Cerpen Yetti A.KA (Media Indonesia, 28 April 2013)
OH, batu! Seorang ibu datang ke sana pada pagi dingin itu. Bukan untuk membuat sari daun serai pembasuh rambut, melainkan demi mengakhiri jerit hati yang pilu.
Ia meminta batu menelan tubuhnya agar menjadi kenangan pahit yang terus menempel dalam kehidupan anak-anaknya—mereka yang telah melubangi dada seorang ibu sepanjang waktu. Dada seorang ibu!
***
Apa aku pernah melubangi dada Mama?
Aku melongo. Kalimat itu serasa belum pantas keluar dari bibir bocah sembilan tahun.
Aku mendekati Antonio. Memegang kedua bahu anak lelakiku yang pendiam itu, lalu jongkok hingga aku berhadapan langsung dengan mata cokelat yang membuatku gemas. Mirip mata boneka yang pernah kumiliki puluhan tahun lalu.
Ah, aku segera membuang pikiran tentang boneka itu. Aku tak bermaksud menyamakan anakku dengan boneka mainan masa kecilku.
Kau pernah lihat dadaku terluka dan mengeluarkan darah seperti kelingking Bibi Suwi yang tak sengaja teriris pisau dapur? Balasku. Mula-mula Antonio tampak bingung, lalu menggeleng.
Kalau begitu, kau tak pernah melubangi dadaku.
Wajah Antonio mulai lembut saat ia berkata, “Berjanjilah, Mama tak akan pernah meninggalkan aku. Berjanjilah, tak akan membiarkan batu itu menelan Mama. Aku berjanji menjadi anak yang baik.”
Sudah terlampau banyak janji. Dulu aku berjanji menjadi anak yang baik kepada ayah-ibuku, lalu berjanji menjadi pacar yang setia kepada semua lelaki yang dekat denganku. Setelah menikah, aku berjanji menjadi istri dan ibu yang baik. Tapi, aku tak pernah menepati satu pun. Baiklah, aku berjanji padamu.
Antonio memelukku. Kemudian ia berlari sembari melompat-lompat kegirangan. Aku menyusul Antonio dan mengingatkan ia agar bersiap-siap.
“Sepuluh menit lagi Papa menjemputmu,” tukasku.
Dan aku langsung mengingat seseorang yang harus kutemui pagi itu juga, tentunya setelah Antonio berangkat ke sekolah.
***
Dendam apa lagi yang ingin kau bagi denganku? Kesumat apa yang membuatmu begitu penasaran hingga kau mengusik ketenanganku? Aku tahu malam-malam nerakamu yang begitu api. Anak-anakmu yang mati terbunuh dalam pengejaran aparat atau suamimu yang tak pernah pulang setelah menjerat lehermu dengan tali yang hampir saja membuatmu kehilangan kekuatan untuk bertahan.
(Apa kabar lelakimu itu? Paling-paling ia sedang main perempuan dan menganggapmu sudah mati dalam peristiwa lima tahun silam. Kau malah bilang, ia takut pulang karena malu. Kau harus lupakan dia. Kau katakan, tidak bisa. Dulu mungkin bisa, tapi sekarang tidak setelah ia meninggalkan garis hitam di leherku. Garis yang tak mau hilang meski telah kugosok dengan minyak kelapa tiga kali sehari. Aku katakan, garis itu ada dalam perasaan dan pikiran, bukan di kulit lehermu).
Tapi, lebih dari apa pun, aku tak ingin kau iri padaku, Limi. O… Limi yang membuka lukanya lebar-lebar dan membiarkan semua perih itu dijamah angin.
Biarkan aku menyusun kelopak-kelopak hidupku, serupa dulu aku menyusun balok-balok kayu di teras rumah. Aku selalu berhasil membuat kastil yang indah dari balok-balok itu, ingat? Kastil yang kulihat dalam buku dongeng dari Eropa. Dan kau hanya boleh bermain setelah aku tak menginginkannya lagi. Bukan kita yang membuat aturan itu, tapi ibumu. Ibumu tentu saja takut kepada ibuku karena ia seorang babu.
Kau sangat tahu sejak awal kita telah dibuat berbeda. Lebar senyum kita harus berbeda ukuran. Kau tidak boleh melebihi lebar senyumku saat membentuk bulan sabit di bibirmu. Meski begitu, sekali lagi, jangan iri, apalagi berpikir jahat kepadaku. Masa lalu bukan kesalahan kita, itu urusan ibuku dan ibumu, dan mereka sudah mati.
Lagi pula kau sudah menumpahkan kejengkelan pada ibumu, ketika purnama di malam Jumat. Kau datangi kuburannya, berteriak-teriak di sana. Aku mengikutimu dan bersembunyi di balik pohon. Dadaku lega, kau sudah melakukan sesuatu yang tak mungkin berani kulakukan pada ibuku.
Kau mengerti, Limi? Aku mau dadaku tetap lega seperti malam itu, terutama mengenai Antonio. Lepaskan dia. Jangan membicarakan hal-hal ganjil padanya. Aku tidak suka.
Kau melengos. Napasmu kasar seperti napas lelaki.
Aku marah padamu karena kau bicara yang tidak-tidak pada Antonio, kataku lebih terang. Kau membuatnya cemas dengan cerita batu itu.
Bibirmu bergetar, ludah berleleran hingga ke dagu. Kau tetap tak mau memandangku. Sejak dulu. Saat pertama bertemu. Bahkan saat kita mulai remaja dan memutuskan berteman. Kau selalu mengelak dari mataku. Seolah-olah takut mataku menyambarmu. Jangan ganggu Antonio lagi. Aku tak terlalu suka mengeluarkan kalimat ancaman karena kau temanku yang malang, yang tersingkir ke dalam ruang-ruang gelap tempat kau belajar tak menyukai cahaya.
Apalagi yang kau miliki selain teman yang seharusnya berkata manis padamu? Namun, aku merasa harus sedikit mengancammu. Agar kau benar-benar tahu aku sedang marah. Agar kau tahu aku terlihat buruk bila marah.
Tapi kau tersinggung, dan segera masuk ke kamarmu yang berlendir dan basah. Kamarmu dan ibumu, dulu. Tempat serangga dan reptil membangun kehidupan. Kau membiarkan semua itu terjadi tanpa cemburu. Sesuatu yang tak bisa kau lakukan padaku. Kau selalu cemburu padaku. Aku bahkan melihatnya di setiap helai bulu yang ada di tubuhmu.
Kau tak diberi kesempatan memilih sesuatu yang kau sukai atau yang kau inginkan. Ketika menikah, kau tidak diberi pilihan lain kecuali menerima lamaran tukang kebun ibuku yang dipergoki menindihmu di balik bunga semak. (Itu kau lakukan karena kau menyukai lelaki bertato itu? Kau jawab, tidak. Ia memerkosaku. Kenapa tidak kau bilang pada orang-orang, ujarku keras. Kau jawab, ia mengarang cerita kalau aku yang merayunya, dan ibuku percaya, dan mengawinkanku.
Kau bertanya, kenapa kau tak membantuku waktu itu. Kujawab, aku masih kecil, bahkan tak mengerti bagaimana jadinya kalau kau kawin, sampai kau melahirkan anak-anakmu dan aku melihat kau berubah persis ibumu).
Anak-anak itu. Mereka juga telah kau kubur bertahun-tahun lalu. Prosesi tanpa pelayat, tentu saja. Bukankah itu yang kau sedihkan dan membuatmu seakan tak ingin melihatku bahagia. Bagaimana bisa kau menyayangi mereka bila para berandal itu selalu membuatmu menangis bahkan setelah mereka mati. Mereka yang telah membuat hatimu busuk serupa gumpalan bisul yang memendam nanah dan tak pernah bisa pecah. Aku paham rasa sakitnya. Aku mengerti jika itu menyebabkan mukamu berkerut dari hari ke hari hingga anak-anak di sini menganggapmu hantu.
Bagiku, kau tetap Limi. Perempuan yang potretnya masih kubiarkan tergantung di bangunan rumah bagian belakang.
Rumah ini milik masa kecil kita (tidak apa jika kau tidak sepenuhnya setuju, sebab kau menganggap hanya aku yang punya cerita masa kecil, kau tidak). Karena itu, Limi, akan kubiarkan kau bergentayangan di sini, bila saja kau tidak mengganggu Antonio.
Cukup, Limi. Jangan lagi.
***
Tengah malam, Antonio datang ke kamar kerjaku dengan wajah seputih kapas. Aku benar-benar sudah melubangi dada Mama, katanya sedih. Aku merusak kebun krisan tadi pagi. Aku juga memecahkan koleksi keramik yang disusun di lemari sudut—termasuk keramik cantik dari Tante Rasty. Aku memukul kucing kesayangan Mama. Aku tidak langsung masuk ke rumah sepulang sekolah. Aku main-main dulu di selokan dekat pagar. Menyusuri selokan sampai Bibi Limi menyeretku pulang. Aku bukan anak yang baik, Mama.
Setelah itu, Antonio kembali ke kamarnya seolah ia sedang melakukan perjalanan dalam mimpi.
Aku segera berpikir menelepon mantan suamiku, papanya Antonio. Satu-satunya yang masih mengikat kami adalah kenyataan kalau lelaki itu orang yang peduli, terutama kepada Antonio.
Ia selalu menyediakan waktu untuk mengantar Antonio ke sekolah, juga mengajak Antonio, kadang-kadang bersamaku, ke kebun binatang. Antonio suka burung-burung. Ia membawa sekantong besar roti setiap ke kebun binatang.
Antonio lebih baik tinggal bersama lelaki itu untuk sementara waktu. Aku merasa Limi tengah memainkan kelicikannya melebihi yang kubayangkan tentang apa yang bisa ia lakukan padaku.
***
Matahari belum sepenuhnya terbit ketika aku membuka pintu kamar Antonio—aku ingin bicara soal papanya yang akan datang menjemput dan aku mau membantu menyiapkan pakaian yang akan ia bawa untuk tinggal beberapa lama bersama lelaki itu.
Kamar itu kosong. Sunyi. Dadaku berdesir-desir. Aku belum pernah menemukan kamar Antonio kosong sepagi ini selain saat dia tidur di apartemen papanya.
Aku meneliti kamar dengan perasaan gelisah. Selimut kusut di ujung tempat tidur. Bantal dan guling jatuh di lantai. Ada gambar tertempel di dinding. Sebatang pohon berdaun sangat lebat. Di salah satu cabang pohon itu, seorang anak berkaca mata minus, dan tentu saja itu Antonio, tergantung dengan tali besar di lehernya.
Di bawah pohon itu, seorang perempuan, kukira itu Limi, seolah sedang memandangku sangat jahat. Persis di bawah gambar ada tulisan berwarna merah: Aku bersalah. Aku melubangi dada Mama. Duniaku berputar-putar. Lalu gelap. Sangat gelap. (*)
Padang, 2013
Leave a Reply