Cerpen Erni Aladjai (Media Indonesia, 21 April 2013)
RABU pagi yang bercahaya, mereka terbangun dalam satu selimut. Laura dan Don masih bersama. Tak ada yang pergi lebih dahulu. Tuhan masih ingin melihat mereka melewati hari-hari baru.
Setiap malam, menjelang kelopak mata mengatup, Laura akan memasukkan jemarinya ke sela-sela jemari Don. Ritual rahasia mereka, yang hanya diketahui oleh Mariantje.
Perlahan-lahan Laura bangkit dari ranjang, mengamati rambut yang setiap helainya telah kelabu. Mengamati pipi dan dagunya yang sudah kisut.
Tiga tahun lalu, dia masih sering duduk di depan meja rias ini, menyemir rambutnya sembari bersenandung lagu jazz kuno. Dia dan Don penyuka jazz. Mereka menikmati jazz sejak pertama kali jazz masuk Batavia.
Dia masih ingat, suatu malam Batavia begitu ramai, beberapa musikus Filipina datang untuk mencari kerja. Di lobi hotel dan jalan-jalan, mereka memperkenalkan instrumen angin. Trompet. Saksofon. Boleros. Rumba. Ah, kenangan itu selalu bagai hembusan angin sore yang menenangkan.
Ingatan pada irama jazz pertama kali di kota ini selalu abadi di kepalanya, sebab pada hari itu pula, sesuatu yang membuatnya bahagia telah terjadi.
Mula-mula Don membeli dua buah tiket untuk menonton pertunjukan jazz di Hotel Des Indes. Waktu itu, umur Don 18 tahun. Masih muda dan senang memakai topi bowler—serupa topi yang sering dikenakan Charlie Chaplin—celana pantalon, dan jas.
Adapun Laura berumur 16 tahun, mengenakan gaun shifon bertabur bunga lotus, dia naik trem bersama Don. Keberangkatan mereka ke Hotel Des Indes bersamaan dengan elektrifikasi pertama kali pada jalur kereta api rute Batavia-Buitenzorg.
Dia mendengar hal itu dari pembicaraan dua meneer dalam satu gerbong. Dan pada saat suara saksofon Soleano, musikus Filipina, terburai di langit-langit Hotel Des Indes, Don memasangkan sebuah cincin parlop di jari manis Laura.
***
Laura menyukai pagi. Dia tak pernah mau melewatkan momentum matahari keluar dari peraduannya. Dan pagi ini, dia tak lagi menyemir rambut. Laura Tua seolah-olah telah berjanji pada setiap helai rambutnya bahwa mulai hari ini hingga di kemudian hari, rambutnya tak akan lagi ‘sesak napas’ dengan baluran pewarna rambut yang kaku.
Tak ada lagi sarung tangan. Tak ada lagi bubuk semir Tancho di meja riasnya. Rambutnya akan dibiarkan kelabu. Wanita tua itu kemudian melangkah ke jendela kamar. Jendela itu selalu dia umpamakan serupa layar bioskop. Di sana, di balik kacanya, ada dua pohon kersen dengan batang yang saling silang. Sangkar burung nuri peliharaan Don tergantung di salah satu tunggulnya.
Setiap pagi, si nuri akan menyapa ketika Laura membuka tirai. “Selamat pagi sayangku,” itulah yang dikatakan si nuri. Don yang mengajari burung itu menyapa Laura saban pagi.
Seolah ketika itu, Don sudah tahu suatu hari dia hanya bisa berbaring dengan selang di hidung. Stroke telah mematikan sebelah tubuhnya. Laura Tua mengangguk, menertawai burung nuri yang menggoyang-goyangkan pantatnya.
Lalu ucapan yang sama juga selalu dia dengar dari mulut Mariantje.
“Selamat pagi, Nyonya, hari ini kau tampak sehat dan bercahaya,” Laura tertawa.
Mariantje perempuan tinggi besar, berkulit kelam dengan rambut yang diikat sapu tangan itu riang memasuki kamar Laura dengan tongkat pel. Mariantje baru saja selesai merebus kentang untuk sarapan pagi Laura.
Ia membantu segala hal di rumah Laura. Memasak. Mencuci pakaian. Menyetrika. Menyapu pekarangan dan berbelanja.
Sudah lima tahun perempuan asal Sanger, Manado, itu bekerja pada Laura. Setiap Sabtu pagi, ada tambahan belanja yang ditugaskan Laura padanya. Laura memintanya pergi ke toko buku. Membeli novel bagus terkini dan dia akan membaca dengan kaca pembesar, untuk Don.
Laura menyukai cara Mariantje bekerja. Mariantje menyukai rumah Laura. Wangi lemon, sederhana, dan senantiasa terdengar alunan jazz. Setiap pagi, Mariantje akan mengengkol gramofon kuno milik Laura, memasang piringan hitam lagu jazz yang dipesannya.
“Pagi ini Natalie Cole, Mariantje.”
Bagi Mariantje, ada banyak keharuan di rumah Laura, seperti dua malam lalu. Saat dia datang mengecek kondisi Laura. Dia lihat wanita tua itu duduk di sisi Don. Membacakan Don sebuah novel bersampul merah hati.
Meski Don tak bisa bergerak lagi, Laura percaya Don masih mendengar. Seperti biasa, suara Laura terdengar gemetar meski sebenarnya dia tak bermaksud gemetar. Usia tua membuat suaranya serupa itu.
“Don sayang, ada petikan yang bagus dalam novel ini, dengar baik-baik ya, sebab saya tak suka membaca dua kali,” kata Laura.
Nun di sana menderau air sungai yang suci, di sana kita menyelam di bawah naungan palma. Mimpikan impian yang serba bahagia. “Jadi, bahagialah, sayang!”
Di bingkai pintu kamar Laura, Mariantje melihat pemandangan itu dengan haru. Laura memang seorang pembaca novel yang baik.
Itu Max Havelaar, yang ia beli di jalan Kwitang. Penjualnya membujuk Mariantje, “Ini buku bagus, Pram dan Kartini membacanya, kau harus punya,” katanya.
***
Setelah ritual membaca novel, Laura menemui Mariantje. Mereka bercakap-cakap di dapur. Kali ini Laura melakukan pembicaraan serius dengannya.
“Mariantje, saya minta maaf tak bisa membayar gajimu beberapa bulan ini. Saya sedih karena kau tak pernah mengeluhkan itu.”
“Oh, Nyonya jangan berkata begitu. Membolehkan saya tinggal di sini sudah lebih dari cukup,” Mariantje menggenggam tangan Laura.
“Jika suatu hari saya tiba-tiba pergi, kunci rumah saya selamanya milikmu. Itulah yang mampu saya wariskan padamu. Tolong rawat burung nuri Don. Kelak, jika ada museum jazz di kota ini, sumbangkanlah piringan hitam kami.”
“Terima kasih telah mengurus saya dan Don,” tambah Laura setengah berbisik.
“Tak perlu mengulang-ulang terima kasih, Nyonya. Sayalah yang berterima kasih.”
Sudah empat bulan memang, Mariantje tak lagi dibayar oleh Laura. Uang pensiun Don dan Laura bahkan hanya cukup untuk biaya perawatan Don, makan seadanya, dan membeli novel setiap pekan.
Mariantje tak mengeluh. Mengenal Laura bagi dia adalah kebahagiaan. Mariantje ingat pertama kali dia bertemu Laura, wajahnya lebam, bibirnya pecah. Mereka bertemu di swalayan.
Laura datang membeli mayones dan susu kedelai. Mariantje datang membeli sebungkus mi instan yang akan dia makan tanpa diseduh.
Tak ada yang peduli dengan wajah lebam dan bibirnya yang pecah. Semua orang hanya memperhatikan rak belanja. Satu-satunya perempuan yang bertanya kondisinya hanya Laura.
“Kenapa wajahmu? Kau jatuh?” Tanya Laura mendekat. Tanpa menunggu jawaban, Laura menggandeng tangan Mariantje ke rumahnya. Di sana, Laura mengompres dahi, pipi, dan bibir Mariantje dengan es batu.
“Kenapa Nyonya mau membawa saya masuk?”
“Kau terluka,” itu saja jawaban Laura. Laura memberi Mariantje pakaian, daster bergambar kembang sepatu. Memberinya selimut dan mengantar Mariantje ke kamar tamu.
Bertemu Laura membuat Mariantje yakin untuk berpisah dari Tigor. Dia tak tahan dengan segala hal yang ada pada Tigor. Bau bir. Membanting telepon. Menyembunyikan uang. Menggebrak meja. Merontokkan kaca jendela. Mariantje lari pada tengah malam ke rumah Laura.
***
Minggu pagi, Mariantje berangkat ke gereja. Hari itu ia ingin berdoa agar Don dan Laura tetap sehat. Mariantje sangat takut jika Tuhan memanggil kedua orang itu.
Jika boleh memilih, Mariantje berharap dia yang mati lebih dulu. Dia tak punya siapa-siapa di Pulau Jawa, selain Laura. Mariantje menghitung, besok tepat 170 hari, Don terbaring di tempat tidur. Sungguh waktu yang sabar untuk Laura.
Dalam perjalanan pulang dari gereja, Mariantje singgah membeli bunga. Dia membeli dua tangkai bunga iris dan empat tangkai mawar putih. Mariantje pernah membaca sebuah majalah wanita tahun 80-an di rumah Laura. Kata artikel itu, bunga iris dan mawar putih adalah bunga yang tepat untuk diberikan pada sahabat yang kita cintai.
Bunga iris bermakna “Saya selalu di sini, siap sedia kapan pun kau membutuhkan.” Sementara mawar putih bermakna “Saya akan selalu bersamamu, selalu menyayangimu.”
***
Mariantje melangkah pelan-pelan ke kamar Laura dengan bunga iris dan mawar putih di dadanya. Kamar begitu sunyi. Di sana, di atas ranjang berseprai putih. Laura terbaring miring, tangan kanannya melingkari tubuh Don yang tertelentang dengan mulut terbuka.
Mariantje mendekat ke wajah Laura. Perutnya bergolak. Perlahan-lahan jari telunjuknya menyentuh lubang hidung Laura. Tak ada embusan. Mariantje meraba tangan Laura. Begitu dingin.
Tanpa sadar air matanya mulai menetes. Tiga jari kanannya kemudian menyentuh pergelangan tangan Don, denyut itu juga sudah tak ada. Don sudah bebas.
“Mungkin memang sudah saatnya mereka pergi,” batin Mariantje. Ia terisak. Teringat pembicaraan dia dan Laura dua malam lalu: Mariantje, sudah lama saya ingin pergi bersama dengan Don. Pergi selama-lamanya. Kata orang, di dunia sana, orang-orang yang telah mati akan kembali muda. Bukankah itu indah, Mariantje? (*)
Rumah kebun, Depok 2013
Penulis lahir di Banggai, Sulteng. Novelnya, Kei, terpilih sebagai salah satu pemenang unggulan Sayembara Menulis Novel, DKJ 2012.
indrihapsari
Cerita yang indah, dengan setting yang kuat 🙂
indrihapsari
Reblogged this on indri hapsari and commented:
Settingnya kuat, tapi cukup diceritakan selintas. Jalan ceritanya mudah diikuti, tidak bombastis, tapi sungguh manis. Feelnya dapet 🙂
adita
Inginnya kami seperti pasangan Laura dan Don
Haru
saya suka cerpen ini, tak banyak berindah kata
ahmad darwin
Asik bacanya…
Bersamadarwin.blogspot.com