebagai teman nasi. Tinggal menaburi garam dan mengaduknya dengan minyak bekas gorengan ikan, nasi sudah bisa dilahap dengan nikmat. Garam juga kami gunakan untuk membunuh lintah. Kakak pernah menjerit-jerit sepulang dari sawah ada seekor lintah bertengger di betisnya. Ummi dengan tenang menaburi garam di atas tubuh lintah yang kemudian terjatuh dan menciut mati. Yang belum dapat kupahami adalah garam juga dipakai untuk mengusir roh jahat. Aku melihat sendiri ketika bayi tetangga kami meraung-raung tanpa sebab jelas, seorang perempuan tua menaburkan garam di depan rumah sambil membaca mantra. Ajaibnya, bayi itu pun diam tak lama kemudian.
Sampai sekarang aku masih belum mengerti bagaimana itu bisa terjadi. Sama tidak mengertinya mengapa perempuan berhidung besar itu yang harus datang ke rumah kami. Kadang ada beberapa perempuan penjaja garam yang melintasi rumah, tapi yang lain langsung melewati rumahku dan dia yang masuk. Menanyakan ummi kalau aku ada di luar, atau langsung berbicara dengan ummi kalau kebetulan sedang berada di atas gazebo atau di teras. Pernah aku meminta ummi agar melarang perempuan itu masuk dan digantikan dengan penjaja garam lain. Ummi mengatakan tidak ada alasan melarangnya karena dia orang yang baik, jujur, dan taat beragama. Beberapa kali dia memang menumpang salat di rumah kami.
Pada saat itulah aku mencium aroma garam menguar dari tubuhnya meski keranjang rotan sudah disimpan di luar rumah, di atas gazebo. Entah aroma itu muncul dari tangannya yang selalu bersentuhan dengan garam, atau garam itu tercipta dari seluruh tubuhnya yang dibakar matahari.
Aroma itu terasa demikian kuat sehingga aku seperti bisa melihat bentuknya. Sampai bertahun-tahun kemudian, bahkan sampai aku meninggalkan kampung halaman untuk kuliah, aroma itu masih melekat di puncak hidung. Ketika pulang kampung pada momen tertentu seperti liburan semester atau libur Idul Fitri dan Idul Adha, aku merasakan kerinduan teramat dalam terhadap aroma garam itu.
Kerinduan yang tumbuh justru di saat tak ada lagi seorang penjaja garam pun di kampung kami dan kampung-kampung lain. Masyarakat tidak lagi membutuhkan mereka. Garam bisa dibeli di pasaran, bahkan di supermarket yang mulai hadir di kota. Dibeli dengan uang atau dengan kartu kredit, tidak perlu ditukar dengan beras, makanan, pakaian, atau peralatan dapur.
Kakak, yang sudah menikah dan punya dua anak, sudah punya dua kartu kredit. Kemajuan menyerbu demikian cepat dan ganas sampai ke dapur dan isi dompet kami.
Saat duduk di lantai rumah yang sudah berkeramik dan menatap pintu yang terbuka, aku sering menarik napas panjang dan berharap aroma garam itu memenuhi paru-paru. Kadang yang tercium malah polusi udara yang keluar dari knalpot motor anak baru gede di jalanan depan rumah.
Aku tidak pernah membicarakan tentang perempuan penjual garam dengan ummi setelah beranjak dewasa. Namun ketika merindukan aroma khas yang menyengat hidung, aku bertanya kepada ummi tentang mereka, terutama perempuan berhidung besar yang sering datang ke rumah kami.
“Ummi pernah bertemu di pasar. Sekarang mereka bekerja serabutan. Ada yang jadi penyapu jalan, pemulung, bahkan ada yang jadi pengemis dan beberapa yang lain sudah meninggal. Zaman sudah berubah. Mereka tak bisa lagi hidup dengan menjual garam.”
“Ummi pernah jumpa Wak Mah?” aku mengetahui perempuan itu bernama Fatimah setelah dewasa, tapi semua orang termasuk ummi memanggilnya Wak Mah.
“Dia sudah meninggal.”
“Karena tsunami?”
Ummi menggeleng. “Ditembak. Ada yang menuduhnya menyimpan senjata api di dalam tumpukan garam. Saat diperiksa tentara, memang ditemukan pistol di dalam keranjang rotannya. Tapi itu pistol mainan hasil penukaran dengan garam. Dia bersedia menukar karena ingin memberikan mainan untuk cucunya.”
“Kalau pistol mainan kenapa harus ditembak?” tatapku panik.
“Tentara baru tahu itu pistol mainan setelah Wak Mah terluka di dadanya. Tentara kita ‘kan selalu begitu, tembak dulu periksa kemudian. Komandannya hanya minta maaf, tentara itu tak pernah dihukum. Katanya kematian Wak Mah diberitakan di koran, fotonya juga ada di sana. Ummi tidak baca, cuma dengar dari kakakmu.”
Hatiku serasa diiris-iris. Begitu lama tercenung sehingga tatkala tersadar, ummi sudah tidak berada lagi di sampingku. Mataku nanar menatap ke luar, ke halaman yang panas dibakar matahari yang masih garang meski sudah condong ke barat. Dalam cuaca seperti ini, biasanya aroma garam terasa lebih tajam bila perempuan itu datang. Namun, sore itu hidungku mengendus aroma harum serupa misik yang tidak pernah kucium seumur hidupku. (*)
Ayi Jufridar, karya-karyanya dimuat di berbagai media nasional. Aktif di Balai Sastra Samudra Pasai, sebuah lembaga yang dibentuk sejumlah penulis di Aceh. Tiga novelnya yang sudah terbit, Alon Buluek Gelombang Laut yang Dahsyat (Grasindo, 2005) yang sudah diterjemahkan dalam bahasa Belanda dengan judul Alon Buluek (de Verschrikkelijke Zeegolf), Kabut Perang (Universal Nikko, 2010), dan Putroe Neng (Grasindo, 2011). Akhir 2012 lalu, Ayi diundang ke Ubud Writers and Readers Festival di Bali serta ke Amerika Serikat untuk kegiatan kepenulisan.
HeruLS
Bang Ayi, kisahmu dari Aceh sana selalu menggugah emosi.
Salam
menujutitik
waw!
Ayi
Terima kasih, saleum…