Cerpen, Lampung Post, Muhammad Shalahuddin Al Ayyubi

Yang Tersisihkan

Yang Tersisihkan - Cerpen Muhammad Shalahuddin Al Ayyubi

Yang Tersisihkan ilustrasi Lampung Post

5
(3)

Cerpen Muhammad Shalahuddin Al Ayyubi (Lampung Post, 28 November 2021)

KUPIKIR, rasa ini tidak berubah… bahkan sejak hari di mana aku pertama kali melihat dirimu nan tampak lugu dan anggun ketika kuliah perdana dulu. Bertahun-tahun aku mabuk kepayang, mengharap kasih—yang terlampau utopis—darimu, Marwa.

Tetapi, setelah hadir gelombang perasaan dalam suluk hidup ini, aku baru sadar bahwa menaruh rasa kepadamu adalah sebuah kesalahan. Mau menyesal pun percuma, apalah semua itu sudah menjadi suratan Tuhan. Biar kalbu ini saja yang terus bertahan… entah sampai kapan.

“Namaku Nur, salam kenal ya Marwa,” ungkapku gugup sembari sedikit menganggukkan kepala di hadapan gadis itu di hari pertama kuliah.

“Aku Marwa, salam kenal ya Nur!” jawabnya dengan simpul senyum itu.

Aku sangat senang bisa mengetahui apa pun tentang Marwa, apalagi ketika kita di satu forum diskusi, curahan ceritamu begitu kuperhatikan. Dari sana hari-hariku dipenuhi rasa penasaran bercampur harapan terhadap dirimu seorang. Teman-teman tongkronganku pun sampai bosan mendengar cerita betapa aku mengagumi Marwa. Dia acap terselip dalam doaku.

Karimah Al Marwaziyah, aku mendengar namamu secara lengkap dari cerita ibuku. Siapa yang menyangka ibu kita sudah menjadi kawan akrab dari dulu. Kupikir hal demikian dapat menjadi peluangku untuk bisa lebih mengenalmu, bahkan untuk bisa serius memperjuangkanmu. Kiranya begitu, kendati keadaan berkata tidak. Sekalipun banyak peluang—mengenal orang tuamu, satu lingkungan kampus denganmu, dan terkadang belajar bersama—sekat pemisah di antara kita begitu banyak. Sebesar apa pun kebaikan yang pernah kulakukan padanya, itu semua tidak ada artinya.

Sangkanya tumpukan sekat itu diciptakan oleh orang lain, ternyata engkau sendirilah sosok yang sengaja menaruhnya. Sebegitu risinya dirimu akan kehadiranku. Padahal, apakah pernah aku menggodamu sehingga membuat dirimu risi? Jangankan mengajak jalan, mengobrol panjang lebar denganmu lewat chat saja aku tidak berani. Sebegitu inginnya engkau menghindar dariku. Sementara dia si rambang mata yang menjadi pautan hatimu, kau izinkan dia sepuasnya merayumu. Tiada bosannya kalian mengukir kemesraan, mengelilingi kota menambah kenangan manis di sana. Serasa Yogyakarta itu menjadi milik kalian berdua sahaja.

Baca juga  Tersesat di Negeri Penipu

Sulit bagiku untuk memercayainya, tetapi itulah realita yang terjadi. Marwa sangat mencintai lelaki itu. Sedangkan aku di sini bak teri nasi yang penuh gamang. Patah arang ulah terlampau berangan. Meskipun aku masih bisa menemuinya setiap hari, tetap saja—rasanya Marwa sang bumi langitku telah tiada. Bodohnya aku yang tertimpa lara padahal sebelumnya diri ini tidak punya kenangan apa pun bersamanya. Mungkin ini wajar bagi seseorang yang baru dianugerahi rasa cinta di masa kuliah. Hari demi hari aku berusaha untuk mengubur perasaan ini, syukurnya menulis gubahan penuh khayal menjadi alternatifku untuk perlahan melupakannya.

***

Sudah hampir aku melupakannya, namun suluk perjalananku terguncang kembali menjelang akhir wisuda. Kini aku berada di tempat indekos salah satu sahabatku Syafri sembari menunggunya pulang, ketika larut malam ia datang dengan tergesa-gesa mengungkapkan sesuatu.

“Nur woi, Nur! Kesempatan, hoi kesempatan seriusan!” ucap dia tergesa-gesa penuh semangat untuk mendukungku.

“Hah? Kesempatan apaan? Ribut woi, udah malem juga,” balasku sambil geleng-geleng.

“Masa enggak tau, Marwamu tuh putus juga akhirnya sama si Irhan. Emang enggak sadar diri Irhan, bagus-bagus dapet Marwa malah masih aja main cewek. Udahlah, ayo ini kesempatanmu Nur!”

“Hah…,” aku bingung apa yang membuat mereka berdua putus. Tapi yang lebih membingungkannya lagi, atas landasan apa Syafri malah membujukku untuk berjuang kembali mencintai Marwa.

“Hah hoh, hah hoh…udahlah Nur jangan pura-pura bodoh. Aku tahu kamu itu masih cinta sama dia, percuma selama ini kamu tersiksa menaruh harap ke cewek itu terus-terusan. Giliran ada kesempatan sekarang masak iya mau diam-diam bae. Serius aku dukung kamu woi, cepet dekatin Marwa langsung aja omongin ke orang tuanya. Lagian kamu udah fix dapet kerjaan di Lampung kan? Nikahi Marwa, habis itu bawa dia ke sana!”

Baca juga  Persimpangan Berdarah

Entah bagaimana mendeskripsikan perasaanku tatkala itu. Intinya aku cukup bingung bahkan untuk menyusun kata-kata, ungkapan Syafri cukup menyentuh namun tidak semudah itu bisa dilakukan. Di sisi lain, meskipun aku sudah mendapatkan pekerjaan di rantau orang, aku masih ragu untuk kembali menaruh rasa pada Marwa—sekalipun ia sudah putus. Aku pun berpikir mendekati Marwa di saat dirinya sedang penuh dalam kesedihan bukanlah waktu yang sempurna, lihatlah akun media sosialnya pun dia nonaktifkan akibat itu.

***

Esoknya rintangan ini berlanjut ketika aku mengetahui bahwa Marwa sedang bertamu di rumahku bersamaan dengan orang tuanya. Aku tidak percaya hal ini benar-benar terjadi, tampak amat jelas raut wajah Marwa menyimpan kesedihan mendalam. Kok sampai hati sekali Irhan menyakiti wanita yang pernah ingin kubahagiakan sepanjang sisa hidupku. Aku tahu engkau sangat letih penuh nestapa, Marwa.

“Nah tepat jagoannya udah pulang. Sini Nur, ada Marwa masak enggak inget Marwa,” goda ibu Marwa.

“Enggak mungkinlah Nur lupa, kan mereka satu jurusan Bun… haha,” balas ibuku. “Eh Nak duduk sini dulu.”

Aku yang baru datang ke rumah langsung disuruh ibuku duduk di sampingnya—ia ingin memperkenalkanku secara lebih dekat dengan Marwa. Ibu Marwa memberi sinyal untuk berbesan. Aku tak kuasa menyaksikan keadaan ini, bayangkan gadis yang baru saja patah hati malah dibawa orang tuanya untuk menikahi laki-laki yang bahkan tidak ia cintai. Ini tidak menyelesaikan masalah. Jangan pura-pura tegar, Marwa. Sepulang nanti aku tahu kamu takkan bisa membendung air mata itu. Sialan, meskipun aku melarat karenamu aku sangat benci melihatmu menderita.

Dari situ aku memberanikan diri berbicara dengan tatapan serius. “Bu, Pak… semua. Aku enggak setuju dijodohin, soalnya aku sudah menjalin kasih dengan wanita lain dan aku pikir aku lebih berhak untuk menikahinya. Jadi enggak bisa begitu aja dipaksain harus sama Marwa. Udah cukup wacana besan-besanannya, aku enggak mau dan jangan maksa. Ini bukan hanya untuk aku, Marwa pun begitu, tolong pahami Marwa juga.”

Baca juga  Pesta Ular

“Irhan…,” Marwa tidak mampu membendung air mata harunya. Mendengar hal tersebut pihak orang tua Marwa terkejut dan menatap tidak percaya ke arahku. Adapun orang tuaku hanya terdiam, mereka mengerti wanita lain yang kumaksud hanyalah kebohongan belaka supaya Marwa tidak tersiksa oleh perjodohan ini. Biarlah dia memulihkan diri dulu baru setelah itu Marwa bebas mencari siapa pun jodohnya. Ini pun menjadi tamparan bagi orang tua Marwa untuk tidak terlalu memaksakan kehendak.

Aku memang tidak pernah dicintai olehnya—sebagaimana ia begitu terlarut mencintai Irhan—tetapi aku paham jerit tangis hati gadis itu. Aku berbohong di muka orang tuamu, terpaksa harus mengikhlaskan kesempatan emas ini, semua itu kulakukan lantaran aku masih mencintaimu. Sesak rasanya melihatmu tak bersamaku, tetapi lebih menyiksa lagi batin ini bila menyaksikan dirimu lara. ***

.

Yang Tersisihkan. Yang Tersisihkan. Yang Tersisihkan. Yang Tersisihkan.

Loading

Average rating 5 / 5. Vote count: 3

No votes so far! Be the first to rate this post.

Leave a Reply

error: Content is protected !!